Sunday, August 05, 2007

Tifa: Polemik, Ekshibisionis-Narsistis, Berkaryalah!

-- Maman S Mahayana*

ESAI Binhad Nurrohmat (BN), Malu (Aku) Jadi Penghujat Sastra (Media Indonesia, 22 Juli 2007), telah menggiring perkara unsur seks dalam sastra sebagai wilayah publik menjadi perkara individu. Cara pandang reduksionis dan pipih seperti itu, tidak hanya mengaburkan masalah substansial yang diusung Taufiq Ismail (TI), melainkan juga mengubur hak apresiasi publik. Di sinilah perlunya memahami jagat sastra secara lengkap, dan tidak memamah secara bulat-mentah remah-remah pendapat yang tersesat. Maka, yang perlu diperhatikan adalah: jadilah mualaf pengamat sastra yang baik, yang membaca sejarah tidak dari kutipan, dan yang melihat segala persoalan secara komprehensif dan lengkap.

Cermatilah esai itu. Maka yang segera tampak adalah gelora yang penuh semangat seolah-olah. Perhatikan posisi TI--dalam esai itu--yang divonis jadi penghujat sastra, dan bukan penolak seks dalam sastra yang digambarkan secara vulgar. Bagaimana mungkin, sastrawan menghujat dirinya sendiri. Yang ditolak TI adalah percabulan, kelucahan, dan kerabatannya sampai ke hedonisme. Esai itu juga terkesan hendak menempatkan penulisnya seolah-olah pembela kebebasan berkreasi. Demikian pula cara menyandingkan tulisan TI dengan tulisan sastrawan Lekra, tidak hanya memasukkan TI tidak berbeda dengan penulis Lekra, tetapi juga mengusahakan penulis esai itu, seolah-olah penentang TI dan sekaligus Lekra.

Dapat dipahami kerisauan yang melanda penulis belia itu atas pernyataan TI mengenai Gerakan Syahwat Merdeka (GSM), Sastra Mazhab Selangkangan (SMS), dan Fiksi Alat Kelamin (FAK). Semangat yang menjiwai pernyataan TI adalah kepeduliannya atas nasib bangsa. Kehidupan seks dan pornografi dengan segala akibatnya itu, sesungguhnya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan apa yang tertulis dalam teks sastra. Taufiq melihat perkara itu dalam skala global--nasional. Seks dalam sastra adalah sekrup kecil dalam mesin raksasa yang bernama kapitalisme-- neokolonialisme; penjajahan bentuk baru melalui infiltrasi budaya hedonis. Secara ideologis, senjata yang digunakan, di antaranya, kelucahan dalam teks sastra, VCD porno dan kebebasan berkreasi yang kebablasan atas nama demokrasi.

Apakah berbagai pernyataan TI itu sengaja menciptakan sensasi, mencari popularitas, dan mengeruk keuntungan materi? Mempelajari pengalaman masa lalunya, keterlibatannya dalam dunia sastra yang jauh lebih lama dibandingkan usia BN, kontribusinya dalam pendidikan sastra di sekolah, kiprahnya dalam forum nasional dan internasional, dan kemapanan hidupnya secara ekonomi, sosial, dan spiritual, sangat tak masuk akal jika TI sengaja menciptakan sensasi, mencari popularitas, dan mengeruk keuntungan materi. Bahwa ia nyinyir menolak segala bentuk pornografi, tanggapi saja seperti anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memburu para koruptor atau kiai yang tak pernah bosan menyebarkan ayat-ayat. Serangkaian pernyataan TI tak akan meruntuhkan jagat sastra, tak bakal dapat membungkam kreativitas sastrawan, mustahil menggelinding menjadi undang-undang. Lalu, mengapa pula cemas dan memperlakukan pernyataannya bagai ombak dalam gelas?

Dalam konteks itulah agaknya TI melalaikan problem kecemasan psikologis itu. Bagaimanapun, para penulis belia itu masih perlu mengejar karier, memperluas hubungan relasi, dan mencari popularitas. Muaranya tak jauh dari persoalan perut. Maka, ketika namanya tercantum dalam daftar GSM atau SMS, tiba-tiba ia merasa ada semacam ancaman yang menyangkut karier dan popularitas. Maka, harus ada reaksi, perlawanan, sebab, di balik itu, ia dapat mendompleng popularitas pada nama besar tokoh yang ditentangnya. Di sinilah, persoalan publik yang diangkat TI berseberangan dengan kepentingan pribadi yang diteriakkan BN. Keduanya bicara sastra, tetapi masing-masing punya tujuan berbeda. TI menempatkan persoalannya dalam skala global-nasional, BN menariknya ke perkara privat, pribadi, individu.

Perlu diketahui, Taufiq Ismail atau siapa pun punya hak yang sama memperlakukan teks sastra berdasarkan kepentingan dan ideologinya. Oleh karena itu, ketika ia menyampaikan pernyataan tentang GSM, SMS, atau apa pun, ia sesungguhnya sedang menyalurkan hak apresiasinya itu. Perkara setuju atau tidak, itu soal lain. Bahwa di dalam argumennya, TI merasa perlu mencantumkan data, tak terhindarkan, perikutannya (entailment) melekat nama, meski sasaran tembaknya adalah karya. Nama di sana sekadar data, angka, nomor. Tidak lebih dari itu. Jadi, penolakan TI, bukan pada nama, melainkan karya! Dan sesiapa pun, punya hak untuk menolak atau menerima, melakukan perlawanan atau persetujuan.

***

Sepanjang sejarah umat manusia, urusan seks memang kerap menciptakan kontroversi. Tarik-menarik antara semangat menempatkan seks sebagai sesuatu yang sakral, suci, dan hanya boleh dibincangkan dengan bisik-bisik di tempat tidur, dengan mereka yang melihat seks sebagai bagian penting dalam segala aspek kehidupan, justru melahirkan gelombang besar revolusi seks. Bahkan, dalam masyarakat pascamodern, seks makin terfragmentasi sebagai komoditas yang melekat dalam iklan, film, uang, kapital, dan kekuasaan. Seks telah kehilangan rumahnya (homeless) dalam keintiman privat, tetapi menyebar ke ruang publik. Salah satunya adalah sastra.

Seks dalam sastra, juga seperti mengikuti perjalanan sejarah seks. Sastra yang mensyaratkan kemampuan bercerita dan menulis, menjadikan seks dalam sastra hanya milik masyarakat tertentu, khasnya kalangan istana. Seks dalam sastra berada dalam tembok istana. Serat Centhini atau sejenisnya adalah contoh bagaimana seks tetap tak meninggalkan rumahnya. Bahkan kisah Caligula sekalipun, pada awalnya tetap tersembunyi sebagai sejarah yang membisu, dan tidak menjadi komoditas publik.

Ketika kesenian rakyat berlahiran sebagai reaksi atas "larangan" memasuki kehidupan istana, seks di kalangan seniman rakyat, juga tetap berada di belakang panggung. Mereka menempatkan seks dalam wilayah privat, dan praktik seks tetap dijalankan dalam rumahnya. Lalu, mengapa dalam masyarakat pascamodern, seks tiba-tiba menyebar, terfragmentasikan menjadi barang produksi, iklan, kekuasaan, sampai ke karya sastra dengan bumbu seks sebagai alat sensasi?

Tulisan Sindhunata dkk. (Basis edisi seks, No. 03-04, Maret-April 2003) mengungkapkan dengan sangat mendalam dunia seks dari berbagai perspektif. Dikatakan, seks yang berada dalam wilayah privat dan kemudian menyebar ke ruang publik, memaksa manusia mempertontonkan dirinya sampai dengan keintimannya yang paling tersembunyi. Itulah yang disebut Sindhunata: ekshibisionis. Mereka mudah dilanda "Ge-Er" dan serta-merta menggelembungkan diri sebagai "star". Ia menjadi pribadi yang narsistis, kecanduan pada cinta diri secara berlebihan.

***

Polemik sepihak Binhad Nurrohmad dan Taufiq Ismail adalah contoh serpihan kecil sisi lain kehidupan seks dalam tarik-menarik antara ruang privat dan wilayah publik. Para pengarang besar macam Gustave Flaubert pada zamannya, yang dalam karyanya menyelinapkan unsur seks, tetap bergeming, tak cemas, apa pun yang dikatakan orang atau sesiapa pun yang menyerangnya. Jadi, polemik itu sesungguhnya tak produktif. Jika yang dibincangkan karya, maka jawablah dengan karya. Karya itulah yang akan menggelembungkan pengarangnya, bukan sebagai pribadi ekshibisionis, apalagi narsistis. Bermula dari karya, kembalilah ke karya!

* Maman S Mahayana, pengajar FIB-UI, Depok

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 5 Agustus 2007

No comments: