-- Agus Wibowo*
Kapan damai di bumi menjadi nyata? Lalu, apakah yang bisa menjembatani perdamaian itu? Demikian pertanyaan Sashi Tharoor--sastrawan India yang mengemban misi perdamaian PBB--dalam sebuah temu budaya belum lama ini. Jika agama, lanjut Tharoor, kemungkinan kecil. Pasalnya, berapa banyak kekerasan dan peperangan yang justru dipicu sentimen atau atas nama agama?
Ilmu pengetahuan dan teknologi (sains), juga tidak jauh berbeda. Benar kenikmatan duniawi bisa terpenuhi, tetapi berapa banyak orang yang mengalami kegersangan jiwa dan spiritualitas hingga harus mencari tempat-tempat sepi untuk sekadar memenuhi "kesepian" itu?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menggelisahkan Tharoor, sehingga terdorong merangkul sastra sebagai mediasi perdamaian yang menjadi bidang tugasnya. Tharoor sampai pada satu kesimpulan, sastra melengkapi apa yang "hilang atau sengaja dihilangkan" dari agama dan sains. Itu karena sastra bisa menjadi semacam jendela (window), yang darinya, si penikmat mampu melihat akar konflik, memahami jiwa, karakter, budaya, dan peradaban bangsa lain secara holistis.
Melalui berbagai bentuk kreatifnya, sastra mampu mendeskripsikan segala sesuatu di luar diri kita secara koheren dan lengkap, misalnya jiwa, karakter, kehidupan, kebudayaan, dan peradaban bangsa lain, merupakan sesuatu yang saling kait-mengait dengan kehidupan yang kita pijaki. Unsur holistik dan universal sastra inilah yang menjembatani perbedaan, seraya menunjukkan persamaan sifat kemanusiaan yang fundamental.
Misi perdamaian itu akan sangat terasa dalam karya sastra besar dan monumental. War and Peace misalnya, novel sejarah yang begitu sarat dengan protes kemanusiaan ini, ditulis berdasar pengalaman nyata penulisnya, Tolstoy. Begitu juga dengan Wordsworth dan Mary Shelley. Konon, karya sastra inilah yang memberi semangat hidup Alfred North Whitehead--seorang ahli matematika pengarang Principia Mathematica (1910)--ketika putra kesayangan sekaligus buah cintanya dengan Evelyn Wade, tewas mengenaskan di ujung perang dunia.
Bagi Whitehead, Wordsworth, dan Mary Shelley mampu mengalirkan nature in solido, yaitu suatu pandangan bahwa unsur-unsur alami yang ada bersifat saling jalin-menjalin, bersifat dinamis dan berproses. Dari situ kemudian ia mengembangkan rumusan soal-soal penting dalam sistem filsafat dan seni yang ia bangun, seperti soal feelings dan prehension, yang tertuang dalam karya besarnya: Process and Reality, sebuah karya filsafat yang kemudian hari oleh Elizabeth M. Kraus dinilai sebagai pemikiran tentang "metafisika pengalaman" tertangguh sepanjang sejarah.
Epos Ramayana dan Mahabharata, juga mengusung tema serupa. Ramayana misalnya, melukiskan derita berkepanjangan yang dialami raja Rahwana. Negaranya (Alengka), yang tadinya megah dan subur makmur, yang diungkapkan para dalang sebagai gemah ripah loh jinawi, rata dengan tanah.
Orang tua harus kehilangan anak, saudara, sahabat, menantu, sedangkan istri kehilangan suami dan anak kehilangan orang tuanya. Kerugian moril dan materiil tidak terhitung jumlahnya. Meski pada akhirnya ingin menunjukkan kemenangan nilai-nilai kebenaran atas kejahatan, tetapi epos Ramayana tetap melukiskan konsekuensi-konsekuensi mengerikan yang harus diderita akibat konflik atau peperangan.
Di negeri ini, kita juga sering menjumpai karya sastra yang mengusung tema-tema perdamaian dan mengutuk peperangan. Misalnya puisi W.S. Rendra, Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang (1960). Penggalannya sebagai berikut: //Anak menangis kehilangan bapa//Tanah sepi kehilangan lelakinya//Bukannya benih yang disebarkan di bumi subur ini/ tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia//
Pun begitu dalam novel tetralogi Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) karya Pramoedya Ananta Toer. Selain pesan perdamaian, melalui karya Pram itu, jiwa kita akan dirangsang untuk bertanya-tanya. Sementara itu, nurani kita melayang-layang dan berkelit berkelindan dengan alam pikiran guna menjaring kesejatian.
Pada giliranya, jiwa dan mata batin kita terasah menjadi semakin peka terhadap nilai-nilai kebenaran, cinta, dan keadilan. Kehidupan yang diletakkan dalam cawan tersebut, menjelma dalam tatanan yang damai, tenang dan nyaris tanpa konflik.
Penyeimbang
Peranan sastra, kata Friedrich Schiller (1993), bisa lebih menakjubkan. Itu karena fungsinya yang menjadi semacam permainan penyeimbang segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Singkatnya, sastra mengalihkan kelebihan energi itu menjadi kreativitas, perasaan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaannya. Maka, manusia terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil, dan picik.
Pertanyaannya kemudian, apakah semua karya sastra memiliki peran luhur seperti itu? Bagaimana dengan karya sastra yang dinilai kontroversial? Bagi Ahmad Tohari (2007), semua karya sastra--entah yang wajar atau yang kontroversial sekalipun perannya sama. Ia mampu menjadi mediasi perdamaian, pewartaan kebenaran, dan kontemplasi. Perbedaannya, terletak pada penafsiran penikmatnya.
Artinya, tatkala teks (sastra) sudah disuguhkan dan dipegang penikmatnya, sejatinya pengarangnya sudah mati. Ia tidak bisa memengaruhi daya tangkap, apalagi tafsir penikmatnya. Pendek kata, semua menjadi otoritas penikmat sastra.
Maka, untuk menyingkap kebenaran makna sejati di balik pewartaan yang diusung sastra (kontroversial), seseorang mesti mengedepankan kejujuran nurani, serta membacanya secara dewasa dan komprehensif. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkecil pendistorsi makna, kesalahan pemahaman, atau ketidakbergunaan sastra bagi kehidupan.
Kita tentu boleh tidak sependapat dengan Ahmad Tohari. Hanya, mesti disadari bahwa tujuan utama sastra dicipta memang demi dan untuk kemanusiaan semata. Dalam kerja penciptaan karya sastra, kata Rene Wellek (1955), sastrawan--mengakui atau tidak--tetap berpatokan pada sifat khas sastra, yaitu menyenangkan dan bermanfaat (dulce et utile) bagi peradaban umat manusia.
Tidak salah jika Sashi Tharoor, menganjurkan sastra sebagai media yang efektif memintal perdamaian. Sastra akan menjadi semacam tenda besar yang mampu merangkul segenap perbedaan, seraya menunjukkan satu kesatuan. Sudah saatnya, masyarakat bersama sastrawan bekerja sama "membumikan" sastra demi meminimalisasi konflik dan peperangan dimuka bumi. Semoga.
* Agus Wibowo, esais sastra, mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Februari 2009
No comments:
Post a Comment