Sunday, August 26, 2007

Sastra: Sekali lagi Soal Ide dan Bahasa tentang Tanggung Jawab Redaktur

-- Eko Endarmoko*

MENULIS mungkin sebuah laku absurd. Bayangkan, orang dituntut memberi wujud dalam bentuk tulisan pada sesuatu yang mujarad, yaitu ide yang bersemayam dalam pikiran. Karena itu, seorang penulis niscaya pernah mengalami kesulitan menuliskan ide atau perasaannya. Itu pertama-tama dipengaruhi kekayaan kosakata. Semakin miskin kosakata seseorang semakin sulit pula ia menyatakan pikiran atau perasaannya tadi. Tapi khazanah kata yang kaya tidak dengan sendirinya menjadi jaminan karena menulis tentu juga memerlukan keterampilan merangkai kata, menata kalimat, dan membangun wacana.

Celakalah orang yang terlalu yakin pada kata-kata di dalam tulisannya sendiri sebab sebuah kata sering berkhianat sehingga maksud penulis ditangkap secara berbeda atau malah tak dapat dimengerti pembaca. Maksud penulis bisa disalahtafsirkan, antara lain karena makna adalah sesuatu yang cair karena sebuah kata punya beragam arti dan watak. Jika membaca sebuah tulisan, setiap orang akan punya penafsiran sendiri sesuai dengan latar sosial, taraf pengetahuan, dan pengalaman membacanya.

Sebuah tulisan kita katakan gelap, alias dapat tidak dipahami, sering bukan karena pembaca bodoh, melainkan karena cara merumuskannya di dalam kalimat yang berbelit. Maka, saya selalu percaya penerapan kaidah berbahasa yang baik dan betul banyak berperan membantu penciptaan kalimat yang maksudnya dapat dimengerti. Sebaliknya, kalimat yang ruwet dan kabur sering dapat dibuktikan terlahir dari tangan penulis yang abai pada kaidah berbahasa.

Seorang sastrawan pernah menanggapi kritik yang menilai tulisannya gagal. Ia berkelit yang penting pembaca mengerti dan tidak perlulah teori-teori yang menakutkan—satu pernyataan sikap yang cukup sering kita dengar. Juga mengutarakan dalih, yang ia kira ampuh, bahwa ia mengantongi licentia poetica, yaitu kuasa sastrawan menyalahi aturan bahasa demi mencapai apa yang ia maksud.

***

LUPAKANLAH penulis naif yang abai pada hukum dasar tata bahasa sambil bersembunyi di balik licentia poetica. Sebab, sungguh ganjil bila ia mengaku tengah bereksperimen menjempalitkan bahasa padahal tak ia pahami perbedaan cara menulis 'kelima' dan 'ke lima' atau 'keluar' dan 'ke luar' dalam kalimat. Lupakan ia yang dengan ringan hati menepikan teori, satu pokok penting yang justru menjadi landasannya berkarya. Bukankah teori paling sedikit menyediakan seperangkat tata istilah yang memberi pengertian tentang bagian-bagian sesuatu tulisan sampai yang sekecil-kecilnya?

Kadang saya bertanya-tanya, sudah sedemikian jelekkah bangun bahasa Indonesia sehingga tak mampu lagi menjadi wadah yang baik bagi ide-ide penulis? Jika tidak, itu berarti para penulislah yang enggan berkeringat di dalam menjelajahi pelbagai kemungkinan yang tersedia di dalam bahasa Indonesia. Tapi jika benar begitu, sekali lagi saya bertanya, apa gerangan yang dikerjakan para penyunting atau redaktur selama ini?

Jika menengok kembali bacaan yang terhampar di depan mata, terutama yang dimuat dalam koran, majalah, dan tabloid, kita memang patut curiga banyak yang menunjukkan tanda tidak disentuh redaktur dan tidak dibaca secara kritis sebelum naik cetak. Barangkali redaktur media cetak punya pandangan tersendiri bahwa tulisan berupa opini, apalagi karya sastra, tidak boleh diubah barang sedikit. Tapi apa sebetulnya maksud pernyataan media, yang mungkin sudah jadi konvensi tak tertulis, bahwa tulisan yang dimuat tidak berarti sejalan dengan opini redaksi?

Ada satu hal yang dapat atau malah perlu kita persoalkan di balik pengumuman itu, yakni satu perkara yang kiranya ikut menyebabkan iklim pemikiran terpantul pada tulisan-tulisan di sana terbaca semakin gersang. Memuat sebuah tulisan nyaris sebagaimana adanya—dengan segala kekeliruan bahasa, data, termasuk nalar yang meragukan—tampaknya lama-kelamaan kian menjadi kebiasaan.

Saya tidak menolak pendirian bahwa pada akhirnya bukan media, melainkan penulis yang memikul tanggung jawab atas tulisannya. Tapi sadarilah, pada saat sebuah media memutuskan menerima tulisan seseorang, dari kacamata etika, si media sudah mengambil sebagian dari tanggung jawab tersebut. Setidaknya, penilaian miring terhadap tulisan buruk seperti itu bakal mengarah bukan saja ke penulis, melainkan juga bisa menjadi bumerang bagi media yang memuatnya.

***

MEDIA cetak komersial seperti koran dan majalah tentu lebih memperhitungkan atau lebih tepat memanjakan kalangan pembaca. Entah disadari atau tidak, media itu terikat keperluan memelihara hubungan dengan khalayak pembacanya sedikit banyak dalam kerangka ekonomi. Mungkin itu sebagian dapat menjelaskan mengapa mereka cenderung menyukai esai yang berisi ide-ide dan pemikiran yang menantang karena itu berpeluang mengundang polemik.

Tapi tampak oleh kita, ada perbedaan sangat besar antara polemik belakangan ini dan polemik kebudayaan sekitar tujuh puluh tahun silam antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan lain-lain. Lihatlah, Sutan Takdir dan kawan-kawan selalu mempertengkarkan ide, seperti apa kiranya bentuk ideal masyarakat dan kebudayaan Indonesia, dan tidak kita temukan cemooh atau lontaran kata-kata yang saling menghinakan di antara mereka.

Saya tidak tahu sejak kapan dan mengapa tulisan di sekitar kita semakin banyak bertaburkan kata umpatan yang ditujukan pada pribadi-pribadi, tapi bukan itu yang ingin saya perbincangkan sejak awal dalam tulisan ini. Sudah saya katakan, saya tidak menolak pendirian bahwa pada akhirnya penulislah yang bertanggung jawab atas tulisannya. Itu bukan berarti penyunting atau redaktur dapat lepas dan cuci tangan begitu saja. Apalagi, bagi saya, sedikit banyak ia ikut memberi pengaruh baik atau buruk pada iklim pemikiran dan penciptaan.

Kalau boleh meringkaskan kembali, penyunting atau redaktur tidak selalu berurusan dengan tubuh sebuah naskah. Ia juga mesti menghiraukan kandungan ide di dalamnya sepanjang tidak menyangkut pandangan penulis. Tidakkah bisa saja terjadi, misalnya, seorang penulis keliru memahami sebuah teori, katakanlah tentang strukturalisme atau dekonstruksi? Itu kasus yang patut dipersoalkan seorang penyunting atau redaktur, bukan pandangan penulis. Sebab jika hal terakhir yang terjadi, ia sudah melakukan sensor di sana.

***

MUDAH-MUDAHAN menjadi makin teranglah, seorang penyunting atau redaktur, selain kemampuan bahasa, perlu mengembangkan kemampuan berbahasa sebab nilai sebuah tulisan bukan semata terletak pada pelaksanaan kaidah kebahasaan, melainkan juga apakah tulisan itu dapat dimengerti dan yang tak kurang penting, valid. Di dalam bekerja, seorang penyunting selalu berada di tengah medan ide atau pengertian yang silang-sengkarut. Di tengah keriuhan itu, sang penyunting yang baik akan selalu mencadangkan kecurigaan sewaktu menatah kalimat, menyingkap selubung makna, dan mengawasi serta merawat bangun kalimat sampai pada tataran wacana.

Pengetahuan kebahasaan, dalam kenyataan, tak banyak menolong bilamana seorang penyunting berhadapan dengan isi, dengan ide, dan dengan persoalan-persoalan konseptual. Bukan teori linguistik yang ia perlukan, melainkan pengetahuan mengenai materi, pokok soal, yang diketengahkan penulis. Termasuk, tentu saja, kepekaan terhadap soal-soal yang bersinggungan dengan etika. Di situlah letak tanggung jawab moral seorang penyunting atau redaktur.

Bekasi, Agustus 2007

* Eko Endarmoko, penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia dan giat di Komunitas Utan Kayu.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Agustus

No comments: