Friday, September 30, 2011

Indonesia Butuh Mitigasi Konflik

-- Keith Hargreaves

SEBERAPA sering Anda membawa payung ketika melihat awan hitam di langit? Apakah Anda pernah membawa pakaian tambahan untuk liburan sesuai keadaan cuaca yang berbeda dari biasanya?

Hal inilah yang disebut tindakan mitigasi; mempersiapkan diri untuk suatu kejadian yang mungkin atau tidak mungkin terjadi, tetapi jika tidak, dapat menimbulkan masalah serius.

Sementara itu, menjadi basah dan mengenakan pakaian yang tidak sesuai adalah hal yang menyebalkan dan biasanya tidak mengancam nyawa; ada peristiwa lain yang lebih serius dan bisa disebut sebagai tindakan mitigasi.

Istilah mitigasi ini sering digunakan dalam kaitannya dengan bencana alam. Indonesia telah belajar banyak dari tsunami yang melanda Aceh dan saat ini di beberapa daerah berbahaya di Aceh sudah memiliki sistem peringatan dini yang dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya tsunami, sebagai bagian dari strategi mitigasi.

Penduduk Ternate juga telah menyosialisikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan memasang papan iklan yang sangat besar di setiap sudut kota, untuk mengingatkan mereka ke mana mereka harus pergi apabila terjadi bencana gempa bumi dan tsunami.

Pengelola gedung pencakar langit telah memberikan pelatihan untuk peristiwa kebakaran, gempa bumi, atau bahaya lainnya terhadap para penyewa gedung, sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan. Kunci utama yang perlu diingat adalah tindakan mitigasi ini tidak mencegah terjadinya bencana.

Kita tidak bisa mengatur kapan bencana atau gempa bumi akan terjadi. Namun kita dapat mempersiapkan diri untuk mengurangi kerusakan yang akan terjadi. Ini adalah inti dari mitigasi yang baik.

Untuk menunjukkan betapa pentingnya mitigasi yang baik, saya telah melakukan penelitian terhadap dua gempa bumi yang terjadi di tahun yang sama, dengan kekuatan yang hampir sama besarnya dan di sekitar kedalaman yang sama, tetapi di negara berbeda.

Penelitian ini menunjukkan bahwa negara dengan mitigasi baik, di mana bangunan yang kokoh dan teratur ditegakkan, pelatihan rutin dilakukan, dan masyarakatnya dilatih mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan, kerusakan atas kehidupan manusia dapat diminimalkan. Dalam hal ini hanya tiga orang tewas.

Di negara dengan mitigasi yang kurang, di mana tidak ada bangunan kokoh dan tidak tahan gempa, 37.000 orang tewas. Perbedaannya sangat mencolok.

Karena gempa bumi dan bencana alam lainnya bisa terjadi setiap saat, mitigasi adalah proses berkelanjutan yang tidak dapat dihentikan, bahkan jika belum ada bencana alam untuk waktu yang lama. Dalam pengertian ini, mitigasi adalah kisah yang tidak pernah berakhir.

Buatan Manusia

Akan tetapi mitigasi yang penting justru ketika bencana adalah buatan manusia, misalnya dalam bentuk konflik antardesa atau perkelahian antarkelompok yang bersaing.

Kita harus belajar dari kejadian-kejadian di Ambon, bom bunuh diri di Surakarta, dan beberapa kejadian yang sering terjadi untuk melihat bahwa di beberapa komunitas setidaknya isu kekerasan antar-masyarakat tampaknya hanya menghilang sejenak.

Ancaman insiden berikutnya atau wabah selalu ada. Dalam hal ini mitigasi tidak hanya mungkin, tetapi sangat penting. Kekerasan komunal dapat dengan sangat cepat lepas kendali dan akan banyak korban yang berjatuhan.

Tokoh masyarakat di Ambon sangat menyadari hal ini. Selama ini jika ada kejadian apa pun mereka segera bertemu dengan anggota komunitas mereka, kemudian diberikan pengarahan singkat atas kejadian-kejadian yang pernah terjadi guna mencegah kesalahpahaman dan masalah lebih lanjut.

Pertemuan diadakan dengan media untuk menunjukkan bahwa masalah sedang ditangani. Namun ini bukan mitigasi, ini adalah reaksi.

Apa yang tidak dilaporkan adalah jumlah kejadian yang merupakan bagian dari proses mitigasi pada masa non-kekerasan. Contohnya termasuk membangun kepercayaan di antara tokoh masyarakat dan antarmasyarakat sendiri melalui kegiatan sosial dan budaya bersama atau pertukaran kunjungan yang mengingatkan setiap komunitas kemanusiaan yang lain.

Acara budaya yang melibatkan semua usia dan semua masyarakat dapat membantu mempererat hubungan. Mengajak orang-orang muda yang paling kritis dalam hal konflik sangatlah penting.

Namun, pemerintah daerah harus melihat berapa banyak dana yang mereka harus keluarkan untuk peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Ambon, sebelum kejadian terakhir, yang mungkin sangat sedikit. Ketika masyarakat sudah berdamai, pemerintah yakin kalau masalah sudah berakhir.

Dengan berjalannya waktu, pendanaan untuk mitigasi bencana buatan manusia dihilangkan. Dan tidak ada seorang pun akan berpendapat bahwa hanya karena gempa bumi tidak terjadi selama bertahun-tahun maka ancaman gempa besar telah pergi.

Yang pasti ini akan memperburuk efek dari gempa yang mungkin akan terjadi. Jadi, mengapa kita tidak berpikir dengan cara yang sama dengan konflik atau bencana buatan manusia secara lebih luas?

Masyarakat dan pemerintah berada dalam penyangkalan atas konflik, yang dapat kita lihat dan merupakan bagian alami dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat tidak setuju pada banyak hal. Begitu juga dengan keluarga dan individu.

Tetapi kekerasan yang berasal dari konflik adalah cerita lain sama sekali. Kekerasan tidak alami. Kekerasan membuat seseorang kehilangan anggota keluarga dan masyarakat menjadi terpisah.

Setiap orang harus mengurangi pemasalahan yang berakibat pada kekerasan komunal dengan mendukung peristiwa komunal, dengan membuka hati orang-orang untuk merayakan perbedaan alih-alih menghukum orang, keluarga, dan masyarakat karena berbeda. Perbedaan adalah rahmat.

Keith Hargreaves
, bekerja sebagai Kepala Bagian Konsultan Internasional di Strategic Asia Indonesia, salah satu perusahan konsultansi Indonesia di bidang kebijakan dan fasilitas bisnis ke bisnis di antara negara China, India and Indonesia


Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 30 September 2011

No comments: