-- Radhar Panca Dahana*
Kembali dari Parung Bingung, Bogor, dari sebuah rumah besar bergaya minimalis yang damai—ada sungai di tepinya—dan mengarungi ruang kerja serta galeri pelukis Hanafi, seperti kembali dari perasaan-perasaan purba.
Saya seperti kembali dari dunia lain, di mana kita mengenali kenyataan tidak hanya dari kepadatan lalu lintas, perdagangan sibuk pasar tradisional atau hypermarket. Juga dari ratusan bibir menggelinjang dalam diskusi, atau tukang becak yang coba mengelabui penumpangnya. Namun, dari sebuah dunia di "kejauhan", tempat segalanya bermakna ketika kita me-"rasa"-kannya.
Inilah sebuah dunia yang "berjarak" dari dunia nyata kita. Sebuah dunia kehalusan Srimpi, kidung-kidung atau kalangwan klasik, gamelan yang menggemang, patung Sudirman yang kecut, kurus dan kuyu, atau warna-warna kasumba, angka yang bergeletakan, cerita yang menusuk serta getaran giris lukisan-lukisan Hanafi; pelukis yang memegang kelengkapan modernitas dalam kebajikan alam yang tua.
Dunia yang menggerakkan kita tidak dari kekuatan dan kombinasi pikiran serta rasionalitas. Tidak dari materialitas yang tampak, terpegang dan terukur. Namun, dari sebuah gelombang yang mengalun dan menghunjam, lembut dan keras, ke dalam sanubari kita—dalam psikhe, batin, atau "Id" kita—memberi kita sebuah makna yang membuat kita menjadi lebih "paham": apa yang sesungguhnya telah terjadi di sekitar kita.
Ini mungkin sebuah pelajaran penting bagi manusia "urban" yang getas dan kering. Yang melihat dan mengapresiasi kenyataan melulu dari indikator fisik: bunga deposito, jumlah karyawan, besaran ekspor, nilai valas, kurs IHSG atau headline media massa. Sebuah ingatan akan adanya realitas yang mendekam, bergerak, bahkan berperan menentukan di kehidupan keseharian kita. Dunia "dalam", dunia "rasa", dunia gelombang: kodrat lain dari cahaya, selain sebagai foton (materi). Dan, sebenarnya, dunia makna sesungguhnya.
Ketika (kita) lupa
Bisa jadi, perikehidupan kota, dengan seluruh pranata hidup serta identifikasi-identifikasi penanda modernitasnya, tidak memberi kita passport atau sekadar tiket free untuk memasukinya. Jika tidak, kemudian kita teralpakan. Kita dibuatnya lupa, dipaksa menerima kenyataan inderawi atau empiris itu sebagai satu-satunya realitas kita, bahkan menekan kehendak itu untuk sekadar tahu: "tak adakah realitas lain selain ini"?
Lalu kita pun tenggelam dan hanyut bersamanya. Bersama artifisialisasi dari kemanusiaan dan kesemestaan kita. Dunia "batin" pun tersisih, pergi, atau meninggalkan kita selamanya.
Kita sudah akan merasa gembira dengan angka pertumbuhan ekonomi, atau jumlah dollar dalam cadangan devisa Bank Indonesia. "Fundamen ekonomi kita kokoh," kata mereka.
Namun, di seberang apartemen kita, sekian keluarga tidak tahu mereka akan makan apa hari ini. Ada yang bayinya mati di kali yang hitam, anaknya berkeliaran di perempatan bersama pelacur, bromocorah, dan virus AIDS atau flu burung mengintai.
Ah, betapa tidak bisa kita terima kenyataan jauh itu. Dunia di balik notebook Pentium Core 2 Duo, atau studio TV yang perkasa, huruf-huruf besar koran pagi, atau statistik rapat manajemen siang nanti adalah the real reality itu. Sebuah kenyataan—yang tanpa disadari—sebenarnya telah menuntun kita dalam tiga dimensi virtual. Dunia maya, yang elektronis yang sistemis dari sebuah Matrix.
Lebih tepatnya, dunia yang direkayasa oleh satu logika informatik dan mediatik tertentu. Tragik, sesungguhnya tragik, jika justru para pengambil kebijakan dan keputusan yang berenang di dalamnya.
Ketika realitas jamak
Karena dunia semacam itu adalah dunia kue lapis, betapa pun ia senikmat lapis legit Lampung yang diproses 24 jam. Dunia yang menawarkan realitas jamak, bergantung pada intensi, ideologi, latar sosial-kultural, termasuk bergantung pada peranti lunak dan keras yang digunakannya. Semua virtual.
Betapa pun, semua mengakui, realitas itu miliknya. Namun, siapa bisa mengatakan: kenyataanmu sama dengan milikku? Realitas, kini, adalah milik pribadi seseorang, sekelompok orang, separtai politik, atau segolongan agama. Kita merekayasa (dan direkayasa) kenyataan kita sendiri-sendiri.
Maka, cobalah tatap dan renungkan semua yang ada di hadapan kita. Sungguhkah semua sebagaimana tampaknya? Takkah itu hanya simulasi simbolik saja? Simulacra, antara lain, kata sebagian. Tidakkah itu hanya sebuah game of semiotics belaka? Tiadakah sesuatu yang tersembunyi di baliknya? Yang bergetar, beresonansi, dan bergelombang menembus permukaan kulit ari dan daging kita yang penuh luka, langsung masuk ke hati dan kesadaran dalam kita? Lalu menemukan sebuah kata lain, gerak lain, manusia lain, semesta lain, dunia lain; dunia yang mungkin tak terbayangkan. Namun, mungkin itu dunia yang sesungguhnya.
Anda mungkin tetap akan mengatakan "omong kosong!" untuk semua itu. Baiklah. Jangan paksa diri Anda. Untuk melakukan sesuatu yang Anda tak mau, atau merasa tak "mampu", atau bisa jadi Anda rasa "tak perlu". Anda hanya perlu yang pasti. Pasti Anda akan naik gaji, naik jadi direktur, atau mungkin jadi menteri. Pasti untung rugi, atau saldo pasar dalam relasi sosial dan politik Anda.
Ketika imajinasi mati
Tak ada lagi dunia kemungkinan lain. Dunia serba mungkin, di mana hidup memberi game atau puzzle yang harus kita jawab. Dunia dan hidup tanpa tapal batas, dunia imajinasi kita. Karena memang, dunia inilah yang telah mati. Tidak tumbuh lagi. Ruangnya sempit dan jarak pandangnya sangat dekat.
Itulah dunia kerja kita, tanpa imajinasi. Alhasil, kepercayaan kita padanya—sebagai dunia yang dapat mengembang dan menciutkan dunia wadak kita—hilang. Imaji kita jadi sangat filmis dan terkonstruksi.
Akhirnya kita tak sadar, ratusan dan ribuan tahun, hidup kita bertahan dan berkembang sesungguhnya dari dunia yang kita tolak dan menjadi pandak itu. Di negeri kepulauan inilah, imajinasi pernah dan bisa sampai pada induknya, pada ibunya, di dasar keberadaan dan tradisi kita. Dasar dan tradisi yang melahirkan kebesaran-kebesaran, yang kini tetap menjadi alasan kita bangga dan menjadi satu.
Akan tetapi, alam baru meminta kita menafikannya. Menafikannya!
* Radhar Panca Dahana, Sastrawan, Tinggal di Tangerang
Sumber: Kompas, Kamis, 30 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment