Monday, August 06, 2007

Produksi Sastra Bertema Sains Masih Rendah

Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri membacakan puisi dalam acara malam puncak pekan presiden penyair, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (19/7). Dalam acara ini beberapa pejabat pemerintah dan satrawan juga ikut ambil bagian dalam pembacaan puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. (SP/Ruht Semiono)


MINAT bagi pengembangan sastra dengan tema-tema sains dan teknologi di dalam dunia sastra di Indonesia, terutama kategori fiksi ilmiah dinilai staf pengajar pada program Magister Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Yasraf Amir Piliang, masih rendah. Kondisi ini makin berlarut dengan kondisi perkembangan sains dan teknologi yang belum mendukung ke arah ekspresi macam itu.

"Perkembangan sains teknologi dan sastra Indonesia secara umum masih terperangkap di dalam bingkai dua budaya. Sebagaimana dikatakan Snow, di mana perkembangan sains dan teknologi belum dapat memberikan masukan yang berarti pada perkembangan sastra, terutama karena belum berkembangnya sains dan teknoligi secara signifikan," katanya dalam acara Seri ke-12 Diskusi Sastra bertajuk "Sains dan Sastra" di Gedung Bentara Budaya Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Yasraf, spirit utopis tampak di dalam berbagai ekspresi sastra, baik berupa puisi, cerpen atau fiksi. Pesona dan kekaguman terhadap kemajuan dan pencapaian sains menjadi tema utama dari ekspresi sastra, melalui perayaan terhadap peran sains dan teknologi dalam membangun kehidupan bermakna.

Yasraf mengatakan, di antara karya sastra utopis yang paling fenomenal, dan dipengaruhi oleh kekaguman terhadap perkembangan sains mutakhir adalah karya Dewi Lestari berjudul Supernova (tahun 2000).

"Meskipun belum dikategorikan sebagai karya fiksi ilmiah, karena sejauh ini masih sering dipertanyakan mengenai riset dan pertanggungjawaban ilmiah dari novel ini, tetapi novel ini dianggap sebagai sebuah terobosan baru dalam dunia sastra yang mencoba mengambil tema-tema sains mutakhir sebagai tema utama sastra. Dengan kata lain menjadikan sastra bermuatan sains," tuturnya.

Kata Yasraf, kecenderungan umum dalam sastra Indonesia adalah spirit distopia, yang diekspresikan di dalam aneka ekspresi sastra. Di sini, ekspresi sastra merupakan sebuah bentuk kritik terhadap perkembangan sains dan teknologi, yang dianggap telah merenggut manusia dari kebersatuannya dengan alam, tanah, ombak, laut, pasir, tumbuhan, hujan atau tepi langit.

"Karya sains dan teknologi mulai dari yang sederhana seperti jam, kulkas, televisi, sampai yang lebih kompleks seperti komputer, handphone atau internet dianggap telah menjadikan manusia tercabut dari akarnya di pangkuan alam," ungkapnya.

Menurut Yasraf, sastra dipakai sebagai kendaraan untuk menyatakan kekecewaan sang sastrawan atas ketakpuasan dan ketakbahagiaannya terhadap kecenderungan sains dan teknologi mutakhir yang dianggap telah menggiring pada kerusakan lingkungan ekologis, kehancuran alam, kematian sosial dan degradasi manusia dan nilai kemanusiaan.

"Kecenderungan distopia ini misalnya tampak pada sajak Subagio Sastrowardoyo tahun 1982, berjudul Manusia Pertama di Angkasa Luar. Berilah aku satu kata puisi, daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji, yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi, yang kukasih," jelasnya.

Yasraf mengatakan, seiring dengan perkembangan mutakhir teknologi informasi, maka dalam dunia sastra Indonesia juga berkembang sejenis sastra elektronik (electronic literature) melalui berbagai situs, blog, atau mailing list sastra.

"Di dalam jaringan teknologi informasi seperti internet, televisi, handphone, VCD, sastra berkembang menjadi semacam sastra jaringan, di mana komunitas-komunitas sastra berinteraksi dan berkolaborasi secara virtual," katanya.

Meski demikian, lanjut Yasraf, perkembangan baru ini masih dilihat lebih sebagai peralihan medium sastra semata, dari teks ke arah hiperteks, dari kertas ke arah realitas virtual, daripada perubahan substansial dan isi karya sastra itu sendiri.

"Konsep dan prinsip-prinsip sains dan teknologi itu pada kenyataannya belum banyak memberikan roh pada ekspresi karya-karya sastra," ujarnya.

Ilmuwan yamg juga pengamat sastra, Nirwan Ahmad Arsuka, menilai, sains fiksi kadang dianggap sebagai karya yang mempertemukan sains dan sastra. Kenyataannya banyak bacaan fiksi ilmiah menghadirkan penyalahgunaan khazanah sains.

"Fiksi ini mungkin saja memanfaatkan temuan-temuan sains atau spekulasi-spekulasi teoritisnya. Namun, semangat dan pandangan dunia yang melatari fiksi ilmiah itu adalah hal yang justru ditampik sains," katanya.

Menurut Nirwan, Edgar Allan Poe lewat karyanya berjudul Eureka, Lewis Carrol dengan karyanya Alice's Adventure in Wonderland, Italo Calvino dengan Cosmicomic, Mr Palomar adalah sederet nama yang secara kreatif berhasil menautkan sastra dan sains.

"Banyak bagian dalam fiksi mereka yang bahkan mendahului penemuan sains yang hebat itu. Jika ditelaah lebih dalam, prestasi besar mereka itu tidaklah menunjukkan kehebatan sastra atau kekuatan sains. Yang terlihat dari mereka pada akhirnya adalah keajaiban nalar, dan keistimewaan imajinasi," urainya.

Sementara itu, menurut ahli dan pengajar filsafat, Karlina Supelli, hubungan antara sains dan sastra lebih merupakan hubungan antara ilmuwan dan karya-karya sastra atau penyair dengan hasil-hasil sains yang bersifat ambigu.

"Hal ini karena sains sebagai produk tidak lagi memperlihatkan peristiwa kelahiran gagasan yang membuat data saling terhubungkan atau teralihkan menjadi dukungan bagi sebuah teori. Kesan bahwa metode sedemikian ketatnya telah melahirkan kesan keliru bahwa kerinduan subyektif tidak berperan dalam nalar ilmiah," ungkapnya.

Di Indonesia, kata Karlina, produk sains dan teknologi dipuja, tapi dimengerti hanya sepotong-sepotong mengenai seluruh proses ilmiah dan nalar ilmiah. Filsafat ilmu yang diajarkan di kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia adalah filsafat science fiction para pengajar filsafat daripada "filsafat sains"nya para ilmuwan.

"Di sisi lain, sastra pun diperkenalkan dengan ca- ra yang amat membosankan. Sebagai bagian dari pelajaran bahasa, bukan sebagai kawasan tempat manusia ingin mengkristalkan pengalamannya akan realitas yang terus berubah," imbuhnya. [Y-6]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 6 Agustus 2007

No comments: