-- Susanto Muhdi*
MESKIPUN berasal dari tulisan lebih dari 30 tahun yang lalu, kehadiran buku ini masih relevan dan penting artinya bagi dunia akademik, terutama bagi bangsa yang hidup di suatu wilayah dengan dua pertiganya adalah laut.
Tak bisa dimungkiri bahwa sudah pernah terbit beberapa karya mengenai aspek kemaritiman Indonesia dan Asia Tenggara. Namun, sumbangan utama buku ini adalah dalam hal pengetahuan dasar yang informatif mengenai pelayaran dan perdagangan di Nusantara dalam abad ke-16 dan ke-17.
Dalam bagian pertama ”Teknologi dan Pusat Pelayaran” dipaparkan tentang sistem angin, jenis kapal dan tempat pembuatannya, jalan, dan pusat pelayaran. Bagian kedua tentang ”Pola Pelayaran dan Perdagangan” serta bagian terakhir tentang ”Pelabuhan”.
Unsur penting dalam pelayaran adalah kompas dan astrolobe. Yang pertama merupakan alat navigasi yang membantu menentukan arah dan tempat, sedangkan yang kedua untuk menentukan lokasi menurut pengukuran tinggi matahari.
Pelaut kita sudah mengenal kompas dari kapal-kapal Arab dan Persia yang sudah berabad-abad datang ke perairan Indonesia. Begitulah ketika Laksamana Steven van der Haghen membawa ratusan kompas ke Indonesia terpaksa harus dikembalikan ke Belanda karena tidak laku dijual.
Keahlian membuat kapal di Kepulauan Nusantara tak diragukan lagi. Sayangnya, tentang kemajuan teknik perkapalan Indonesia hampir tidak ada. Memang benar bahwa pada relief di Candi Borobudur terdapat lukisan perahu. Tidak kurang terdapat sepuluh relief di sana yang menggambarkan tiga jenis, yakni perahu lesung, kapal besar tidak bercadik, dan yang bercadik.
Berbicara mengenai galangan kapal di Jawa (terutama Lasem) juga terkenal di Asia Tenggara, khususnya dalam abad ke-16. Adapun di bagian timur dijumpai di Kepulauan Kei.
Tidaklah lengkap berbicara kemaritiman tanpa budayanya. Pelayaran yang dilakukan secara tradisional dibekali pengetahuan secara turun-temurun. Orang-orang Bugis dan Makassar mempunyai berbagai kotika tilliq, yakni naskah-naskah dalam bahasa daerah untuk meramalkan apakah kapal yang dijumpai akan bermaksud baik atau sebaliknya. Selain itu, ada juga kotika johoro, untuk melihat apakah serangan laut bisa berhasil atau gagal.
Buku ini memperlihatkan adanya perbedaan antara kerajaan maritim (Banten, Banda Aceh, Malaka) dan kerajaan yang bersandar pada sektor agraris (Mataram). Pada negeri agraris, rajanya tidak berdagang. Adapun raja-raja negeri pesisir bukan hanya menarik keuntungan dari pajak perdagangan dan pelayaran di bandar-bandarnya, tetapi juga turut berdagang, secara pribadi.
Kekayaan sultan bertambah dengan semakin ramainya kapal-kapal dan saudagar yang mengunjungi bandar-bandarnya. Dapatkah dikatakan kalau mau kaya dan sejahtera, sebuah kerajaan lebih baik memajukan perdagangan dan pelayaran daripada bertumpu pada agraris? Atau kalau mau jalan tengah yang dipilih, maka baik sektor bahari dan agraris seharusnya dimajukan bersama?
”Sejauh-jauh kapal berlayar, sekali kelak ia masuk ke pelabuhan”, begitu Lapian mengawali pemaparannya yang puitis mengenai pelabuhan. Pelabuhan harus mempunyai daya tarik bagi kapal-kapal dari luar, misalnya pasar yang ramai dengan barang dagangan dari pedalaman dan fasilitas air minum.
Kapal-kapal yang memasuki Sungai Musi untuk mengunjungi Kota Palembang, seperti diberitakan oleh Ma Huan dalam abad ke-15, menarik disimak. ”Mula-mula mereka tiba di muara sungai yang berair tawar, kemudian masuk Selat P’eng-chia, kapal ditambatkan di darat di mana terdapat banyak menara (tiang) batu, dengan menggunakan perahu kecil mereka memasuki muaranya dan dengan demikian mereka tiba di ibu kota”. Harapan untuk memperoleh laba sangat besar (hal 96-97).
Laut faktor integratif
Seperti diakui penulisnya, kajian sejarah maritim sudah berkembang ke berbagai aspek lain. Sebab itu dasar penilaian terhadap buku ini haruslah diletakkan secara historiografis. Rasanya karya Adrian B Lapian ini tidak berlebihan jika dikatakan sebagai buku yang penting bagi siapa pun yang ingin memulai memahami sejarah maritim Indonesia.
Jadi, buku ini boleh dikatakan sepenting nilai buku Anthony Reid dan Pierre-Yves Manguin bagi pembaca yang ingin mengetahui sejauh mana pengaruh bangsa Eropa terhadap teknologi perkapalan Nusantara. Atau boleh juga disejajarkan nilainya dengan buku dari Kathirithamby-Wells dan John Villiers (eds) buat siapa saja yang sedang mencari tahu mengenai pelabuhan.
Kelebihan lain dari buku ini adalah penulisnya menyajikan pemaparannya dengan kemudahan untuk dicerna pembaca atau bisa disebut sebagai pengaryaan sejarah dengan narasi yang baik (kalau tidak bisa disebut narasi sastra).
Sebagai seorang pakar yang dikatakan nomor wahid dan perintis kajian sejarah maritim Indonesia, Adrian B Lapian boleh dikatakan telah berhasil membuat sebuah kajian sejarah yang penting dan mendasar sebagai sebuah tulisan yang mudah dimengerti. Bahkan akan bisa dinikmati oleh seorang pembaca biasa (non-akademis). Apalagi dalam buku tersebut juga diberikan ilustrasi gambar-gambar sezaman— terutama dari koleksi Jon Huygen van Linschoten—yang tentunya akan sangat membantu menguatkan imajinasi historis pembaca.
Dari buku ini pula, pembaca dapat menjumpai gagasan awal Adrian B Lapian dalam memandang laut sebagai faktor integratif, seperti terungkap dalam kalimat pembuka: ”berabad-abad lamanya kerajaan-kerajaan kecil yang terpencar letaknya di pulau-pulau di Indonesia secara ekonomis, kultural, dan juga sewaktu-waktu secara politis telah bergabung atau digabungkan dalam satuan-satuan yang lebih besar”. Termasuk juga dalam kalimat ini: ”Adanya komunikasi dan lalu lintas antarkepulauan Indonesia ini sudah barang tentu dimungkinkan oleh penduduknya yang telah mengembangkan suatu jaringan hubungan maritim yang lebih baik, didukung oleh kemajuan teknologi kapal, keahlian navigasi, dan suatu enterprising spirit yang besar”
Pemikiran awal Adrian B Lapian itulah yang kemudian dikembangkan dan diperluas, terutama dalam menetapkan paradigma kelautan dalam penulisan sejarah Indonesia. Dengan menetapkan laut sebagai satuan sistem, beberapa laut di Nusantara, termasuk teluk dan selat, sesungguhnya merupakan satuan analisis kajian sejarah maritim yang menarik dilakukan, tetapi sayangnya masih belum banyak diperhatikan.
Mengenai kompetensi penulis, tidak perlu diragukan lagi. Ia bahkan dijuluki ”nakhoda pertama sejarawan Asia Tenggara”.
(Susanto Zuhdi, Guru Besar Sejarah UI)
Sumber: Kompas, Minggu, 1 Februari 2009
No comments:
Post a Comment