Tuesday, September 20, 2011

Menganalisis “Lagu” Kalangan Peduli Kebudayaan

-- Nelson Alwi

LAGU relatif lama yang hampir selalu didendangkan kalangan peduli kebudayaan (di) Tanah Air berisi tututan agar institusi yang mengurus kebudayaan berdiri sendiri, di bawah payung panji bernama Kementerian Kebudayaan. Hal tersebut juga menghangat dalam acara “Keprihatinan Budaya” yang digelar Wisran Hadi (alm) dan Darman Moenir di Auditorium Museum Sumatera Barat, Padang, beberapa waktu dulu.

Dikotomi kebudayaan dan kepariwisataan yang berkorelasi di lingkup Kemenbudpar sejauh ini disinyalir mengalami degresi, mengakibatkan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan tergerus dan terdegradasi, bersisa menjadi komoditas pariwisata bersifat murahan.

Tak terbantahkan, kondisi demikian tersebab keidakmampuan Kemenbudpar memanage sinkretisasi dan atau menyingkronkan perihal kebudayaan dan kepariwisataan. Pengelola kebudayaan dan kepariwisataan di negeri ini memang tidak atau belum kompeten memilah, mengolah, memposisikan apalagi mensinergikan kedua bidang tugasnya secara efektif.

Namun menurut hemat kita, kita juga harus fair mencermati kurenah sebagian pelaku budaya atau seniman budayawan serta akademisi terkait yang tak konsisten menjaga identitas kebudayaan.
***

Kebudayaan merupakan konkretisasi dari daya, cipta, karya dan karsa (ke)manusia(an). Identitasnya dapat diketahui terutama melalui keberhasilan kita dalam menerjemahkan atau memberi arti keberadaan berbagai produk kebudayaan —baik yang berupa benda (tangible) maupun yang tak benda (intangible)— yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari (ke)hidup(an) serta pola pikir masyarakat pendukungnya. Artinya, identitas kebudayaan dimaksud tidaklah yang secara eksplisit atau eksklusif bertali-temali dengan kemasalampauan yang didasari citra masyarakat statis. Karena sesuai dengan sifat atau roh kebudayaan itu sendiri, eksistensi dan atau identitasnya diharapkan berkembang sejajar dengan dinamika kemajuan masyarakat yang berlangsung terus-menerus, secara berkesinambungan.

Dengan demikian, durasi teater rakyat randai yang diperpendek misalnya, menjadi sesuatu yang relatif. Esensinya, seberapa besar produk kebudayaan seperti kesenian randai berhasil lagi berdaya-guna, langsung maupun tidak, bagi masyarakat (ke)banyak(an) dewasa ini? Sesuai konteks perlu pemikiran, bagaimana supaya seniman dan atau orang-orang randai kreatif mengemas pertunjukannya sehingga menjadi domain yang tak asing bagi penonton —tak ubahnya dengan Kelompok Srimulat atau Ketoprak Humor yang piawai menyiasati situasi dan kondisi zaman.

Tapi masalahnya, terkadang pelaku budaya bisa saja terjebak sekaligus tergiring ke lingkar diktum yang lepas dari pandangan kebudayaan berorientasi jauh ke depan, seperti pernah dibanyolkan Deddy “Miing” Gumelar. Pada suatu kesempatan pelawak yang kini jadi Anggota DPR RI itu mengatakan bahwa kegagalan karya seni selama ini disebabkan karena senimannya tidak mengerti selera masyarakat. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa “pasar”-lah yang menentukan keberhasilan karya seni. Padahal, seharusnya justru seniman melalui karyanya yang mesti berperan mengubah atau memperbaiki selera rendahan masyarakat.

Lantas pertanyaan kita sekarang adalah, di manakah pelaku budaya begitupun para akademikus berdiri? Untuk menjawabnya diperlukan sikap tegas dan visi yang jelas mengenai elan hidup berkebudayaan! Apakah pelaku budaya serta akademisi sekadar bermain-main dengan kebudayaan, atau sebaliknya menghormatinya?!

Sikap pelaku budaya maupun para akademikus yang mengemuka selama ini mencerminkan iktikad yang ambivalen: mencela kesalahkaprahan Kemenbudpar tetapi dalam waktu berdekatan berkolaborasi dan aktif mendukung kegiatannya. Dalam bahasa yang lain pelaku budaya cenderung terpengaruh suasana alias tidak habis-habisan mempertaruhkan idealismenya, sementara beberapa akademikus yang (pernah) berkiprah di lembaga itu malah terbawa arus dan atau memilih mengundurkan diri —bukannya bermanuver di dalam sampai dipecat lantaran ngotot memperjuangkan gagasan dan pendiriannya.

Kita kira hal terurai di atas itu yang luput dari pengamatan kalangan peduli kebudayaan yang disebut di awal tulisan ini. Apalagi, mendirikan sebuah kementerian di Republik ini akan memakan biaya sangat besar, yang dihabiskan tidak pertama-tama untuk mendanai subjek kelolaan tetapi lebih untuk kelengkapan fisik dan finansial jajaran pejabat di kementerian yang baru dibentuk. Karenanya desakan untuk memisahkan pengurusan kebudayaan dari Kemenbudpar terasa hambar, lantaran tidak didasari (peng)kajian yang komprehensif.
***

Bicara Kemenbudpar yang dituding telah mencederai hakikat dan nilai-nilai kebudayaan jelas tak lepas dari peran(an) serta kecakapan orang-orang atau pamong, yang menggerakkannya. Indikasi yang valid yang menunjukkan minimnya apresiasi jajaran Kemenbudpar, terutama dalam memajukan sekaligus menggairahkan sektor kebudayaan dan kepariwisataan, setidaknya terbukti dengan gonjang-ganjingnya dan atau terancam alias akan terhapusnya event “Pekan Budaya” dari agenda Disbudpar Provinsi Sumatera Barat pada tahun anggaran 2011 ini —sekalipun selama ini acara itu dicap acak-acakan dan dikecam banyak pihak.

Mempromosikan kepariwisataan Tanah Air dengan cara memboyong tim kesenian ke luar negeri pun bisa dinilai identik dengan pengatasnamaan atau eksploitasi kebudayaan dan pemborosan bernuansa proyek aji mumpung pelesiran para pejabat yang mengurus kebudayaan dan kepariwisataan. Argumentatif, yang berdialog dan menyaksikan pertunjukan kesenian kita di luar sana tak lebih dari segelintir orang Indonesia, pengamat, perwakilan instansi terkait serta pelaku pariwisata negara yang dikunjungi.

Dengan kata lain, usaha memajukan kepariwisataan berbasis kebudayaan tidak didukung kiat yang elegan. Justru itu, gaungnya pun mengambang, lemah, dan tak bakal menuai hasil maksimal. Kalender event kebudayaan dalam konteks kepariwisataan dipajang di persimpangan jalan atau di halaman kantor Disbudpar. Leaflet atau brosurnya ditumpuk di atas meja karyawan —bukannya didistribusikan ke dan melalui biro-biro perjalanan dan atau disebar di bandara-bandara internasional.

Sesuai zaman relevan sekali sekiranya Kemenbudpar mendayagunakan media internet. Target bakal mudah dijaring dengan informasi berupa teks serta foto di dunia maya itu. Sebagaimana diketahui, penduduk negara maju yang menjadi sasaran institusi kebudayaan dan kepariwisataan, di samping punya kebiasaan menabung untuk berwisata juga sudah cukup lama akrab dengan internet.

Tetapi kenyataannya hingga kini web dan atau situs Kemenbudpar tetap kerdil. Kenapa peralatan canggih alias mesin informasi berakselerasi tinggi bahkan dengan fasilitas touch screen atau e-kiosk information yang begitu menawan tampilannya tidak dioptimalkan, cuma (di)jadi(kan) mainan atau dibiarkan nganggur menghiasi sudut-sudut ruang kantor pemerintah?

Jawabnya adalah karena kita masih kagok menggauli kemutakhiran. Sulit memungkiri, kapabilitas maupun kemangkusan pengelola(an) sektor kebudayaan dan kepariwisataan di negeri ini, dalam berbagai hal, masih memprihatinkan. Dan menurut hemat kita di sinilah pokok persoalan yang sesungguhnya.

Apapun (nama) departemen yang bakal mengurus kebudayaan dan atau kepariwisataan, selagi orang-orang yang beraktivitas di lembaga tersebut belum kapabel, selagi pelaku budaya atau seniman budayawan serta para akademikus yang seharusnya concern dan solid memelihara (ke)hidup(an) kebudayaan tetap bersikap seperti selama ini, maka “nasib” kebudayaan kita tidak akan berbeda jauh dari sekarang.

Nelson Alwi, pegawai Museum Adityawarman Padang, Sumatera Barat. Menulis esai di berbagai media. Tinggal di Padang

Sumber: Riau Pos, 20 September 2011

No comments: