Sunday, June 30, 2013

[Tifa] Memainkan Jemari dalam Ruang Asketis

-- Iwan Kurniawan

Seniman kampus menghadirkan ruang kontemplatif. Mereka tak sekadar mengajarkan teori, tetapi juga menghasilkan karya yang penuh harapan sekaligus kebimbangan.

KONTEMPOERER: Para pengunjung sedang memerhatikan deretan karya
kontemporer pada pameran bersama karya pengajar seni rupa 2013 bertajuk
"Melihat/Dilihat" di Galeri Nasional, pertengahan pekan ini.
(MI/IWAN KURNIAWAN)
SEORANG pria bertelanjang dada menengadahkan mulutnya ke arah tangan seorang perempuan yang juga telanjang. Sambil menggenggam sebuah apel merah marun, sang perempuan pun siap untuk menyuapi sang kekasih.

Ada motif dan corak warna yang begitu kuat. Seakan ada sebuah kehidupan yang baru saja dimulai. Di samping kiri, terlihat pria bertelanjang dada itu tersungkur di tanah. Sambil tertidur lesu, terlihat sisa apel yang dimakan tergeletak di samping tubuhnya.

Ia seakan mulai mengetahui sebuah kehidupan sesungguhnya. Antara hal (pengetahuan) baik dan buruk sehingga mengingatkan kita pada sebuah awal permulaan kehidupan di dunia yang fana ini.

Gambaran itu terlihat jelas pada karya Integritas yang Terluka karya pelukis Heru Susanto yang dipamerkan pada pameran bersama bertajuk Melihat/Dilihat di Galeri Nasional, Jakarta, awal pekan ini. Ada sebuah corak khas karena pada lukisan berukuran 100x150 cm (akrilik di atas kanvas, 2013) itu kita bisa menerka bahwa sang lelaki adalah Adam dan si perempuan adalah Hawa. Sebuah tafsir akan asal-muasal kehidupan di dunia seperti yang terdapat pada kisah dalam agama.

Pameran tersebut menampilkan 74 karya pengajar, termasuk Heru. Semuanya berasal dari 31 perguruan tinggi berbeda. Ada yang menarik karena para seniman kampus itu tak sekadar menghadirkan teori. Mereka langsung terjun sebagai pekerja yang penuh kepedulian dalam perkembangan seni rupa kontemporer di abad ini.

Setiap karya yang dihadirkan penuh dengan dasar-dasar filosofi (konsep) yang kuat. Berbagai bentuk realis hingga abstrak dihadirkan dengan bahasa yang sederhana hingga bahasa yang rumit.

Tak mengherankan bila karya para dosen sekaligus seniman itu begitu lekat dengan karya yang asketis. Ada kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban demi menghargai ilmu yang mereka ajarkan dan diajarkan.

“Para seniman yang juga pengajar ini menghadirkan arus dalam, namun tak melupakan arus luar. Gesekan yang ada membuat mereka mencoba untuk menerobos dan menumbangkan konvensi sekaligus gairah berkarya,” nilai pemerhati seni rupa, Suwarno Wisetrotomo.

Pada pameran yang berlangsung pada 13-25 Juni itu, ada sebuah upaya untuk menunjukkan proses kreatif seniman kampus. Itu menunjukkan para seniman mencoba untuk tak dilupakan dalam perjalanan seni rupa Indonesia.

Yopie Liliweri menghadirkan sederet tokoh perjuangan. Ada yang menarik karena ia menghadirkan 18 tokoh dalam karyanya berjudul Habitus Baru (26x34 cm), mulai tokoh sepak bola, musikus, politikus, hingga filsuf.

Kontemplatif

Berbeda dengan Hamzah yang menghadirkan Yang Tersurat dan Tersuruk (150x150 cm). Ia seakan bertolak dari yang ada. Dalam karyanya, terlihat seorang anak kecil sedang menatap pada sebuah rumah yang luluh lantak.

Itu seakan mengingatkan kita pada gempa bumi yang sempat melanda Kota Padang beberapa tahun silam. Ruang kontemplatif dalam karya itu sangat tampak.

Apalagi, anak yang dihadirkan seakan juga mengingatkan kita pada korban-korban bencana alam yang ada di sebagian kota lainnya, juga di Tanah Air.

Selain nama-nama tersebut, masih ada yang juga menghadirkan karya yang cukup khas. Sebut saja I Gusti Nengah Sura Ardana, Boyke Mulyana, Hardiman Radjab, Eko Yuli Priyanto, Firman Lie, Dinah Priambodo, Dicky Tjandra, Aryo Sunaryo, hingga Krisna Murti.

Terlepas dari kreativitas yang dihadirkan seniman-seniman dalam pameran tersebut, ada sebuah ruang yang hilang, yaitu ruang kritik. Para seniman itu mungkin saja ingin untuk melepaskan kepenatan lewat berkarya, tetapi mereka lupa pada jati diri sebagai seorang pengajar dan pengkritik.

Mereka yang notabene pengajar mungkin mencoba untuk tak mau untuk dilupakan dalam peta seni rupa Indonesia. Untuk itulah, mereka pun memanfaatkan ruang asketis di tengah kebimbangan.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Juni 2013

No comments: