JUNAEDI Setiyono meluncurkan karya novel bertajuk Glonggong. Dalam karya perdananya ini, dia mengangkat persoalan-persoalan eksistensial manusia; masalah kultur, sosial, politik, ekonomi, dan religius.
Novel setebal 294 tersebut mengisahkan Danukusuma kecil yang gemar bermain gonggong––pedang-pedangan terbuat dari tangkai daun (pelepah) pepaya yang hingga menyerupai pedang. Karena kegemarannya itulah, Danukusuma mendapat nama julukan Glonggong.
Sejak kecil, Glonggong sudah dihadapkan pada realitas kehidupan yang keras. Ayahnya seorang ningrat, meninggal dalam suatu pertempuran melawan kompeni saat dia masih kecil. Ibunya menikah lagi dengan ningrat lain yang hedonis, dan kemudian ibunya meninggal. Glonggong hidup terlunta-lunta sebatang kara.
Dalam perjalanan hidupnya, dia terjebak dalam hiruk-pikuk dan intrik politik ketika Perang Jawa (Java Oorlog) sekitar 1825–1830 berkobar. Masyarakat Jawa terpecah menjadi dua kutub. Satu kutub memihak Pangeran Diponegoro melawan kompeni Belanda. Dan kutub lainnya, memihak Patih Danureja yang bersekutu dengan kompeni Belanda.
Pada perseteruan ini, Glonggong dijebloskan dalam penjara. Oleh Ki Jayasurata diajak membantu perjuangan Pangeran Diponegoro. Melalui novel Glonggong, Junaedi memperkenalkan pembaca masa menjelang hingga Perang Jawa itu. Ingar bingar politik dan perseteruan sesama kaum yang menjadi pengalaman pahit di kala itu dipaparkan.
Oleh penulis kelahiran Kebumen, 16 Desember 1965 itu, kisah hidup Glonggong dipaparkan lancar dalam plot yang indah dan memikat. Penulis memperkenalkan karakter sang tokoh yang gesit di tengah kesulitan hidup, intrik politik, keserakahan akan materi, takhta, dan wanita.
Langgam dasar novel Glonggong, menurut Guru Besar Filsafat Unpad Bambang Sugiharto, adalah sikap penulis yang mampu melihat persoalan secara realistis, multidimensi, dan seimbang. Penulis menghindari sikap moralitas yang serba menghakimi. Penulis selalu setia pada pelukisan dan menghindari diri dari berbagai tendensi ekstremitas.
“Meskipun demikian, ia bukan tanpa sikap. Ia tetap menawarkan kiblat nilai yang jelas; kesetiaan pada nilai perjuangan, pembebasan, kejujuran, ketulusan tegar dan matang dalam aneka penderitaan. Sebuah keseharian yang imani, tanpa banyak pretensi teguran moral,” kata Bambang.
Saat ini kondisi umum masyarakat Indonesia cenderung diharu biru antusiasme religius dan politis yang meledak-ledak. Setting intrik dan pengkhianatan dalam dunia politik pada masa pergerakan Diponegoro masih saja terus berulang dalam persoalan politik maupun religius di Tanah Air. Kondisi ini tentu membutuhkan penyeimbangan yang salah satunya bisa ditemukan dalam novel Glonggong.
“Novel ini menyingkapkan borok-borok dan kemunafikan dengan cerdas dan menyentuh. Sebuah suara arif dan lugu dari kedalaman kehidupan dan penderitaan orang kecil yang pada titik tertentu sungguh sangat berharga untuk didengarkan,” kata dia.
Maka, menurut Bambang, novel Glonggong juga membangkitkan kembali ingatan yang nyaris hilang ihwal dinamika kehidupan tradisional Jawa dengan segala keprihatinan dan kesehariannya yang tegar, arif, dan mendalam.
Sementara bagi sastrawan Ahmad Tohari, novel Glonggong bisa dikategorikan sebagai novel historiografi Perang Diponegoro. Melalui novel ini bisa ditelusuri segala persoalan masa kini. “Genetika kebobrokan politikus sekarang bisa dilacak dengan jelas dalam novel Glonggong,” kata Ahmad mengomentari novel karya Junaedi itu. (donatus nador)
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 19/08/2007
No comments:
Post a Comment