COBA tanya Arief Budiman soal Ong Hok Ham. Salah satu ceritanya kemungkinan berkaitan dengan ramalan Ong Hok Ham yang kerap dipanggil Pak Ong mengenai masa depan Indonesia.
Arief mengungkapkan, saat perjuangan mahasiswa melawan Bung Karno, Pak Ong berulangkali mengingatkan Arief dan kawan-kawannya soal kemungkinan bangkitnnya diktator militer di Indonesia. Saat itu Arif menjawab, yang penting jatuhkan dulu Bung Karno.
Bung Karno kehilangan kekuasaan. Lalu apa yang diramalkan Pak Ong terbukti. Soeharto dan kawan-kawannya berkuasa. Soal sepak terjang kekuasan Soeharto sudah diketahui masyarakat. Tidak salah jika dalam film dokumenter Kado Buat Rakyat Indonesia, Arief mengatakan, "Ong benar."
Peramal itu sekarang sudah tiada. "Pak Ong meninggal setengah jam lalu di rumahnya di Cipinang Muara. Seminggu lalu saat saya bertandang ke rumahnya dia masih mau bicara banyak tentang soal-soal kesejarahan. Tapi agak sulit memahami apa yang dikatakannya karena suaranya sudah tidak jelas," kata Direktur Ong Hok Ham Institiut, Andi Achdian Kamis (30/8) malam.
Pak Ong jelas bukan peramal biasa. Ia sejarawan. Tapi bukankah sejarawan adalah orang yang dengan tekun mengkaji peristiwa di masa lampau dan kemudian bisa menggunakan pisau analisisnya untuk mengkaji masa kini.
Lepas dari soal itu, nama Ong Hok Ham jelas sulit dipisahkan dari dunia sejarah di Indonesia. Namanya menggetarkan. Bukan saja karena kecerdasan dan ketekunannya. Bukan hanya karena disertasinya yang berjudul The Residency of Madiun ; Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century di Universitas Yale, Amerika Serikat masih menjadi bahan kajian menarik para sejarawan.
Asvi Warman Adam, sejarawan yang sering menulis di media massa mengakui kepeloporan Pak Ong untuk menuliskan persoalan sejarah di media massa. Ong Hok Ham memang penulis yang produktif. Kumpulan tulisannya di Majalah Tempo (1976-2001) sudah diterbitkan dengan judul Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang salah satu bukti kecil konsistensi almarhum di dunia tulis menulis.
Kumpulan tulisannya kemudian menjadi buku berjudul Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa adalah contoh lain betapa dia adalah sejarawan yang mau membagi-bagikan ilmunya kepada masyarakat. Salah satunya dengan mengirimkan begitu banyak artikel ke media cetak.
Menurut Bambang Hartanto salah seorang keponakan almarhum, jenazah Ong Hok Ham akan dikremasi. Namun Bambang belum bisa memastikan tempat sang sejarawan yang ahli kuliner itu akan dikremasi.
"Masih sedang dirapatkan keluarga. Mungkin paling lambat Minggu (2/9) dilakukan kremasi," tutur Bambang.
Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia kelahiran 1 Mei 1933 sekarang sudah tiada. Tulisan-tulisannya pasti akan terus dibaca dan dikaji ulang. Indonesia perlu banyak sejarawan berani seperti Pak Ong. [M-15/A-14]
Sumber: Suara Pembaruan, 31 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment