-- A Kardiyat Wiharyanto
KITA semua pantas merasa malu, jika di antara kita masih ada yang menyimpan pikiran dan obsesi yang terkotak-kotak dan ingin menonjolkan kepentingan pribadi atau kelompoknya di atas kepentingan nasional. Sikap seperti itu bukan hanya menunjukkan langkah mundur, namun sudah merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa ini.
Sayangnya, nilai-nilai Pancasila tersebut sampai saat ini belum diamalkan secara maksimal oleh para pemimpin negeri ini. Pada rezim Orde Baru, misalnya, Presiden Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Saat ini Pancasila juga hanya jadi jargon.
Disadari atau tidak, nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sudah menjadi kabur. Sebagai warga bangsa yang mencintai bangsa dan negaranya, kita perlu terus berusaha mengembalikan Pancasila sebagai dasar dan arah paradigmanya. Kalau tidak, Pancasila itu cenderung untuk dilupakan, bahkan mungkin hendak ditinggalkan.
Moment penting Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Ke-46, 1 Oktober 2011 ini, perlu dijadikan refleksi, bagaimana bangsa Indonesia saat ini menggunakan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah saatnya rakyat terpanggil untuk merevitalisasi Pancasila yang sedang berada di ambang bahaya itu. Sebagai dasar negara menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar negara atau ideologi maka mustahil bagi suatu bangsa untuk mempertahankan survivalnya dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mempunyai makna nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkritisasikan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjukkan kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ujud aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang demokratis harus tetap dalam kesatuan dan persatuan.
Hasrat politik untuk bersatu tidak diimposisi dari atas, akan tetapi merupakan pergerakan kemasyarakatan, di mana semua kelompok masyarakat bangsa yang majemuk ini ikut serta secara aktif. Dalam kaitan itu, dalam sanubari masyarakat perlu terus ditumbuhkan keyakinan bahwa bangsa ini hanya bisa disatukan dengan Pancasila.
Jiwa dan semangat Pancasila lahir dari pertemuan hasrat dan kehendak politik pergerakan masyarakat dan dari kesadaran pada pendiri negara ini. Dari kancah perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara itulah ditemukan formulasi kearifan kenegarawanan dalam falsafah negara Pancasila. Di dalamnya, semua orang dan semua kelompok masyarakat yang majemuk itu memperoleh tempat. Semangat yang demikian itu wajib kita perjuangkan agar semua lapisan masyarakat semakin memperoleh tempat dalam perumahan Republik.
Penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara bukanlah pekerjaan yang sederhana. Proses pengesahannya melalui jalan yang panjang, penuh perdebatan yang berbobot, rasa tanggung jawab yang besar terhadap nasib bangsa dan negara di kemudian hari, tetapi juga penuh dengan rasa persaudaraan yang akrab.
Kiranya perlu disadari pula bahwa kebhinnekaan maupun kesatuan-persatuan Indonesia adalah suatu kenyataan dan suatu persoalan. Walaupun proses integrasi bangsa terus berjalan, namun potensi-potensi disintegratif belum hilang. Hal itu sebagai konsekuensi kita mendasarkan diri pada Pancasila. Sebab, Pancasila dengan karakter utamanya yang inklusif dan non-diskriminatif, merangkul kebhinnekaan sekaligus kesatuan-persatuan.
Pancasila amat menekankan kesatuan-persatuan, tetapi tanpa mematikan atau melenyapkan kebhinnekaan. Di pihak lain, Pancasila menerima serta menghargai kebhinnekaan, tetapi dalam batas tidak membahayakan atau menghancurkan kesatuan-persatuan. Kebhinnekaan dalam kesatuan-persatuan, dan kesatuan-persatuan dalam kebhinnekaan. Di sinilah letak kekuatan Pancasila.
Dalam konstelasi masyarakat Indonesia, memilih kesatuan-persatuan dengan mematikan kebhinnekaan hanya akan menghasilkan konflik-konflik yang mungkin diketahui di mana awalnya, tapi tak pernah dapat diduga di mana atau bagaimana akan berakhir. Sebaliknya, memilih kebhinnekaan dengan mengabaikan kesatuan-persatuan ibarat melepas bermacam-macam binatang buas dalam satu kandang, sehingga akan saling menerkam.
Kerangka dasar kehidupan nasional yang mendasarkan diri pada Pancasila akan melihat keragaman suku, agama, ras sebagai aset atau kekayaan bangsa. Namun, jiwa dan semangat Pancasila juga punya batas-batas yang menyangkut tetap tegaknya kesatuan-persatuan agar kebhinnekaan itu tetap berfungsi sebagai kekayaan dan modal bangsa, tidak berfungsi sebaliknya.
Ketika diputuskan untuk membentuk negara kesatuan Republik Indonesia, semua kelompok dalam masyarakat terikat satu sama lain dalam satu kesatuan-persatuan secara politis. Meski tetap mantap tapi kesatuan-persatuan berbangsa dan bernegara masih terkotak-kotak. Sudah ada interaksi yang dinamis, namun pada umumnya masih dalam bentuk interaksi antar-kotak, yang tidak jarang justru mengganggu proses kebhinnekaan. Menghadapi permasalahan inilah justru diperlukan pendekatan dan pola tindakan baru dalam kebersamaan demi keselamatan seluruh rakyat, terutama saat-saat bangsa kita sedang berupaya memberantas korupsi, kekerasan dan penghancuran lingkungan hidup.
Bertolak dari persoalan tersebut, barangkali faktor keselamatan seluruh rakyat itulah yang kiranya tetap merupakan perekat. Ada nasionalisme dan patriotisme, namun lebih ke dalam, antarkita dengan manifestasi ketulusan memberi dan menerima, ketulusan mendesak ke belakang kepentingan dan ambisi pribadi, golongan, atau suku lewat jalan Pancasila. Di sinilah letak kesaktian Pancasila.
A Kardiyat Wiharyanto, dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Sumber: Suara Karya, Jumat, 30 September 2011
No comments:
Post a Comment