-- Iwan Kurniawan
Seniman Semarang menghadirkan rob akibat kerusakan lingkungan. Itu mengingatkan pada mitologi Yunani tentang kemarahan sang dewa laut.
Di sudut ruangan, seorang pengunjung laki-laki lainnya pun asyik mengabadikan sebuah karya lewat ponselnya sebelum melangkah ke karya lain. Dalam hitungan ketiga, terdengar bunyi jepretan dari aplikasi ponselnya.
Lewat pameran bersama bertajuk Rob di Galeri Nasional, Jakarta, 28 Mei hingga 8 Juni mendatang, puluhan perupa Jateng mencoba menghadirkan ketajaman intuisi. Mereka mengolah dan memaknai rob--peristiwa naiknya air laut ke daratan--sebagai bagian dari intuisi kultural.
Para perupa memasuki dunia rob dengan berbagai pendekatan. Ada pendekatan mimesis (meniru) alam, imajinatif, dan realistis. Pada pendekatan mimesis, beberapa perupa seakan berusaha menangkap dan mengungkapkan kembali tanda-tanda alam di sekujur peristiwa rob berdasarkan apa yang dipahami dan dihayati.
Itu berbeda dengan pendekatan imajinatif. Beberapa perupa lainnya mengabstraksikan rob dalam bahasa metafora yang personal, bahkan sampai menyentuh nilai-nilai spiritualnya.
Pada pendekatan realistis, sederet perupa lainnya juga berusaha memotret secara rinci dengan bahasa realisme-fotografis. Mereka mengedepankan akurasi bentuk, suasana, dan karakternya.
“Pameran ini memiliki posisi sosial-historis yang penting karena menandai sebuah penampang perkembangan sejarah seni rupa Semarang,” ujar kurator pameran Djuli Djatiprambudi, pertengahan pekan ini.
Tema rob yang terjadi di kawasan Semarang Timur, misalnya, telah menjadi sebuah objek menarik. Lewat kepiawaian dan kepandaian, para perupa Jateng mampu menyulap persoalan alam hingga sosial lewat karya bernilai seni tinggi.
Rob telah masuk hingga sebagian daratan Kota Semarang, khususnya di kawasan Kota Lama. Bencana itu hadir di kota yang sempat dijuluki orang Eropa sebagai Venetie van Java.
Penguasa laut
Bila diperhatikan, karya-karya yang dipajang di ruangan pemeran menunjukkan keseriusan yang seniman hadirkan. Cipto Purnomo, misalnya, menghadirkan Keseimbangan (140x200 cm).
Lewat karya berbahan cat acrylic on canvas itu, dia mampu menangkap fenomena alam akibat rob. Rob yang terjadi selama ini seakan sulit ditanggulangi dan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Semarang pada khususnya.
Cipto mengkritisi persoalan itu perlu disikapi secara arif dari pemerintah, birokrat, hingga masyarakat. Itu berguna untuk memperlakukan alam dalam kehidupan yang seimbang.
Karya Keseimbangan cukup kompleks, menggambarkan rob yang menggenangi hampir separuh tubuh seorang lelaki. Tangan kiri lelaki dalam lukisan itu terlihat sedang menggenggam sebuah lahan yang bertaburan perumahan elite, hotel, dan apartemen.
Di tangan kanan, ia memegang Candi Borobudur, pura, masjid, hingga gereja. Uniknya, Cipto menghadirkan sebidang lahan di atas kepala sang objek lelaki berupa hutan dan binatang-binatang. Seakan lahan-lahan (daratan) hampir tenggelam akibat rob.
Karya yang sarat makna itu seolah mengingatkan kita pada mitologi Yunani. Poseidon--dewa penguasa laut, sungai, dan danau--selalu menggenggam senjata berupa trisula. Senjata itu bisa menyebabkan banjir dan gempa bumi.
Trisula itu dibuat para Kiklops semasa Titanomakhia. Poseidon juga memiliki kendaraan yang ditarik hippokampos (makhluk setengah kuda setengah ikan).
Lukisan Keseimbangan memiliki corak surealis yang begitu kuat. Objek lelaki yang ada dalam lukisan itu ibarat Poseidon. Ia siap menghancurkan daratan dengan menjatuhkan daratan yang digenggam erat di tangan kiri dan kanannya.
Lewat karya tersebut, Cipto seakan memberi pesan perlunya kesadaran dalam membendung nafsu pembangunan yang tidak sehat. Kesadaran tersebut dapat tumbuh dari sisi spiritual yang terus dipupuk seiring dengan laju perkembangan zaman.
Karya lain yang cukup menggelitik juga terlihat pada lukisan seperti Menjaga Keseimbangan Alam (200x135 cm) karya Hatmojo Mojo, Psikofragmen karya Kokoh HS, dan Seperti di Venesia? karya Nurfu AD. Lalu, ada Bakau Terakhir karya Putut Wongpati, dan From Rob-1A With Love karya Tjetjep Rohendi Rohidi.
Pameran bersama seniman Jateng menghadirkan sederet fakta yang seakan diposkan kepada pemerintah kota setempat. Mereka mengkritik secara jeli lewat simbol-simbol agar persoalan rob di Semarang dan sekitarnya dapat ditanggulangi tanpa mengesampingkan hak rakyat. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 2 Juni 2013
Seniman Semarang menghadirkan rob akibat kerusakan lingkungan. Itu mengingatkan pada mitologi Yunani tentang kemarahan sang dewa laut.
Di sudut ruangan, seorang pengunjung laki-laki lainnya pun asyik mengabadikan sebuah karya lewat ponselnya sebelum melangkah ke karya lain. Dalam hitungan ketiga, terdengar bunyi jepretan dari aplikasi ponselnya.
Lewat pameran bersama bertajuk Rob di Galeri Nasional, Jakarta, 28 Mei hingga 8 Juni mendatang, puluhan perupa Jateng mencoba menghadirkan ketajaman intuisi. Mereka mengolah dan memaknai rob--peristiwa naiknya air laut ke daratan--sebagai bagian dari intuisi kultural.
Para perupa memasuki dunia rob dengan berbagai pendekatan. Ada pendekatan mimesis (meniru) alam, imajinatif, dan realistis. Pada pendekatan mimesis, beberapa perupa seakan berusaha menangkap dan mengungkapkan kembali tanda-tanda alam di sekujur peristiwa rob berdasarkan apa yang dipahami dan dihayati.
Itu berbeda dengan pendekatan imajinatif. Beberapa perupa lainnya mengabstraksikan rob dalam bahasa metafora yang personal, bahkan sampai menyentuh nilai-nilai spiritualnya.
Pada pendekatan realistis, sederet perupa lainnya juga berusaha memotret secara rinci dengan bahasa realisme-fotografis. Mereka mengedepankan akurasi bentuk, suasana, dan karakternya.
“Pameran ini memiliki posisi sosial-historis yang penting karena menandai sebuah penampang perkembangan sejarah seni rupa Semarang,” ujar kurator pameran Djuli Djatiprambudi, pertengahan pekan ini.
Tema rob yang terjadi di kawasan Semarang Timur, misalnya, telah menjadi sebuah objek menarik. Lewat kepiawaian dan kepandaian, para perupa Jateng mampu menyulap persoalan alam hingga sosial lewat karya bernilai seni tinggi.
Rob telah masuk hingga sebagian daratan Kota Semarang, khususnya di kawasan Kota Lama. Bencana itu hadir di kota yang sempat dijuluki orang Eropa sebagai Venetie van Java.
Penguasa laut
Bila diperhatikan, karya-karya yang dipajang di ruangan pemeran menunjukkan keseriusan yang seniman hadirkan. Cipto Purnomo, misalnya, menghadirkan Keseimbangan (140x200 cm).
Lewat karya berbahan cat acrylic on canvas itu, dia mampu menangkap fenomena alam akibat rob. Rob yang terjadi selama ini seakan sulit ditanggulangi dan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Semarang pada khususnya.
Cipto mengkritisi persoalan itu perlu disikapi secara arif dari pemerintah, birokrat, hingga masyarakat. Itu berguna untuk memperlakukan alam dalam kehidupan yang seimbang.
Karya Keseimbangan cukup kompleks, menggambarkan rob yang menggenangi hampir separuh tubuh seorang lelaki. Tangan kiri lelaki dalam lukisan itu terlihat sedang menggenggam sebuah lahan yang bertaburan perumahan elite, hotel, dan apartemen.
Di tangan kanan, ia memegang Candi Borobudur, pura, masjid, hingga gereja. Uniknya, Cipto menghadirkan sebidang lahan di atas kepala sang objek lelaki berupa hutan dan binatang-binatang. Seakan lahan-lahan (daratan) hampir tenggelam akibat rob.
Karya yang sarat makna itu seolah mengingatkan kita pada mitologi Yunani. Poseidon--dewa penguasa laut, sungai, dan danau--selalu menggenggam senjata berupa trisula. Senjata itu bisa menyebabkan banjir dan gempa bumi.
Trisula itu dibuat para Kiklops semasa Titanomakhia. Poseidon juga memiliki kendaraan yang ditarik hippokampos (makhluk setengah kuda setengah ikan).
Lukisan Keseimbangan memiliki corak surealis yang begitu kuat. Objek lelaki yang ada dalam lukisan itu ibarat Poseidon. Ia siap menghancurkan daratan dengan menjatuhkan daratan yang digenggam erat di tangan kiri dan kanannya.
Lewat karya tersebut, Cipto seakan memberi pesan perlunya kesadaran dalam membendung nafsu pembangunan yang tidak sehat. Kesadaran tersebut dapat tumbuh dari sisi spiritual yang terus dipupuk seiring dengan laju perkembangan zaman.
Karya lain yang cukup menggelitik juga terlihat pada lukisan seperti Menjaga Keseimbangan Alam (200x135 cm) karya Hatmojo Mojo, Psikofragmen karya Kokoh HS, dan Seperti di Venesia? karya Nurfu AD. Lalu, ada Bakau Terakhir karya Putut Wongpati, dan From Rob-1A With Love karya Tjetjep Rohendi Rohidi.
Pameran bersama seniman Jateng menghadirkan sederet fakta yang seakan diposkan kepada pemerintah kota setempat. Mereka mengkritik secara jeli lewat simbol-simbol agar persoalan rob di Semarang dan sekitarnya dapat ditanggulangi tanpa mengesampingkan hak rakyat. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 2 Juni 2013
No comments:
Post a Comment