-- Thomas Koten
PEMIKIRAN filsuf politik Nicolo Machiavelli tentang “politik dan moral tidak ada hubungan”, senantiasa dipertentangkan dan dibenci oleh para filsuf dan ahli politik moral. Namun di Indonesia pandangannya sangat digandrungi para politikus kita, dan dengan gamblang dipraktikkan dalam kehidupan politik.
Sepertinya, para politikus kita terkesan pula menjauhi tesis politik yang digaungkan para filsuf moral seperti Hannah Arendt, Eric Weil, atau Vittirio Hoesle yang menekankan bahwa antara politik dan moral itu, bukan saja tidak dapat dipisahkan, tetapi juga tidak boleh dipertentangkan.
Arendt, misalnya mengatakan, politik–yang berkaitan dengan kebaikan umum (bonum commune–pada dirinya mengandung bobot moral. Sementara itu, Vittorio Hoesle (1997) menegaskan, hakikatnya politik dan moral sulit dipisahkan, dan jangan pernah dipisahkan.
Kemudian Eric Weil yang selalu mengambil posisi bertentangan dengan Machiavelli, mengatakan bahwa politik merupakan suatu gerak yang mesti berangkat dari moral. Bahkan, keberadaan moral dalam politik menjadi sangat penting karena akan mengetuk nurani.
Oleh karena itu, seperti kata Vittorio Hoesle lagi, sulit dibayangkan bila politik tanpa moral. Ini karena politik menjadi bernilai dan bisa dinilai selama ada kandungan moral, sehingga seorang politikus pantas disebut politikus kalau ia bermoral.
Jadi sepatutnya seorang politikus yang tampil di hadapan publik atau di tengah masyarakat, hidupnya sesuai dengan nilai-nilai moral. Ini karena dimensi moral harus merupakan dasar rasionalitas praksis politiknya.
Nafsu Materi dan Kekuasaan
Celakanya, para politikus kita selalu menjauhkan moral dari praksis politiknya, dan tak pernah mendasarkan visi dan misi pada postulat moral. Itu bisa dilihat dari berbagai indikasi keterlibatan mereka dalam kasus suap, korupsi, politik uang, senang berpelesiran ke luar negeri, dan lain-lain.
Kesemuanya sungguh mempertontonkan kerja politik seperti pasar yang sekadar meraup untung secara material. Pemilu pun tidak lebih sebagai pasar tumpah kekuasaan. Banyak tontonan pembodohan yang mereka perlihatkan.
Dengan pembodohan-pembodohan politik yang dipertontonkan itu, para politikus mengalihkan perhatian publik yang sungguh tahu bahwa politik itu tidak lain memberikan pencerdasan bagi masyarakat dan menyejahterakan rakyat lewat pelayanannya.
Tragisnya, para politikus kita tidak pernah memiliki motif pelayanan dalam berpolitik sebagai wujud keluhuran politik, sekaligus etika politik tertinggi. Tulis Harry Truman, “Politik–politik luhur–adalah pelayanan publik.
Tidak ada kehidupan atau pekerjaan tempat manusia menemukan peluang lebih besar untuk melayani komunitas atau negaranya selain dalam politik yang baik dan bermartabat.”
Praksis politik yang mengesampingkan pelayanan publik, hakikatnya mengekspresikan sebuah banalitas moral dalam politik. Banalitas moral, yaitu praksis yang tidak secara sungguh memerhatikan nilai-nilai moral.
Banalitas moral politik berarti politik menjadi dangkal, sia-sia. Politik yang hanya mengobarkan pencitraan juga masuk dalam kategori ini, karena itu semua bernilai rendah, banal, dan tidak esensial.
Mengapa? Karena tatkala politik yang hanya mengedepankan pencitraan, mempertontokan pesona diri, dengan mengeksploitasi berbagai fetisisme, untuk memenuhi hasrat rendah (desire) manusia, seperti materi dan kekuasaan yang bersifat pragmatis-temporal, hanya demi penyenangkan rakyat dan melenggangkan citra kekuasaan, sesungguhnya itu hanya menghasilkan model-model politik atau wujud-wujud politik yang mengandung banalitas moral politik.
Banalitas moral politik (banality of politics morals) telah menciptakan wajah politik atau ruang-ruang publik politik yang dipenuhi segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal, dan tidak populer dus tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Untuk itu, terjadilah kekerdilan politik karena rakyat tidak dibimbing menuju kecerdasan dan kesejahteraannya.
Pengagungan politik pencitraan dan ditambah lagi dengan watak dan perilaku korupsi dan suap yang selalu dipertontonkan itu, membuat politik kita di negeri ini bukan saja banal, tetapi juga binal-jahat dan kejam.
Binal atau jahat karena politik tidak hanya rakus uang dan kuasa, tetapi juga penuh nafsu. Menyitir Bony Hargens, terungkapnya perilaku mesum di DPR atau di kalangan politikus adalah kemerosotan politik.
Ini tidak hanya ditandai banality of politics, tetapi juga oleh banalitas yang mendekatkan manusia pada hakikat alamiahnya sebagai homo sexus.
Politikus yang tidak menyadari ciri banal dan binal-jahat, dengan kejahatan politik yang mereka lakonkan, tetapi malah kerap menggeser pornoaksi dari ranah moral ke politik praktis, sungguh jelas merendahkan marbatat politik dan menisbikan prinsip moralitas dalam politik.
Perilaku politik berkadar moral rendah, dibarengi korupsi dan suap serta semuanya berjalan secara sistematis di tataran elite politik hingga ke lapisan masyarakat bawah secara berjemaah.
Hal ini membenarkan apa yang dikatakan Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan (the banality of evil). Adalah suatu kondisi di mana kejahatan terjadi pada skala masif, dipraktikkan sebagai sesuatu yang otomatis, sistematis, hampir sama sekali tidak memperlihatkan rasa bersalah.
Itulah suatu kondisi binal yang disebut Arendt sebagai the desert world. Suatu tatanan di mana hampir semua unsurnya tidak mampu lagi meratapi dan melawan penyelewengan dan kejahatan terhadap esensi politik, seperti pelayanan atau pengabdian. Pertanyaan, bagaimana menjelaskannya lebih lanjut? Dan bagaimana kita dapat keluar dari kejahatan politik itu?
Masa Depan Politik Pangsa
Terasa sangat sulit keluar dari kejahatan politik–binalitas politik, karena kejahatan politik itu sudah berjalan secara sistematis, dengan balutan kerahasiaan kejahatan tersendiri. Ini karena kerahasiaan kolektif memungkinkan suatu kelompok mengikat kelompok lainnya untuk saling menutupi kesalahan.
Dengan kata lain, karena defisit moral pribadi itu berjalan secara general-kolektif, akan sulit mengurai dan menghapus kejahatan politik itu. Para pemimpin politik sendiri yang diharapkan menjadi teladan dan dapat membersihkan kejahatan politik justru menjadi pelaku kejahatan itu, dengan egoisme dan ketamakan.
Untuk itu, apa yang harus dilakukan? Masa depan politik kebangsaan akan terus menjadi suram jika pemimpin politik menanggalkan sensitivitas moral dari proses penyelenggaraannya, dengan terus merakit kehidupan moral yang banal.
Hanya saja dalam situasi ini kita masih mengharapkan munculnya kepekaan etis untuk mengutamakan hajat hidup orang banyak di atas pamrih kekuasaan individu maupun kelompok, sambil terus berusaha mengedepankan atau menjalankan kekuasaan secara jujur, tulus, dan bertanggung jawab.
Harapan ini tentu sangat sulit realisasinya, tetapi kita toh tetap yakin bahwa kebaikan itu cepat atau lambat akan muncul, entah lewat pemimpin politik yang mana.
Itu lantaran kita yakin pula tidak ada seorang pun di negeri ini yang ingin membiarkan proses pembusukan itu terus berjalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, hingga negeri ini tertiarap, lalu terbujur kaku dan mati.
Thomas Koten, Direktur Social Development Center.
Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 29 September 2011
No comments:
Post a Comment