Sunday, June 30, 2013

[Jendela Buku] Taklukkan Jepang dengan Akal

-- Khalidah Nizma Fritz

'Aku tidak mahir dalam seni berpedang.... Aku sadar aku harus lebih menggunakan otak daripada tubuh, khususnya jika aku ingin kepalaku tetap menempel di leher'.

MEMBAHAS BUKU SWORDLESS SAMURAI: Peserta hadir dalam acara Obrolan
Pembaca Media Indonesia (OPMI) di Liberica Coffee, Pacific Place,
Jakarta, Sabtu (22/6). Obrolan kali ini membahas tentang buku Swordless
Samurai karya penulis Kitami Masao yang menceritakan tentang sejarah
singkat Jepang di masa samurai berkuasa, hingga prinsip-prinsip
kepemimpinan Toyotomi Hedeyoshi. MI/IMMANUEL ANTONIUS
NAMA Hideyoshi bagi rakyat Jepang sudah merasuk dalam sejarah bangsa. Bagaimana tidak? Selama ratusan tahun Jepang dilanda kegelapan. Kekuasaan kaum bangsawan tidak terbantahkan kala hukum yang berlaku hanya pedang.

Pada abad ke-15 Hideyoshi tampil mengubah wajah Jepang. Terlahir dengan tinggi hanya 150 cm, wajah seperti yang diakuinya mirip monyet, tidak mahir bermain pedang, dan dilahirkan dalam keadaan miskin, itulah gambaran Hideyosi.

Namun, ternyata tekadnya melampaui semua kekurangannya. Hideyoshi bermimpi membawa Jepang keluar dari zaman kegelapan dan menciptakan perdamaian. Sadar tak punya hal yang dibanggakan, Hideyoshi memilih satu-satunya harapan: menggunakan akal dan hati! Sebelum mengabdikan diri pada sebuah kelompok, Hideyoshi mengecap kerasnya hidup sebagai rakyat miskin. Dia melakukan yang terbaik dalam perdagangan, menjadi pekerja kasar, bahkan pernah terlibat dengan kelompok preman. Mengeluhkan dia? Tidak! Dari pengalaman yang kelak terbukti mahal itu, jiwa welas asih Hideyoshi muncul. Seorang yang pernah merasakan menjadi sangat miskin, ketika memimpin punya peluang besar untuk merasakan penderitaan rakyat dan bawahannya.

Keputusan Hideyoshi remaja untuk memilih atasan sangat diperhatikan dengan cermat. Dari sini saja pembaca diajak merenungkan sesuatu yang sering terlewat, memilih pemimpin. Hideyoshi tahu betul, kalau dirinya ingin sukses, harus memilih orang yang tepat pula. Lord Nobunaga-lah yang menurutnya pas dengan visi misinya.

Setelah mendapatkan hati Lord Nobunaga, atasan yang paling dikaguminya, Hideyoshi membuktikan siapa dirinya lewat dedikasi. Sigap, cekatan, penuh inisiatif dan tidak mengeluh, merupakan di antara keunggulan Hideyoshi. Perlahan tapi pasti, Hideyoshi menduduki jabatan yang lebih tinggi. Setiap pekerjaan yang dipercayakan padanya tak pernah mengecewakan.

Usaha keras dipadu dengan akal cerdas akan memutuskan kebiasaan yang terdengar mustahil. Siapa yang mau percaya Hideyoshi ialah calon pemimpin besar saat tugasnya hanyalah menghangatkan sandal?

Akan tetapi, totalitasnya mengantarkan Hideyoshi menjadi pemimpin yang unik, belum ada dalam sejarah Jepang, dan yang pasti, tanpa pedang.

Rasa autobiografi buku yang berlatar belakang sejarah Jepang sudah sejak lama memasuki toko buku Indonesia. Cerita seputar kekaisaran, perang, dan samurai merupakan yang paling banyak. Penggemar budaya Jepang tentu tak melewatkan buku-buku tersebut. Uniknya, buku sejarah Jepang yang satu ini menarik tidak hanya bagi pecinta budaya Jepang, tetapi juga pecinta buku pada umumnya. Swordless Samurai, karya Kitami Masao, punya gaya bercerita lain daripada yang lain.

Alih-alih menceritakan sejarah dengan membosankan, Masao mengadakan riset dengan mengambil berbagai referensi dan menulis dengan gaya novel autobiografi. Jika tidak jeli membaca pengantar bukunya, Anda pasti mengira ini memoar pribadi yang ditulis oleh sang tokoh sendiri, Toyotomi Hideyoshi.

Meskipun beberapa validitas sejarah diragukan atau tidak jelas, buku ini sangat inspiratif. Terbagi menjadi sepuluh bab, setiap subbab menceritakan sebuah kiat. Ya, rasanya seperti membaca buku how to be a good leader berikut penjelasan nyatanya.

Alur acak

Meskipun buku ini sangat inspiratif dan mudah ditangkap pesannya, alur ceritanya acak dan melompat-lompat. Kisah kematian Lord Nobunaga yang seharusnya bisa ditulis dramatis ternyata hanya selewat saja. Masao, sang penulis, lebih dulu membocorkan siapa pembunuhnya dan menceritakannya di bagian buku lain.

Gaya bercerita dengan alur acak memang bukan hal baru. Sering kali malah menjadi keunggulan sebuah buku. Sayangnya, untuk buku terjemahan yang tokoh-tokohnya mempunyai nama Jepang, alur acak membuat pembaca kesulitan mengingat nama asing itu.

“Cerita kurang kronologis ditambah banyaknya nama asing membuat pembaca bingung. Agak mengganggu,” kata Silvi, salah satu peserta Obrolan Pembaca Media Indonesia.

Hanya pecinta sastra Jepang atau terbiasa dengan nama-namanya yang sepertinya tidak akan merasa terganggu dengan hal tersebut.

Seimbang bergelimang harta dan kekuasaan sudah menyilaukan banyak pemimpin dan menghancurkannya. Hal itu pula yang dialami Hideyoshi. Setelah mencapai posisi puncak, Hideyoshi melakukan berbagai kebodohan yang mencelakakan dirinya sendiri dan para pengikutnya.

Terlalu murah menghambur-hamburkan uang, tergoda memiliki ratusan selir, sampai keputusan fatal menginvasi negara tetangga, China dan Korea. Hideyoshi mengakui sejak kehilangan sahabat sekaligus penasihatnya, Koroku, hidupnya lebih tidak terkendali. Tak ada orang yang berani menegur jika dia salah.

Cerita buku ini terasa lengkap dan seimbang tatkala pembaca diajak menyelami sisi lain pribadi Hideyoshi dan menarik pelajaran darinya. Kiat kepemimpinan ataupun peringatannya terhadap godaan setelah duduk di atas sana memang bukan cerita baru, apalagi tips rahasia. Semua sudah sering kita dengar. Namun tetap saja sedikit orang yang bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah setiap kita ialah pemimpin, minimal memimpin diri sendiri?

Ambillah pelajaran berharga dari perjuangan si miskin Hideyoshi menjadi orang nomor satu di Jepang. Jangan pula abaikan peringatannya akan kekuasaan yang melenakan. Dari beberapa abad yang lalu, Hideyoshi berbagi rahasia suksesnya. Tinggal bagaimana pembaca menyarikannya dalam kehidupan sekarang.  (M-2)
           
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Juni 2013

No comments: