-- Siti Muyassarotul Hafidzoh
KASUS sekolah rusak dengan infrastruktur yang sangat terbatas layak mendapat sorotan serius masyarakat dan pemerintah. Bagaimana generasi bangsa bisa mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik kalau infrastruktur sekolah sangat miskin, bahkan sudah banyak yang rusak.
Marilah kita menengok kondisi ruang kelas sekolah SD dan SMP yang rusak. Sebanyak 20,97% ruang kelas SD rusak, sedangkan di SMP sekitar 20,06%. Sampai tahun 2011, ruang kelas yang rusak terdata 187.855 ruang dari total 895.761 ruang kelas. Sementara di SMP ada 39.554 ruang rusak dari 192.029 ruang kelas. (Kemendiknas, 2010).
Kondisi sarana dan prasarana pendidikan yang terurai belum termasuk sekolah swasta yang tidak terdata jumlahnya. Belum lagi, sekarang banyak sekali bencana yang menerpa berbagai daerah di Indonesia. Selain mengakibatkan banyak rumah penduduk rusak berat dan ringan, juga banyak ruang kelas dan sarana pendidikan dalam kondisi memprihatinkan. Dalam konteks ruang kelas yang rusak, pemerintahan Presiden SBY sudah menjanjikan akan menyelesaikan ruang kelas yang rusak sampai batas akhir 2008. Tetapi sampai tahun 2011 ini, masih banyak sekolah yang rusak dan infratruktur yang sangat terbatas.
Intruksi Presiden pernah menetapkan perlunya pembatasan pembangunan gedung, rumah dinas dan pemangkasan biaya administrasi negara. Tetapi, fakta riil di lapangan makin banyak sekolah yang masih terabaikan, khususnya sekolah swasta. Kondisi ini tambah ganjil, karena wakil rakyat ternyata akan menikmati gedung mewah senilai Rp 1,138 triliun. Walaupun mendapat protes keras dari rakyat, tetapi pembangunan gedung wakil rakyat tetap berlangsung. Kritik rakyat hanya sekedar angin lalu saja. Wakil rakyat bukan lagi mengemban amanat rakyat, melainkan mengemban amanat kepentingan yang melekat dalam diri masing-masing dan partai politiknya.
Para pejabat negara ini ternyata mempunyai kepekaan yang rendah dalam peningkatan pendidikan bangsa. Kualitas pendidikan bangsa ini masih diabaikan demi kepentingan politik dan bisnis semata. Pendidikan hanya menjadi jargon kala elite politik sedang kampanye. Kala mereka sudah duduk di kursi kehormatan, mereka alpa bahwa kursi tersebut mereka raih dari janji-janji yang tak pernah dipenuhinya.
Kursi itu ternyata bukan kursi kehormatan, tetapi keangkuhan dan kerendahan yang dipelihara demi ambisi kekuasaan. Mereka seolah tak mengerti bahwa kesengsaraan masih diderita rakyat. Bahkan, mereka lupa bahwa dirinya wakil rakyat, bukan wakil partai politik, bukan pula wakil kepentingan kelompok sesaat.
Rendahnya kepekaan elite politik kita akibat hilangnya kepercayaan politik, sehingga terjadi skeptisisme politik. Yasraf A Piliang (2011) melihat kepercayaan politik antara rakyat dan politisi merupakan modal sosial paling penting untuk membangun kemajuan proses demokratisasi. Kepercayaan merupakan ekspektasi yang tumbuh dalam komunitas dengan perilaku reguler, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dihormati bersama.
Kemampuan sebuah negara bangsa masuk dalam jejaring pergaulan lebih kompleks bergantung kepada tingkat kepercayaan yang mampu dibangunnya. Ketika kultur yang diperlukan untuk membangun kepercayaan tak mendukung, seperti KKN, kekerasan, pemborosan uang negara, maka fondasi kepercayaan dalam sistem demokrasi akan rapuh. Kepercayaan memberikan vitalitas dan optimisme sebuah bangsa dalam membangun masa depan.
Sayang sekali, kepercayaan (trust) pemerintah-masyarakat atau masyarakat-pemerintah sekarang sudah tergerus oleh kepentingan sesaat. Satu sama lain sudah hilang kepercayaannya. Yang terjadi kemudian adalah skeptisisme berdemokrasi. Politik yang skeptis hanyalah melahirkan pesimisme, konflik, ketidakharmonisan, prasangka, dan bentuk negatif lainnya yang membuat buruk sangka satu dengan lainnya.
Ketakpercayaan, kata Yasraf, akan melahirkan kecemasan (anxiety) dan ketakpastian (insecurity), yang mengurangi kepercayaan diri dan optimisme. Kecemasan membuat masyarakat hampa dan lunglai dengan dirinya sendiri. Ketakpastian menjadikan masyarakat lahir dalam keadaan tak ada orientasi dan tujuan yang jelas.
Di tengah kekalutan demikian ini, kaum elite dan rakyat Indonesia perlu menjadi ksatria. Menjadi manusia, menurut Indra Tranggono (2011), sejatinya harus menjadi ksatria. Politikus harus berani menjadi pejuang, petarung sejati, ksatria, bukan pecundang, pialang atau makelar. Ksatria adalah mereka yang berjuang teguh dengan prinsip dan berani dengan resiko atas amanah atau tugas yang diemban. Ksatria tak mau memilih tugas, yang enak atau tidak enak, populer atau tidak populer, bergaji tinggi atau rendah, mendatangkan pujian atau cercaan. Semua yang dilakukan ksatria merupakan pilihan yang dijalankan berdasarkan keyakinan dan prinsip teguh yang dipegangnya.
Para anggota DPR, pemerintah dan rakyat Indonesia harus menjadi ksatria. Pendidikan Indonesia yang masih semmrawut sekarang ini membutuhkan para ksatria yang berani berjuang dengan teguh untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan. Karena, dari pendidikan inilah akan lahir ksatria-ksatria hebat yang akan memperjuangkan Indonesia dengan penuh kesungguhan. Sebagai 'kawah candradimuka', sekolah akan menjelma sebagai ruang penempaan yang mencetak kader bangsa yang penuh vitalitas, optimisme dan keyakinan untuk kemajuan bangsanya.
Bung Karno berkali-kali mengingatkan bangsa Indonesia bahwa 'Indonesia tidak butuh para pecundang. Pecundang hanya akan menjilat tanah airnya sendiri. Indonesia lahir untuk para ksatria yang berjuang tanpa pamrih demi Indonesia raya'.
Siti Muyassarotul Hafidzoh, Peneliti pada program Pasca-Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Sumber: Suara Karya, Kamis, 29 September 2011
No comments:
Post a Comment