Bachtiar Siagian |
BACHTIAR Siagian dikenal sebagai sineas terkemuka di zamannya. Kabarnya, ia telah membuat film sebelum Usmar Ismail. Lahir di Binjai, Sumatera Utara, 19 Februari 1923. Sebelum terjun ke dunia film, ia telah aktif menulis naskah drama, antara lain ‘’The Blood People’’, ‘’Rosanti’’ dan lain-lain. Pada 1954, ia belajar tentang penulisan skenario melalui Pudovkin’s Book. Setelah sebelumnya ikut bergerilya melawan pemerintahan Belanda dan Jepang pada saat perang kemerdekaan.
Terjun ke dunia film pada 1955, langsung sebagai sutradara untuk film ‘’Tjorak Dunia’’. Kemudian kembali menjadi sutradara dalam film ‘’Kabut Desember’’ (1955), ‘’Daerah Hilang’’ (1956), ‘’Piso Surit’’ (1960), ‘’Notaris Sulami’’ (1961), ‘’Badja Membara’’ (1961), ‘’Violetta’’ (1962), ‘’Kami Bangun Hari Esok’’ (1963) dan ‘’Njanjian di Lereng Dieng’’ (1964). Sedangkan dalam film ‘’Melati Sendja’’ (1956), selain sebagai sutradara ia juga merangkap sebagai peran utama.
Terjun menjadi penulis skenario mulai 1959, dalam film ‘’Ho Lopis Kuntul Baris’’ (1959) dan dalam film ‘’Sekedjap Mata’’ (1959), di mana ia merangkap pula sebagai sutradara. Sedangkan untuk penulisan cerita dimulainya dalam film ‘’Iseng’’ (1959), ‘’Kamar 13'’ (1961), ‘’Memburu Menantu’’ (1961). Film-filmnya tersebut banyak dibintangi Rima Melati, Mieke Widjaja, Nani Widjaya, dan Dicky Zulkarnaen.
Pada saat meletus Gerakan 30 S/PKI, ia ikut di tangkap, karena waktu itu ia menjabat sebagai Ketua Indonesia Film Institution di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebuah lembaga yang terkait erat dengan Partai Komunis Indonesia. Akibatnya ia sempat mendekam lama di Pulau Buru, dan baru bebas 1977. Kejadian tersebut berdampak pada pemusnahan beberapa film karyanya karena dianggap berbau komunis pada saat kejadian G30/S. Termasuk dua filmnya yang bertema Karo yakni ‘’Turang’’ dan ‘’Piso Surit’’.
Meskipun filmnya yang berjudul ‘’Turang’’ dianggap berbau komunis, film yang bercerita tentang perjuangan rakyat Karo melawan Belanda ini justru mengantarkan film tersebut meraih Piala FFI II (1960), dan menjadikan dirinya Sutradara Terbaik dalam ajang tersebut, namun di ajang Festival Film Asia filmnya tersebut tidak berhasil meraih satupun penghargaan.
Bachtiar Siagian mendapatkan piala Citra pada Festival Film Indonesia 1960 untuk film yang bertema Karo ‘’Turang’’. Film terbaik saat itu dan berseting tentang perjuangan rakyat Karo melawan Belanda. Dan film keduannya ‘’Piso Surit’’, juga dengan kultur Karo. Sayangnya semua film karya Bactiar Siagian termasuk ‘’Turang’’ dan ‘’Piso Surit’’ telah dimusnahkan padahal film itu tidak mempunyai tema komunisme. ‘’Piso Surit’’ dibuat karena Bachtiar Siagian terinspirasi dari lagu ciptaan Djaga Depari yang memang sedang hangat-hangatnya kala itu. Lagu tersebut juga menjadi soundtrack dari film ini. Film-film Bachtiar sering dituding berideologi Lenin-Marx.
Misbach menerangkan tentang film-film Bachtiar, tidak ada tampak nilai-nilai komunisnya, tapi karena dia pemimpin Lekra, maka apapun yang ada padanya dan yang berhubungan dengannya adalah hal yang perlu dimusnahkan. Bachtiar Siagian tidak bisa lepas dari seni dan budaya Sumatra Utara, mulai dari tulis-menulis sastra, teater panggung hingga film.
Selama aktif dalam film, ia juga sering menulis di beberapa media massa, khususnya tentang perfilman dan hal-hal yang berhubungan dengan dunia film seperti pelajaran sinematografi, kritik film, dan lain-lain.(fed/berbagai sumber)
Karya Film:
- Tjorak Dunia (1955)
- Kabut Desember (1955)
- Daerah Hilang (1956)
- Melati Sendja (1956)
- Turang (1957)
- Ho Lopis Kuntul Baris (1959)
- Sekedjap Mata (1959)
- Iseng (1959)
- Piso Surit (1960)
- Notaris Sulami (1961)
- Badja Membara (1961)
- Kamar 13 (1961)
- Memburu Menantu (1961)
- Violetta (1962)
- Kami Bangun Hari Esok (1963)
- Njannjian di Lereng Dieng (1964)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 Juni 2013
Terjun ke dunia film pada 1955, langsung sebagai sutradara untuk film ‘’Tjorak Dunia’’. Kemudian kembali menjadi sutradara dalam film ‘’Kabut Desember’’ (1955), ‘’Daerah Hilang’’ (1956), ‘’Piso Surit’’ (1960), ‘’Notaris Sulami’’ (1961), ‘’Badja Membara’’ (1961), ‘’Violetta’’ (1962), ‘’Kami Bangun Hari Esok’’ (1963) dan ‘’Njanjian di Lereng Dieng’’ (1964). Sedangkan dalam film ‘’Melati Sendja’’ (1956), selain sebagai sutradara ia juga merangkap sebagai peran utama.
Terjun menjadi penulis skenario mulai 1959, dalam film ‘’Ho Lopis Kuntul Baris’’ (1959) dan dalam film ‘’Sekedjap Mata’’ (1959), di mana ia merangkap pula sebagai sutradara. Sedangkan untuk penulisan cerita dimulainya dalam film ‘’Iseng’’ (1959), ‘’Kamar 13'’ (1961), ‘’Memburu Menantu’’ (1961). Film-filmnya tersebut banyak dibintangi Rima Melati, Mieke Widjaja, Nani Widjaya, dan Dicky Zulkarnaen.
Pada saat meletus Gerakan 30 S/PKI, ia ikut di tangkap, karena waktu itu ia menjabat sebagai Ketua Indonesia Film Institution di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebuah lembaga yang terkait erat dengan Partai Komunis Indonesia. Akibatnya ia sempat mendekam lama di Pulau Buru, dan baru bebas 1977. Kejadian tersebut berdampak pada pemusnahan beberapa film karyanya karena dianggap berbau komunis pada saat kejadian G30/S. Termasuk dua filmnya yang bertema Karo yakni ‘’Turang’’ dan ‘’Piso Surit’’.
Meskipun filmnya yang berjudul ‘’Turang’’ dianggap berbau komunis, film yang bercerita tentang perjuangan rakyat Karo melawan Belanda ini justru mengantarkan film tersebut meraih Piala FFI II (1960), dan menjadikan dirinya Sutradara Terbaik dalam ajang tersebut, namun di ajang Festival Film Asia filmnya tersebut tidak berhasil meraih satupun penghargaan.
Bachtiar Siagian mendapatkan piala Citra pada Festival Film Indonesia 1960 untuk film yang bertema Karo ‘’Turang’’. Film terbaik saat itu dan berseting tentang perjuangan rakyat Karo melawan Belanda. Dan film keduannya ‘’Piso Surit’’, juga dengan kultur Karo. Sayangnya semua film karya Bactiar Siagian termasuk ‘’Turang’’ dan ‘’Piso Surit’’ telah dimusnahkan padahal film itu tidak mempunyai tema komunisme. ‘’Piso Surit’’ dibuat karena Bachtiar Siagian terinspirasi dari lagu ciptaan Djaga Depari yang memang sedang hangat-hangatnya kala itu. Lagu tersebut juga menjadi soundtrack dari film ini. Film-film Bachtiar sering dituding berideologi Lenin-Marx.
Misbach menerangkan tentang film-film Bachtiar, tidak ada tampak nilai-nilai komunisnya, tapi karena dia pemimpin Lekra, maka apapun yang ada padanya dan yang berhubungan dengannya adalah hal yang perlu dimusnahkan. Bachtiar Siagian tidak bisa lepas dari seni dan budaya Sumatra Utara, mulai dari tulis-menulis sastra, teater panggung hingga film.
Selama aktif dalam film, ia juga sering menulis di beberapa media massa, khususnya tentang perfilman dan hal-hal yang berhubungan dengan dunia film seperti pelajaran sinematografi, kritik film, dan lain-lain.(fed/berbagai sumber)
Karya Film:
- Tjorak Dunia (1955)
- Kabut Desember (1955)
- Daerah Hilang (1956)
- Melati Sendja (1956)
- Turang (1957)
- Ho Lopis Kuntul Baris (1959)
- Sekedjap Mata (1959)
- Iseng (1959)
- Piso Surit (1960)
- Notaris Sulami (1961)
- Badja Membara (1961)
- Kamar 13 (1961)
- Memburu Menantu (1961)
- Violetta (1962)
- Kami Bangun Hari Esok (1963)
- Njannjian di Lereng Dieng (1964)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 Juni 2013
No comments:
Post a Comment