Sunday, September 04, 2011

[Buku] Agama dalam Ruang Imajinasi

Judul : Bayang-Bayang Tuhan, Agama, dan Imajinasi

Penulis : Yasraf Amir Piliang

Penerbit : Mizan

Tahun : I, Mei 2011

Tebal : LIV + 372 halaman



KESADARAN akan ketidakharmonisan diskursus kerukunan antarumat beragama mengemuka, serta menemukan momentumnya dalam konstelasi kekerasan publik yang melibatkan umat beragama akhir-akhir ini. Bukan tidak mungkin, bila kasus penistaan dan kekerasan tidak segera mendapat titik terang penuntasan, sewaktu-waktu dapat menjadi bom yang akan meluluhlantahkan harmonisasi umat beragama.

Pelbagai tragedi kelam semakin menyulut sumbu akan kesuburan universalitas agama. Budaya agama yang sering kita dengar dengan budaya adiluhung (high culture) saat ini terjun payung menuju budaya negatif (mass culture).

Agama dikonotasikan dengan segala bentuk pelarangan, pengaturan, pendisiplinan, penghambatan, bahkan pengafiran. Akibatnya, muncul kekerasan karena ketidaksepahaman dalam memahami agama. Inilah keterbatasan imajinasi, fantasi, inovasi, dan kreativitas dalam dunia agama yang dalam buku ini dianalisis dengan pendekatan cultural studies. Amir Yasraf Piliang hendak membentangkan ruang keanekaragaman dan multiplisitas pandangan, interpretasi, dan makna kultural realitas keagamaan.

Buku ini merupakan sebuah upaya melukiskan wacana agama dan realitas keberagaman yang sejatinya merupakan tempat ekspresi kebebasan, kecairan imajinasi, keliaran fantasi, inovasi, dialog, dan daya kreativitas.

Amir yang sukses dikenal sebagai arsitek posmo di Indonesia mengajak untuk memahami agama tidak seperti yang kita bayangkan selama ini. Dalam asumsi Amir, sebagaimana pernyataan Max Weber (1864-1920), agama cukup berjasa dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Agama dipercaya dapat memberi dorongan terhadap masyarakat untuk melakukan reformasi.

Selama ini, orang kepalang terlanjur memahami bahwa agama hanyalah dunia kepatuhan, repitisi, tradisi, common sense atau sesuatu yang taken for granted. Maka tak jarang, pemahaman skriptualis demikian kerap menumbuhkan ketegangan luar biasa tatkala terjadi keanekaragaman ideologi, karakter, dan keyakinan dalam agama yang berbeda. Bagi Amir, sejatinya terdapat celah bagi daya interpretasi, imajinasi, dinamisasi, subversi, dan ruang diversifikasi.

Yang menarik dari buku ini adalah penulusuran tentang degradasi imajinasi dalam rentetan sejarah peradaban Islam. Dulu pada zaman nabi terdapat imajinasi profetik, pada zaman khalifah ada imajinasi kosmologis, namun sekarang imajinasi tersebut tergeser oleh imajinasi populer yang justru menghasilkan pendangkalan dan perusakan terhadap citra Islam itu sendiri.

Salah satu contoh yang dikemukakan Amir tentang imajinasi populer adalah imajinasi teroris (terroris imagination) yang menggunakan kekerasan secara intensif dalam mencapai nilai-nilai ideal teleologis (halaman 109). Dampaknya, agama identik dengan konotasi positif seperti peperangan, kekerasan, dan pertumpahan darah (blood thirsty people).

Untuk menghilangkan imajinasi teroris semacam itu, perlu melakukan perlawanan dengan hal yang sama yaitu imaji diri (self imagination) yaitu proses membayangkan diri, baik invidu, bangsa, kelompok, ataupun umat untuk menghadirkan rasa keberagaman dalam hidup. Sebuah imajinasi penghadiran asa pluralitas, fragmentasi, perbedaan, dan multisiplitas. Imajinasi muncul dari kesadaran dan keinginan dalam upaya menghargai antaragama.

Buku ini sama sekali tidak mengampanyekan imajinasi untuk meniru citra Tuhan, melainkan sebagian proses dalam meniru sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Karena imajinasi yang dikembangkan Amir adalah imaninasi inklusif yang akan mengantarkan puncak imajinasi kesempurnaan manusia sebagai insan kamil.

Akhirnya, buku ini mengajarkan bahwa keyakinan yang dianut setiap manusia harus bebas dan dibebaskan dari intervensi otoritas eksternal, baik sipil maupun agama. Pesan buku ini layak disandangkan dengan tesis seorang filsuf Inggris, John Locke (1704), dalam risalah toleransinya yang sudah klasik, A Letter Concerning Toleration (1685), bahwa agama dan keyakinan butuh ketulusan (sincerity) yang hanya ditentukan oleh dorongan dari dalam, dari keyakinan nuraninya yang terdalam.


Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca Pesma Darun Najah, IAIN Walisongo, Semarang.

Sumber: Lampung Post, 4 September 2011






No comments: