Sunday, September 18, 2011

[Buku] Etika Publik di Negeri Korupsi

Judul : Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politis

Penulis : Haryatmoko

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011

Tebal : 217 halaman



INDONESIA memang negeri ganjil, negeri “sakit nalar” dan alpa etika publik. Para pejabat publik dan politisi tampil dalam kenecisan pakaian dan pencitraan politis tapi kerap mengabaikan makna diri sebagai pemikul tanggung jawab. Mereka bergerak di kekuasaan dengan pelbagai pamrih dan risiko. Korupsi adalah fakta dari ketidakbecusan menerima amanah, kegagalan mendefinisikan peran dan dedikasi demi negeri.

Buku ini hadir untuk mengingatkan, memberi seruan-seruan reflektif tentang kondisi Indonesia dan ikhtiar membenahi diri. Haryatmoko menghendaki bahwa etika publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik. Rancangan ini diacukan pada fakta-fakta ironis: konflik kepentingan, korupsi, birokrasi berbelit. Semua fakta membuat Indonesia bangkrut, luka, dan apes. Pengajuan diskursus etika publik dimaksudkan sebagai refleksi tentang standar moral atau norma dalam menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan, dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam agenda menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.

Gapaian dari penerapan etika publik adalah "upaya hidup baik", "membangun institusi-institusi berkeadilan", dan "integritas publik". Idealitas ini kerap senjang dengan realitas. Kita bisa ajukan kasus skandal korupsi ala Nazaruddin, pemalsuan surat MK, mafia-calo anggaran di DPR, dan kisruh integritas di KPK. Semua menampilkan wajah buram politik Indonesia. Uang jadi rebutan, jabatan manjadi pijakan untuk melanggar hukum dan moral, kekuasaan jadi klaim-klaim konflik kepentingan. Etika publik terabaikan oleh nafsu uang dan kekuasaan, pamrih picik dari nalar sesat dan keruntuhan moral.

Puncak dari semua praktek merugikan pelayanan publik adalah korupsi. Tindakan melanggar hukum, etika politik, dan kemanusiaan ini sudah jarang menimbulkan jera. Banalitas korupsi adalah tanda dari ketiadaan rasa bersalah dalam diri koruptor. Impunitas pun memberi cerminan arogansi koruptor. Wabah korupsi, wabah pengeroposan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika publik mutlak diperlukan untuk mengurusi aib-aib di Indonesia. Etika publik memungkinkan bagi pembentukan institusi adil demi melawan korupsi.

Korupsi akut justru bersarang di partai politik. Haryatmoko menengarai partai politik turut menjadi penentu kebangkrutan negara dan derita rakyat. Pendanaan partai politik adalah pemicu korupsi. Praktek ini susah diberantas karena relasi dan alibi politik. Faktor kebutuhan dana besar jadi dalil kunci bagi orang-orang di partai politik melakukan korupsi saat menduduki jabatan-jabatan strategis di ranah eksekutif atau legislatif. Partai politik cenderung mendorong dan melindungi tindak korupsi demi eksistensi dan pragmatisme kekuasaan. Pola ini membuktikan bahwa korupsi adalah kejahatan struktural. Korupsi menjadi acuan tentang ketiadaan integritas, transparansi, akuntabilitas, dan komitmen pelayanan publik. Mereka justru mengeksploitasi, merampok, dan menghinakan rakyat.

Haryatmoko mengingatkan alpa atas etika publik membuat para pejabat publik cenderung tidak peka bila merugikan pihak-pihak lain dan negara. Mereka juga tidak peduli terhadap korban dan diskriminatif dalam memperlakukan warga negara. Semua ironi ini telah tergelar di Indonesia, negeri rapuh oleh selebrasi korupsi. Kita mungkin telah memanjatkan doa, menghujat, demonstrasi, atau berdiskusi tentang korupsi selama puluhan tahun tapi wabah ini tak lekas usai. Korupsi menjadi menu berita setiap hari, membuat nalar kita amburadul, dan mengumbar aib dalam lakon politik.

Etika publik menjadi gambaran dalam memutuskan kebijakan publik. Mekanisme ideal ini jarang berlangsung di Indonesia. Dimensi etis kadang terkalahkan oleh pamrih politis, finansial, dan kepentingan pragmatis. Kita pun mafhum bahwa sekian kebijakan publik di negeri ini justru diskriminatif, merugikan, dan mencederai moralitas publik. Haryatmoko menganggap semua itu akumulasi kesalahan moral, hukum, dan politik. Kesalahan membuat rakyat menanggung derita, memikul beban berat tanpa perlindungan moral dan politis. Tindakan resistensi pun dilakukan demi revisi, perubahan, atau pembaharuan kebijakan. Protes dan saran kadang membentur formalitas, pembakuan nalar politik oleh para pejabat. Etika publik jarang menjadi pertimbangan primer. Kita mengalami realitas-realitas buruk ini tapi susah mengelakkan diri. Etika publik seolah catatan kaki, seruan di tepian deru politik pragmatis.

Kita memerlukan para pejabat dengan integritas bersandarkan etika publik. Seleksi para pejabat dan mekanisme pengawasan memang telah diberlakukan kendati masih rawan memunculkan celah-celah tindak korupsi. Intergritas pribadi dalam pelayanan publik turut ditentukan melalui pendidikan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Haryatmoko menjelaskan integritas adalah hasil dari pendidikan, pelatihan, dan pembiasaan demi implementasi etika publik. Agenda semaian publik pun menjadi keniscayaan agar Indonesia tidak diartikan sebagai “surga para koruptor” atau negeri bangkrut tanpa moralitas. Begitu.


Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 September 2011

No comments: