-- Arif Dwi Hartanto
IRONI tragedi bila melihat berbagai gejolak sosial melanda negeri ini. Yang paling up-date tentu saja perihal kerusuhan yang sudah menjadi patogen akut yang malah menyajikan corak kulturalisme tradisional. Kerusuhan ibarat peristiwa beruntun tanpa muara penyelesaian yang terang benderang. Berbagai kasus masih menyajikan persoalan yang sama, yakni sektarianisme, fanatisme sempit, rasis, hingga perbedaan konsep dalam berbudaya. Tentu saja yang terakhir adalah peristiwa tawuran massa pelajar hingga bentrok ribuan warga dan berbagai peristiwa kerusuhan di sejumlah pelosok negeri ini.
Sesungguhnya hal ini melambangkan kerapuhan dinamika sosial atau kelompok yang dalam konteks sosiologis lebih bertendensikan pada kekerasan dan perilaku bar-bar. Jauh dari kata 'adab' atau beradab yang dapat membangun suatu peradaban. Yang perlu diperhatikan, dalam negara yang pluralis seperti ini pelembagaan masyarakat menjadi persoalan episentrum ketika orientasi nilai dari interaksi berbagai aktor sangat rentan pada perbedaan konsep. Apalagi, perbedaan mereka dalam menyikapi berbagai hal terjadi melalui segala ranah kehidupan, meliputi akidah, ide, pemikiran, etika, maupun budaya, bahkan sampai kepada pemahaman terhadap teologi agama secara normatif dan substantif.
Padahal, mental yang beradab sesungguhnya berkorelasi kuat pada kesejahteraan. Bukan sekedar retorika ataupun hanya seonggok fondasi spiritual fanatisme beragama, namun lebih kepada action yang berujung pada kinerja produktivitas dan toleransi antar-pemahaman. Dalam konteks demikian, membangun negara yang beradab, dan tentunya peradaban, akan mengantarkan pada kesejahteraan, dan itu jelas sudah tertuang dalam Pancasila.
Namun demikian, kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Patogen kesejahteraan semisal kemiskinan, kekerasan, radikalisme, yang akan sangat berbahaya bila terjadi pembiaran maka dapat berujung 'perpecahan'. Perpecahan juga menjadi penyakit pembangunan. Misalkan saja, pembangunan secara ekonomi yang sudah mapan selama berpuluh-puluh tahun bisa saja luluh lantak dalam sekejap karena disintegrasi bangsa, khususnya dalam masyarakat multiagama dan etnisitas seperti Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah lemah atau hilangnya pengawasan dan pembentukan kelembagaan sebagai mediator dalam wadah pembentuk nasionalisme yang berlegitimasi kuat. Hal ini menjadi rongrongan yang empuk dari radikalisme dan terorisme yang menjadi ancaman laten negeri pluralis seperti ini.
Bila ditilik dalam kacamata historis, berbagai permasalahan mengenai isu-isu perpecahan berbasis sektarianisme sudah sangat akrab. Yang perlu diingat, pada dasarnya Indonesia memiliki keragaman etnis dan agama sejak awalnya, dan setiap etnis dan agama mempunyai prinsip dan cara pandang tersendiri.
Dalam konsepsi multikulturalisme, semua ini dapat membawa persoalan-persoalan agama yang sifatnya privat dan individual untuk memasuki wilayah umum atau publik/ negara. (L Berger, 1988)
Maka, titik permasalahannya sebenarnya terdapat pada perbedaan pandangan yang ekstrem, dalam artian tidak dicarikan titik temu antara dua atau beberapa kalangan. Padahal, kehidupan dunia menimbulkan banyak sekali perselisihan dan perbedaan pendapat sehingga bila tidak berhati-hati, kita bisa berpecah pendapat dan berujung perselisihan.
Untuk mampu menyatu, maka harus dilakukan dialektika dengan segala problematika yang muncul, ia dituntut untuk peduli dan menempati barisan terdepan dalam mencari solusi terhadap problematika tersebut. Secara sosiologis dan psikologis, mencari solusi pada gilirannya akan berurusan dengan tema, interaktif, transaksional, dan benturan ide-ide. Maka, perspektif dan ranah dialog merupakan salah satu cara untuk saling memahami, mencari titik temu, dan menyelesaikan permasalahan.
Dialog juga mengajarkan pada kenyataan tentang pluralisme dalam berkehidupan. Pluralisme mengajarkan pada cara pandang yang mau mengerti serta memahami perbedaan. Cara pandang yang ada adalah untuk mengonstruksikan sebuah pemahaman yang lebih komprehensif terhadap khasanah perbedaan. Istilah lain yang erat hubungannya dengan pluralisme adalah inklusifisme. Kata ini secara definisi adalah sebagai cara pandang yang menolak ekslusivisme dan absolutisme. Karena, inklusifisme secara substantif berarti memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya pluralisme.
Dialog merupakan jalan untuk meredam suatu konflik sehingga menyajikan suatu permasalahan ke arah kebenaran. Melalui dialog, kita bisa mengarahkan akal manusia kepada hakekatnya. Dialog yang beretika juga akan membuat kita dapat diterima, didengar, dan dihormati manusia.
Berbagai bentuk dialog sangat perlu dilakukan dan dimaksimalkan secara kontinuitas dan berkesinambungan dengan rasa pengertian dalam kerja sama. Kerja sama di sini untuk mengakomodir berbagai kepentingan yang berbeda dari sudut pandang etnis, ras, dan agama. Karena masalah kerja sama itu sendiri lahir dalam kaitan perbedaan yang berhubungan langsung dengan ras maupun agama.
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa harus diperlukan suatu dialog yang kuat dan konstruktif dalam menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan, khususnya dalam era pembangunan suatu bangsa untuk menuju penguatan integrasi kesatuan dan kesejahteraan. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat kerja sama untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari fanatisme pribadi.
Dalam menyikapi hal tersebut, membangun teologi non kekerasan dalam memecahkan suatu masalah lewat sebuah dialog mutlak diperlukan. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa spirit non-kekerasan merupakan titik konvergensi paling nyata antara semua umat. (Helmanita, 2003)
Arif Dwi Hartanto, peneliti pada Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) Universitas Brawijaya
Sumber: Suara Karya, Jumat, 30 September 2011
No comments:
Post a Comment