-- Moh Kholil Aziz
JIHAD merupakan istilah yang dihubungkan dengan perjuangan moral (dan kadang-kadang dengan senjata), dan bentuk umum dari oposisi fundamentalis terhadap para penganut modernitas untuk melawan orang-orang yang dianggap tidak beriman. Jihad merupakan sebuah metafor perjuangan anti-Barat dan anti-universalis. Semua diperjuangkan orang-orang militan dan fundamentalisme sebagai perjuangan permanen. Mereka adalah militan, apakah itu dalam penggunaan kata-kata dan ide atau surat tuntutan, atau dalam kasus ekstrem adalah 'peluru'.
Mereka berjuang melawan masa kini atas nama masa lalu. Mereka memperjuangkan konsepsi dunia agama melawan sekularisme. Mereka berjuang dengan senjata apa pun, kadang-kadang meminjam dari lawan, memilih senjata dengan hati-hati agar tidak ketahuan identitasnya. Mereka merasa berjuang melawan pelaku kecurangan dengan menganggap berada di bawah lindungan Tuhan. Karena, mereka juga berasumsi bahwa perjuangan mereka suci, sehingga merasa tidak akan kalah walaupun belum dimenangkan.
Jihad selalu dianggap sebagai perjuangan suci melawan kekufuran. Menghalalkan pembunuhan atas musuh-musuh mereka. Ini merupakan perang besar atas budaya dan nilai-nilai berlandaskan ideologi masing-masing dalam memandang realitas kehidupan. Pelestarian ideologi dan moralitas ini tidak mempunyai pilihan lain, selain peperangan untuk mengamankan masa depan agar kembali seperti masa lalu.
Masa depan seperti masa lalu yang anti-pluralis, monokultur, dan mempesona dalam pandangan mereka. Masa depan dengan nilai-nilai homogen yang mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan sesuai tatanan dan menjalani kehidupan yang sederhana. Meski, terkadang harus dengan jalan kekerasan/ teror.
Kemudian, kelompok minoritas ini membentuk komunitas yang dianggap teroris dengan ideologi dasar fundamentalisme dan terorisme. Menurut John Hamling dalam The Mind of the Suicide Bomber (Kompas, 2004), kekerasan yang terkait dengan terorisme bisa didorong oleh beberapa faktor. Di antaranya meliputi faktor-faktor sebagai berikut.
Cinta, demi cinta orang bisa mengorbankan hidupnya. Heroisme (kepahlawanan), hal yang bisa terjadi dalam kasus peperangan di mana orang rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan yang lain.
Keputusasaan atau kehilangan harapan
Kegilaan, bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (gila) yang merupakan bagian dari ritus supernatural karena kematian tidak bisa dielakkan dan bersifat sementara. Lainnya, adalah eskapisme, bahwa kematian kadang dilihat sebagai upaya berlari menghindar dari kenyataan. Kebanggaan, yang berarti bahwa seseorang bisa melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti.
Ketenangan dan ketenteraman, yakni pengorbanan diri merupakan tindakan syahid dan religius untuk mendapatkan kebahagiaan, dan fanatisme, suatu sistem kepercayaan yang kaku, sempit, dan keras bisa menuntut penganutnya melakukan bunuh diri untuk sebuah "perjuangan".
Jika mencermati pandangan John Hamling di atas, pergerakan teror selama ini erat kaitannya dengan mindset atau ideologi pemikiran. Oleh karena itu, di samping aspek penegakan hukum, perang melawan terorisme harus juga dilakukan dengan melemahkan dan mematikan mindset atau ideologi terorisme.
Ideologi terorisme melihat kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuannya, zaman modern diartikan sebagai ladang jihad dan masa perang. Ideologi ini selalu dilestarikan dalam pikiran sekelompok teroris, yang kemudian membentuk sikap, dan pada akhirnya menjadi sebuah perilaku (aksi teror) yang menghalalkan segala bentuk kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Fanatisme yang dibangun dari akar fundamentalisme mempunyai catatan buruk dalam sejarah sejak digaungkannya jihad dalam memerangi komunisme Uni Soviet oleh Amerika Serikat, Pakistan dan Arab Saudi. Sejak saat itu, jihad dan mati syahid mulai disalah-fahami dalam ideologi mereka, yaitu jihad yang memperbolehkan membunuh anak-anak, perempuan dan ratusan orang tidak bersalah kendati tidak berkaitan dengan misi mereka.
Tak tanggung-tanggung, jargon mereka "kembali ke Al-Qur'an dan Al-Hadits" dengan semangat fundamentalisme yang sangat eksklusif, menutup diri, rigid, anti-dialog, dan menutup penggunaan rasio dalam masalah agama. Sehingga tercipta ideologi kaku seperti katak dalam tempurung. Akibatnya, terjadi kemiskinan intelektual. Paket Islam yang mereka kenal berputar dalam arena fikih dan teologi semata. Mereka dengan mudah mencap dan melabeli kolompok lain seperti, haram, bid'ah, dan kafir. Hal ini diakibatkan oleh karena mereka serba eksklusif dan tidak mau menimba ilmu kekayaan tradisi dan khazanah keislaman yang melimpah.
Teologi dan ideologi semacam ini masih terus mereka pertahankan dan mengendap di balik kecenderungan fundamentalisme-konservatif di kalangan kaum teroris. Konservatifisme adalah kecenderungan yang membayangkan masa lalu sepenuhnya suci, ideal, sempurna, tanpa kekurangan apa pun. Pada era suci inilah negara agama diyakini pernah ada dan berdiri tegak dengan nilai-nilai luhur yang dipraktikkan paripurna.
Maka, dalam memberantas terorisme harus dimulai dengan penegakan hukum yang tegas, menelusuri akar ideologi terorisme dan membasminya. Bila tidak demikian, terorisme tidak akan pernah selesai walaupun sudah ratusan atau bahkan ribuan teroris ditangkap dan ditembak mati oleh polisi.
Moh Kholil Aziz, Ketua Forum Studi Teologi Islam (Forstis), Surabaya
Sumber: Suara Karya, Selasa, 27 September 2011
No comments:
Post a Comment