-- Satrio Wahono
INDONESIA kembali berduka! Setelah sekian lama terpukau melihat keberhasilan aparat penegak hukum menggulung jejaring-jejaring terorisme berkedok agama, kini muncul kembali bom bermotifkan sama. Sasarannya kali ini, Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo. Ledakan bom bunuh diri itu terjadi usai para jemaat menyelesaikan kebaktian kedua pada Minggu sekitar pukul 11.00 WIB, menewaskan pelaku dan melukai tak kurang dari 22 orang yang sedang melaksanakan ibadah di sana.
Tak pelak, ini merupakan tamparan serius yang kesekian kali bagi ikhtiar kita merajut kembali jejaring kerukunan antarumat beragama yang telah begitu koyak sepanjang perjalanan sejarah kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, di samping mengusut tuntas jejaring teroris mana yang bermain dalam tragedi ini, kita perlu pula menelisik akar filosofis di balik maraknya kembali aksi pemboman yang menyasar tempat-tempat ibadah.
Sejatinya, tak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan. Hanya saja, setiap agama tak pelak memiliki klaim akan kebenaran universalnya (claim to universal truth) sendiri. Dari sinilah, muncul kemungkinan konflik dan persepsi permusuhan kepada agama lain.
Apabila klaim ini kemudian mengeras (reified) lewat pendidikan nilai-nilai agama yang sektarian, eksklusif, sempit, dan menakut-nakuti, maka akan timbul identitas khas kelompok yang merasa diri paling benar. Untuk menegaskan identitas itu, mereka merasa harus memosisikan diri secara diametral dengan pihak lain, termasuk kaum beragama di luar agama mereka.
Dengan kata lain, pandangan keagamaan yang sektarian pada hakikatnya mengidap gejala penyakit heterofobia. Yaitu, gejala atau suasana mental-kejiwaan yang merasa takut (fobia) terhadap ancaman pihak yang berbeda (hetero) terhadap eksistensi mereka. Nah, demi menepis rasa ketakutan itu, para pengidap heterofobia ini biasanya akan berusaha menghancurkan pihak yang berbeda itu. Ringkasnya, mereka berusaha menghancurkan objek yang menimbulkan rasa takut mereka supaya objek itu tidak terlebih dahulu menghancurkan mereka.
Adapun pangkal dari heterofobia bisa bermacam-macam.
Pertama, aspek ekonomi. Kondisi ekonomi yang kian menghimpit dapat membuat massa akar-rumput (grass roots) rentan sebagai sasaran rekrutan para ideolog radikal. Pasalnya, kondisi kepapaan ekonomi membuat orang merasa rendah diri (inferior) dan bersikap penuh curiga terhadap orang lain. Artinya, kondisi inferioritas ekonomi berujung pada rasa kepercayaan diri yang rendah (low self-esteem) dalam diri seseorang.
Pada gilirannya, orang-orang seperti ini akan menjadi laksana pengembara kehausan yang mendapatkan air tatkala menemukan satu bentuk ideologi yang menjanjikan dunia alternatif utopis nan indah seperti surga. Meskipun, 'harga tiket' yang harus dibayar demikian mahal berupa aksi jihad menyempal beraroma kekerasan seperti pemboman bunuh diri.
Kedua, aspek pendidikan. Selama ini pendidikan agama selalu menekankan pada kekhasan klaim atau pengakuan kebenaran masing-masing agama. Memang ini tidak salah karena akan menghalau bahaya relativisme agama di mana semua agama dianggap benar atau sama saja.
Hanya saja, proses sosialisasi pendakuan ini selalu menengok ke dalam (inwardly looking), bukannya sesekali menengok ke luar (outwardly looking). Maksudnya, proses sosialisasi dan pendidikan agama itu melulu bersibuk pada 'kehebatan' ajaran masing-masing agama seraya menafikan bahwa agama lain juga memiliki kekayaan nilai dan etik yang sepatutnya dihormati.
Alhasil, proses seperti ini menyuburkan intoleransi dan mengobarkan semangat paling benar sendiri. Sehingga, menyitir filsuf eksistensialis Emmanuel Levinas, Yang Lain dianggap tak berwajah sehingga dia layak ditindas dan dihancurkan.
Berbekal analisis di atas, sekurangnya ada dua solusi yang berfokus pada dua hulu soal heterofobia.
Pertama, negara sedari sekarang sudah harus mewujudkan program-program perbaikan ekonomi yang lebih konkret dengan efeknya dirasakan langsung oleh masyarakat. Misalnya, negara mesti mewujudkan program-program sosial dasar seperti Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), akses kredit mudah, perumahan murah, dan pendidikan terjangkau. Juga, menciptakan proyek-proyek padat karya, contohnya proyek infrastruktur, yang dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Sehingga, mayoritas masyarakat dapat merasa diri mereka lebih bermartabat dan penuh percaya diri.
Kedua, institusi pendidikan kita seyogianya mulai mengkaji kemungkinan mengajarkan apa yang disebut etika global atau global ethics oleh filsuf terkemuka Hans K|ng. Yakni, etika yang mengambil inspirasi dari nilai-nilai etik luhur berbagai sumber, termasuk berbagai agama. Ini bukan berarti etika global merupakan agama baru. Sebaliknya, etika global hanyalah sebuah filsafat moral praktis yang memberikan ruang bagi terjadinya dialog antarsumber etik, termasuk antaragama.
Dengan pelajaran etika global, siswa dan juga kita semua akan mendapatkan wadah untuk belajar memahami bahwa semua agama memiliki energi etik yang sama-sama bisa dimanfaatkan untuk mengatasi isu-isu global, semisal masalah lingkungan, korupsi, terorisme, dan sebagainya. Pada gilirannya, ini akan berbuah pada sikap toleransi dan saling menghormati antaragama tanpa perlu terjerumus ke dalam relativisme agama.
Dengan begitu, semoga kita tidak perlu menyaksikan bumi Pertiwi menangis kembali karena ulah segelintir orang yang mengatasnamakan versi kebenarannya sendiri! Sebab, mengutip tokoh kemanusiaan Mahatma Gandhi, pada hakikatnya semua manusia adalah bersaudara.
Satrio Wahono, sosiolog, Magister Filsafat UI
Sumber: Suara Karya, Rabu, 28 September 2011
No comments:
Post a Comment