-- Hang Kafrawi
GAGASAN atau ide untuk sebuah pementasan teater atau lebih tepatnya untuk naskah teater, tak terbatas. Kehidupan terbentang ini, baik itu masa lalu, masa kini, ataupun masa yang akan datang, dapat dijadikan ‘bahan dasar’ naskah teater. Tentu saja imajinasi penulis (penulis naskah teater) ‘bermain’ untuk merangkai peristiwa demi peristiwa menjadi sebuah teks naskah teater. Dengan demikian, naskah teater yang ditulis berdasarkan imajinasi penulis menjadi cerita rekaan. Penulis dengan otoritas kebebasan diperbolehkan merekayasa fakta-fakta dalam menyusun cerita. Tapi bagaimanakah tanggung jawab penulis merangkai peristiwa dijadikan cerita yang didapat dari sejarah?
Hal inilah yang terasa ketika menyaksikan pementasan teater Rumah Sunting berjudul ‘’Sengketa Cinta’’, dipentaskan di Anjung Seni Idrus Tintin, 20-21 Juni 2013. Naskah yang ditulis SPN GP Ade Dharmawi ini, berangkat dari sejarah Raja Kecil (Pendiri Kerajaan Siak), terlihat ada beberapa fakta sejarah yang berbeda. Keganjilan pertama, bahwa Raja Kecil tidak pernah mengusir ayahanda Tengku Tengah, Tengku Sulaiman dan Tengku Kamariah. Malahan ayahanda Tengku Tengah ini, sebelumnya menjadi sultan di Johor setelah wafatnya Sultan Mahmud, di posisikan oleh Raja Kecil sebagai orang penting di kerajaan Johor. Namun di naskah ‘’Sangketa Cinta’’, GP Ade Dharmawi menuliskan Raja Kecil mengusir ayahanda Tengku Tengah itu.
Kedua, perjodohan antara Tengku Tengah dan Raja Kecil, digagas oleh ayahanda Tengku Tengah. Perjodohan ini merupakan bujukan ayahanda Tengku Tengah untuk meredam kemarahan Raja Kecil. Namun perjodohan ini batal disebabkan Raja Kecil lebih memilih Tengku Kamariah, adik kandung Tengku Tengah menjadi istrinya, padahal perjodohan itu telah disepakati Raja Kecil. Penolakan Raja Kecil inilah yang menjadi dendam di hati Tengku Tengah. Dalam naskah GP Ade Dharmawi tidak dipaparkan fakta ini.
Ketiga, ketika perjodohan ini dibatalkan sepihak oleh Raja Kecil, Tengku Tengah dibantu saudaranya (abang), Sultan Sulaiman, mencari dukungan untuk membalas dendam kepada Daeng Parani, Daeng Celak dan Daeng Parewa. Dalam ‘’Sengketa Cinta’’, Tengku Tengah dan Tengku Sulaiman minta bantuan ke negeri Bugis, padahal ketiga bersaudara keturunan Bugis itu berada di kawasan Riau. Mereka, ketiga bersaudara itu berada di Riau untuk membantu Raja Kecil menyerang Johor.
Pada awalnya, Raja Kecil meminta bantuan kepada ketiga bersaudara itu untuk menyerang Johor. Namun merasa belum kuat, ketiga bersaudara keturunan Bugis itu, mencari bantuan ke negeri Bugis. Kepergian ketiga bersaudara itu ke negeri sangat lama, maka Raja Kecil pun menyerang Johor tanpa ketiga bersaudara Bugis. Merasa ditinggalkan dan dikhianati Raja Kecil untuk menyerang Johor bersama-sama, ketiga bersaudara Bugis menaruh dendam yang dalam. Namun di dalam naskah ‘’Sengketa Cinta’’, GP Ade Dharmawi tidak menulis seperti demikian. Tidak terlihat ada dendam antara ketiga bersaudara Bugis dalam naskah GP. Pada naskah ‘’Sengketa Cinta’’ tokoh Bugis hanya Daeng Parani.
Kenyataan naskah teater ‘’Sengketa Cinta’’ ini memang bukan kenyataan sejarah, namun demikian seharusnya penulis menyatakan fakta tersebut di dalam naskahnya. Dengan demikian, naskah tersebut tidak ‘mengkhianati’ sejarah. Atau paling tidak, dalam hal ini, Rumah Sunting harus mencantum buku panduan pementasan dan menjelaskan bahwa naskah ‘’Sengketa Cinta’’ diangkat dari buku sejarah mana, sehingga penonton dapat memahami dan sekaligus dapat diperbandingkan dengan buku yang pernah dibaca penonton.
Penonton ‘’Sengketa Cinta’’ yang disajikan oleh Rumah Sunting pada malam itu, dibenturkan dengan ketidakjelasan sejarah Raja Kecil. Dalam naskah ini, peran Datuk Tanah Datar mendapat porsi yang lebih, tersebab cuma tokoh ini yang dimunculkan GP Ade Dharmawi. Tokoh-tokoh lain (tokoh Melayu) tidak ada. Raja Kecil yang memiliki pengikut Melayu yang banyak dan setia, baik dari Johor, maupun dari negeri Melayu lainnya, tidak dimunculkan. Sehingga terkesan naskah ‘’Sengketa Cinta’’ menafikan pengorbanan dan pengabdian orang Melayu kepada Raja Kecil. Padahal diketahui bersama, bahwa kemenangan Raja Kecil menguasai Johor disebabkan pembesar-pembesar kerajaan Johor memihak Raja Kecil. Disebabkan ‘pembusukan’ dari dalam kerajaan Johor inilah, Raja Kecil dapat dengan mudah menguasai Johor. Pembesar-pembesar Johor yang berpihak kepada Raja Kecil yakin, bahwa Raja Kecil inilah pewaris sah Kerajaan Johor dari keturunan Sultan Mahmaud Mangkat Di Julang dengan Cik Apung.
Pementasan teater dan karya seni pada umumnya, selain sebagai sarana hiburan, yang paling penting adalah karya seni dapat dijadikan tempat ‘berpijak’ mengenali diri lebih dekat lagi. Namun harapan ini akan menjadi sia-sia seandainya pementasan teater dan karya seni pada umumnya, mencoba memperkokoh pandangan sepihak. Maka jadilah karya seni memperlemah kenyataan.
Pemanggungan Setengah-setengah
‘’Sengketa Cinta’’ yang disutradarai Kunni Masrohanti ini, terkesan setengah-setengah. Kunni memaksakan karya yang ‘belum matang’ ini dipentaskan di khalayak ramai. Kesan ini dapat ditangkap dari garapan Kunni yang tidak memikirkan kebolehan aktor, bloking yang belum sempurna, penataan panggung terkesan asal jadi dan ‘penyulaman’ plot yang kurang tergarap.
Apapun bentuk pementasan teater, di atas panggung, aktor mempunyai peranan yang sangat penting. Dari kepiawaian aktor berakting inilah cerita dibangun dan pesan naskah dapat dicerna penonton. Kunni seakan mengeyampingkan hal ini. Aktor-aktor yang ‘dipasang’ Kunni tidak mampu memunculkan aura tokoh yang diperankan.
Tokoh Raja Kecil yang menjadi pusat perhatian dalam cerita ini, tidak mampu memerankan sebagai Raja Kecil yang baik. Lemah, tidak berdaya, kesan inilah yang dapat ditangkap dari Raja Kecil dalam ‘’Sengketa Cinta’’. Padahal selama ini, dalam benak orang banyak (dari peristiwa-peristiwa sejarah yang diciptakan Raja Kecil), melekat imej perkasa, tegas, berani dan pantang menyerah dari sosok Raja Kecil. Namun dalam ‘’Sengketa Cinta’’ hal itu sirna. Tokoh yang memerankan Raja Kecil, tidak mengolah sukmanya menjadi tokoh ‘besar’ dari Raja Kecil. Vokal, gestur yang digunakan juga, jauh dari sosok Raja Kecil.
Begitu juga pemeran yang menjadi tokoh Tengku Kamariah. Pemeran ini belum jadi tokoh yang ia mainkan. Sosok Tengku Kamariah yang bisa mengubah hati Raja Kecil berpaling arah dari Tengku Tengah, tidak dimanfaatkan dengan baik. Kemanjaan, kesetiaan, memiliki aura memikat, luncah dari pemeran ini. Dialog-dialog yang diucapkan oleh pemeran ini juga, sangat datar. Tidak memperlihatkan kepintaran seorang perempuan yang diidam-idamkan oleh lelaki, seperti Raja Kecil.
Tidak jauh berbeda, aktor yang memerankan tokoh Daeng Parani, juga mengalami hal yang sama. Ia belum mampu memperlihatkan sosok orang Bugis yang perkasa. Berani berhadapan dengan siapapun. Kelemahan aktor-aktor ini disebabkan mereka tidak mengetahui bahwa seorang aktor membawa peristiwa dalam dirinya. Maksudnya, seorang aktor harus tahu bahwa tokoh yang diperankannya memiliki bermacam latar belakang, sehingga aktor harus menjadi tokoh itu secara utuh, apalagi naskah yang berangkat dari sejarah.
Pemeran tokoh Tengku Tengah (Rose), Tengku Sulaiman (Rian), Datuk Tanah Datar (Bone), Bujang Selamat (Aril) dan Inang, menjadi pengobat ‘luka’ pementasan Kunni. Pemeran-pemeran ini, dengan piawai memainkan intonasi, gestur, akting mereka masuk menjadi tokoh-tokoh yang diperankan. Memang jadi seorang aktor memerlukan proses yang lama, sehingga mereka mampu menjadi tokoh yang mereka perankan.
Kelemahan lain dari pementasan ‘’Sengketa Cinta’’ yang disutradari tokoh teater perempuan Riau ini, terletak pada logika peristiwa. Kunni, entah itu sengaja atau tidak, dengan ‘berani’ meletakkan peristiwa melipat pakaian di balairung. Sebagaimana diketahui bersama, balairung merupakan tempat musyawarah raja untuk mengambil sikap kepentingan kerajaan. Tidak mungkinlah tempat yang mulia ini dijadikan ‘ruang’ melipat pakaian. Apapun alasannya, hal ini tidak dapat dibenarkan.
Bloking pemain merupakan kelemahan Kunni berikutnya. Mengangkat naskah yang terikat oleh kovensi-konvensi teater teradisi, dalam hal ini teater bangsawan, sebagai sutradara, Kunni seharusnya juga taat akan hukum-hukum tersebut. Beberapa kali pemain membelakangi penonton sambil mengucapkan dialog-dialog penting, sehingga dialog-dialog tersebut tidak sampai kepada penonton.
Keberanian Kunni Masrohanti mementaskan ‘’Sengketa Cinta’’ memang penuh cacatnya. Walaupun demikian, sebagai penonton dan praktisi teater, saya mengucapkan salut kepada Kunni dengan Rumah Suntingnya, yang telah membentangkan karyanya. Bagaimanapun juga, berkarya lebih baik dibanding tidak berkarya. Anggaplah tulisan ini sebagai masukan untuk kita bersama dalam membangun teater di Riau ini.***
Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Unilak dan Ketua Teater MATAN, serta tenaga pengajar di STSR. Selain dikenal sebagai teaterawan dan sastrawan, dia juga menjabat sebagai Ketua II DKR.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Juni 2013
GAGASAN atau ide untuk sebuah pementasan teater atau lebih tepatnya untuk naskah teater, tak terbatas. Kehidupan terbentang ini, baik itu masa lalu, masa kini, ataupun masa yang akan datang, dapat dijadikan ‘bahan dasar’ naskah teater. Tentu saja imajinasi penulis (penulis naskah teater) ‘bermain’ untuk merangkai peristiwa demi peristiwa menjadi sebuah teks naskah teater. Dengan demikian, naskah teater yang ditulis berdasarkan imajinasi penulis menjadi cerita rekaan. Penulis dengan otoritas kebebasan diperbolehkan merekayasa fakta-fakta dalam menyusun cerita. Tapi bagaimanakah tanggung jawab penulis merangkai peristiwa dijadikan cerita yang didapat dari sejarah?
Hal inilah yang terasa ketika menyaksikan pementasan teater Rumah Sunting berjudul ‘’Sengketa Cinta’’, dipentaskan di Anjung Seni Idrus Tintin, 20-21 Juni 2013. Naskah yang ditulis SPN GP Ade Dharmawi ini, berangkat dari sejarah Raja Kecil (Pendiri Kerajaan Siak), terlihat ada beberapa fakta sejarah yang berbeda. Keganjilan pertama, bahwa Raja Kecil tidak pernah mengusir ayahanda Tengku Tengah, Tengku Sulaiman dan Tengku Kamariah. Malahan ayahanda Tengku Tengah ini, sebelumnya menjadi sultan di Johor setelah wafatnya Sultan Mahmud, di posisikan oleh Raja Kecil sebagai orang penting di kerajaan Johor. Namun di naskah ‘’Sangketa Cinta’’, GP Ade Dharmawi menuliskan Raja Kecil mengusir ayahanda Tengku Tengah itu.
Kedua, perjodohan antara Tengku Tengah dan Raja Kecil, digagas oleh ayahanda Tengku Tengah. Perjodohan ini merupakan bujukan ayahanda Tengku Tengah untuk meredam kemarahan Raja Kecil. Namun perjodohan ini batal disebabkan Raja Kecil lebih memilih Tengku Kamariah, adik kandung Tengku Tengah menjadi istrinya, padahal perjodohan itu telah disepakati Raja Kecil. Penolakan Raja Kecil inilah yang menjadi dendam di hati Tengku Tengah. Dalam naskah GP Ade Dharmawi tidak dipaparkan fakta ini.
Ketiga, ketika perjodohan ini dibatalkan sepihak oleh Raja Kecil, Tengku Tengah dibantu saudaranya (abang), Sultan Sulaiman, mencari dukungan untuk membalas dendam kepada Daeng Parani, Daeng Celak dan Daeng Parewa. Dalam ‘’Sengketa Cinta’’, Tengku Tengah dan Tengku Sulaiman minta bantuan ke negeri Bugis, padahal ketiga bersaudara keturunan Bugis itu berada di kawasan Riau. Mereka, ketiga bersaudara itu berada di Riau untuk membantu Raja Kecil menyerang Johor.
Pada awalnya, Raja Kecil meminta bantuan kepada ketiga bersaudara itu untuk menyerang Johor. Namun merasa belum kuat, ketiga bersaudara keturunan Bugis itu, mencari bantuan ke negeri Bugis. Kepergian ketiga bersaudara itu ke negeri sangat lama, maka Raja Kecil pun menyerang Johor tanpa ketiga bersaudara Bugis. Merasa ditinggalkan dan dikhianati Raja Kecil untuk menyerang Johor bersama-sama, ketiga bersaudara Bugis menaruh dendam yang dalam. Namun di dalam naskah ‘’Sengketa Cinta’’, GP Ade Dharmawi tidak menulis seperti demikian. Tidak terlihat ada dendam antara ketiga bersaudara Bugis dalam naskah GP. Pada naskah ‘’Sengketa Cinta’’ tokoh Bugis hanya Daeng Parani.
Kenyataan naskah teater ‘’Sengketa Cinta’’ ini memang bukan kenyataan sejarah, namun demikian seharusnya penulis menyatakan fakta tersebut di dalam naskahnya. Dengan demikian, naskah tersebut tidak ‘mengkhianati’ sejarah. Atau paling tidak, dalam hal ini, Rumah Sunting harus mencantum buku panduan pementasan dan menjelaskan bahwa naskah ‘’Sengketa Cinta’’ diangkat dari buku sejarah mana, sehingga penonton dapat memahami dan sekaligus dapat diperbandingkan dengan buku yang pernah dibaca penonton.
Penonton ‘’Sengketa Cinta’’ yang disajikan oleh Rumah Sunting pada malam itu, dibenturkan dengan ketidakjelasan sejarah Raja Kecil. Dalam naskah ini, peran Datuk Tanah Datar mendapat porsi yang lebih, tersebab cuma tokoh ini yang dimunculkan GP Ade Dharmawi. Tokoh-tokoh lain (tokoh Melayu) tidak ada. Raja Kecil yang memiliki pengikut Melayu yang banyak dan setia, baik dari Johor, maupun dari negeri Melayu lainnya, tidak dimunculkan. Sehingga terkesan naskah ‘’Sengketa Cinta’’ menafikan pengorbanan dan pengabdian orang Melayu kepada Raja Kecil. Padahal diketahui bersama, bahwa kemenangan Raja Kecil menguasai Johor disebabkan pembesar-pembesar kerajaan Johor memihak Raja Kecil. Disebabkan ‘pembusukan’ dari dalam kerajaan Johor inilah, Raja Kecil dapat dengan mudah menguasai Johor. Pembesar-pembesar Johor yang berpihak kepada Raja Kecil yakin, bahwa Raja Kecil inilah pewaris sah Kerajaan Johor dari keturunan Sultan Mahmaud Mangkat Di Julang dengan Cik Apung.
Pementasan teater dan karya seni pada umumnya, selain sebagai sarana hiburan, yang paling penting adalah karya seni dapat dijadikan tempat ‘berpijak’ mengenali diri lebih dekat lagi. Namun harapan ini akan menjadi sia-sia seandainya pementasan teater dan karya seni pada umumnya, mencoba memperkokoh pandangan sepihak. Maka jadilah karya seni memperlemah kenyataan.
Pemanggungan Setengah-setengah
‘’Sengketa Cinta’’ yang disutradarai Kunni Masrohanti ini, terkesan setengah-setengah. Kunni memaksakan karya yang ‘belum matang’ ini dipentaskan di khalayak ramai. Kesan ini dapat ditangkap dari garapan Kunni yang tidak memikirkan kebolehan aktor, bloking yang belum sempurna, penataan panggung terkesan asal jadi dan ‘penyulaman’ plot yang kurang tergarap.
Apapun bentuk pementasan teater, di atas panggung, aktor mempunyai peranan yang sangat penting. Dari kepiawaian aktor berakting inilah cerita dibangun dan pesan naskah dapat dicerna penonton. Kunni seakan mengeyampingkan hal ini. Aktor-aktor yang ‘dipasang’ Kunni tidak mampu memunculkan aura tokoh yang diperankan.
Tokoh Raja Kecil yang menjadi pusat perhatian dalam cerita ini, tidak mampu memerankan sebagai Raja Kecil yang baik. Lemah, tidak berdaya, kesan inilah yang dapat ditangkap dari Raja Kecil dalam ‘’Sengketa Cinta’’. Padahal selama ini, dalam benak orang banyak (dari peristiwa-peristiwa sejarah yang diciptakan Raja Kecil), melekat imej perkasa, tegas, berani dan pantang menyerah dari sosok Raja Kecil. Namun dalam ‘’Sengketa Cinta’’ hal itu sirna. Tokoh yang memerankan Raja Kecil, tidak mengolah sukmanya menjadi tokoh ‘besar’ dari Raja Kecil. Vokal, gestur yang digunakan juga, jauh dari sosok Raja Kecil.
Begitu juga pemeran yang menjadi tokoh Tengku Kamariah. Pemeran ini belum jadi tokoh yang ia mainkan. Sosok Tengku Kamariah yang bisa mengubah hati Raja Kecil berpaling arah dari Tengku Tengah, tidak dimanfaatkan dengan baik. Kemanjaan, kesetiaan, memiliki aura memikat, luncah dari pemeran ini. Dialog-dialog yang diucapkan oleh pemeran ini juga, sangat datar. Tidak memperlihatkan kepintaran seorang perempuan yang diidam-idamkan oleh lelaki, seperti Raja Kecil.
Tidak jauh berbeda, aktor yang memerankan tokoh Daeng Parani, juga mengalami hal yang sama. Ia belum mampu memperlihatkan sosok orang Bugis yang perkasa. Berani berhadapan dengan siapapun. Kelemahan aktor-aktor ini disebabkan mereka tidak mengetahui bahwa seorang aktor membawa peristiwa dalam dirinya. Maksudnya, seorang aktor harus tahu bahwa tokoh yang diperankannya memiliki bermacam latar belakang, sehingga aktor harus menjadi tokoh itu secara utuh, apalagi naskah yang berangkat dari sejarah.
Pemeran tokoh Tengku Tengah (Rose), Tengku Sulaiman (Rian), Datuk Tanah Datar (Bone), Bujang Selamat (Aril) dan Inang, menjadi pengobat ‘luka’ pementasan Kunni. Pemeran-pemeran ini, dengan piawai memainkan intonasi, gestur, akting mereka masuk menjadi tokoh-tokoh yang diperankan. Memang jadi seorang aktor memerlukan proses yang lama, sehingga mereka mampu menjadi tokoh yang mereka perankan.
Kelemahan lain dari pementasan ‘’Sengketa Cinta’’ yang disutradari tokoh teater perempuan Riau ini, terletak pada logika peristiwa. Kunni, entah itu sengaja atau tidak, dengan ‘berani’ meletakkan peristiwa melipat pakaian di balairung. Sebagaimana diketahui bersama, balairung merupakan tempat musyawarah raja untuk mengambil sikap kepentingan kerajaan. Tidak mungkinlah tempat yang mulia ini dijadikan ‘ruang’ melipat pakaian. Apapun alasannya, hal ini tidak dapat dibenarkan.
Bloking pemain merupakan kelemahan Kunni berikutnya. Mengangkat naskah yang terikat oleh kovensi-konvensi teater teradisi, dalam hal ini teater bangsawan, sebagai sutradara, Kunni seharusnya juga taat akan hukum-hukum tersebut. Beberapa kali pemain membelakangi penonton sambil mengucapkan dialog-dialog penting, sehingga dialog-dialog tersebut tidak sampai kepada penonton.
Keberanian Kunni Masrohanti mementaskan ‘’Sengketa Cinta’’ memang penuh cacatnya. Walaupun demikian, sebagai penonton dan praktisi teater, saya mengucapkan salut kepada Kunni dengan Rumah Suntingnya, yang telah membentangkan karyanya. Bagaimanapun juga, berkarya lebih baik dibanding tidak berkarya. Anggaplah tulisan ini sebagai masukan untuk kita bersama dalam membangun teater di Riau ini.***
Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Unilak dan Ketua Teater MATAN, serta tenaga pengajar di STSR. Selain dikenal sebagai teaterawan dan sastrawan, dia juga menjabat sebagai Ketua II DKR.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Juni 2013
No comments:
Post a Comment