-- Muhidin M Dahlan
”LIBRARY as imagination,” demikian Alberto Manguel memberi salah satu subjudul dalam bukunya, Library at Night (USA: Random House, 2006, halaman 268). Dan ikon dunia dari relasi antara perpustakaan dan imajinasi adalah Jorge Luis Borges.
Borges dikenal sebagai seorang penyair, esais, dan cerpenis Argentina terdepan sekaligus pustakawan terpercaya. Bakat menulisnya bersemi sejak usianya masih belia, 6 tahun. Sebagian besar karyanya terinspirasi oleh Cervantes. Ketika usianya 9 tahun, Borges menerjemahkan karya Oscar Wildez, The Happy Prince, ke dalam bahasa Spanyol. Bakat menulis itu terpupuk atas jasa besar ayahnya yang melimpahinya dengan aneka buku filsafat dan sastra Inggris, Perancis, Jerman, dan Spanyol.
Dalam kegelapan
Ayahnya adalah pencinta buku yang mesti menyerah dan kehilangan kenikmatan membaca lantaran matanya mulai rabun dan akhirnya buta total. Kebutaan yang menggelapkan dunia ayahnya ternyata menurun kepada Borges. Pada saat karier menulisnya sedang menanjak, ia justru dihantam kenyataan bahwa gelap adalah dunia barunya. Buku terakhir yang dibacanya adalah novel detektif dalam sebuah perjalanan dengan kereta api.
Sejak saat itu, buku dan perpustakaan menjadi serangkaian kilatan imajinasi dalam kepala Borges. Bagi Borges, imajinasi adalah semacam labirin yang tak pernah usai dijelajahi. Kehidupan Borges memang penuh eksperimen. Salah satu yang patut diingat-ingat adalah ketika dengan kepercayaan diri yang penuh dia menyusun pengantar, rangkuman, atau bahkan review yang berbobot dan kompleks atas sebuah buku yang sebetulnya tak pernah ada dan dituliskan. Hal itu dilakukan Borges saat kegelapan kian dekat menerkam penglihatannya.
Saat kegelapan telah benar-benar bersekutu membobol matanya, Borges pun hanya pasrah. Yang bisa dilakukannya adalah mengingat atau membayangkan sekuat-kuatnya beragam kisah yang telah diserapnya saat hidup di tanah terang sekaligus membangun kembali seisi Perpustakaan Nasional Buenos Aires dalam pikirannya.
Dalam satu putaran hidupnya, Borges menjalani dua kehidupan yang saling membelakangi, tetapi justru menentukan corak kerja kepenulisannya. Pada paruh pertama hidupnya di tanah terang, ia leluasa menulis dan membaca dalam senyap. Sementara paruh kedua hidupnya dalam wuwung gelap, ia menyerap banyak kisah dan mendiktekan seluruh data yang sudah diolahnya dengan fantastik dalam imajinasinya lewat bantuan mata-mulut orang lain.
Di fase tanah gelap itu, persepsi Borges tentang ruang dan waktu menjadi berbeda sama sekali dengan persepsi kebanyakan sejarawan dalam membaca kenyataan. Borges dengan sangat meyakinkan bisa menyusun serakan kenyataan menjadi kenyataan baru yang kuat; sekalipun itu dihimpunnya dari bahan-bahan yang dipulungnya dari tong imajinasinya.
Memulung kebenaran
Bagi sejarawan, kebenaran sejarah tersusun dari penggalan peristiwa yang datanya bisa diverifikasi dengan metode yang disepakati bersama. Fiksi Borges bekerja sebaliknya. Yang justru diperdebatkan bukan dari mana muasal kepingan peristiwa itu, seimajiner apa pun itu, melainkan bagaimana rentetan keping- keping itu tercipta dan terjaring satu dan lainnya dalam sebuah plot. Dari plot itu lalu muncul kebenaran.
Metode kerja itulah yang melingkupi fiksi-fiksi Borges yang kemudian melambungkan namanya setara dengan deretan sastrawan kawakan yang pernah dilahirkan dunia. Saking keras kepalanya Borges dengan keyakinan fiksinya itu, ia pun merancang kerja raksasa: menyusun semacam ensiklopedia fiksi dunia. Jika ensiklopedia susunan para sejarawan berisi serpihan fakta yang benar-benar terjadi, Borges sebaliknya menyusun fakta-fakta dalam fiksi: nama tokoh-tokoh fiksi yang pernah dituliskan, tempat-tempat imajiner di mana para tokoh fiksi itu bertarung dengan nasibnya, dan sebagainya.
Yang lebih mencengangkan lagi, Borges terpilih sebagai Kepala Perpustakaan Nasional Argentina pada tahun 1955, sesaat setelah kudeta rezim diktator Jenderal Peron. Inilah kerja yang diimpi-impikan Borges yang ironisnya justru datang saat matanya buta.
Penunjukan Borges itu mula-mula datang dari Victoria Ocampo, editor terkemuka majalah Sun yang juga sahabat karibnya bertahun-tahun. Awalnya ia mengira bahwa penunjukan seorang lelaki buta sebagai pustakawan ini hanyalah persekongkolan main-main dan penuh olok- olok. Namun, ia kemudian menanggapi serius penunjukan itu lantaran Borges ingat bahwa dua sosok yang pernah memimpin Perpustakaan Nasional itu sebelumnya, Jose Marmol dan Paul Groussac, juga buta.
Artinya, telah bertahun-tahun lamanya, masyarakat pengetahuan Argentina memercayakan perpustakaannya dijagai pustakawan buta. Karena itu, dalam upacara pelantikannya, Borges dengan sangat bagus, serius, getir, dan sekaligus ironi membacakan satu pasase puisinya: ”I speak of God’s splendid irony in granting me at one time 800,000 books and darkness.”
Hubungan buku dan gelap memang ibarat perseteruan abadi antara kertas dan air. Namun, dalam diri Borges justru dua antinomi itu berdiri berdampingan yang merupakan maujud dari- meminjam kata-kata Borges sendiri-ironi terindah dari Ilahi.
Sindiran Balzac
Masyarakat perbukuan Argentina memang tak salah memercayakan lelaki buta itu sebagai pustakawan mereka; seorang kutu buku yang memercayakan sepenuh-penuh imajinasinya sebagai kompas utama untuk menulis dan memimpin perpustakaan yang dihuni 800.000 judul buku selama 18 tahun lamanya. Sebab, setahun setelah ditunjuk sebagai kepala perpustakaan, ia menerima dua anugerah sekaligus: dewan pakar sastra Inggris dan Amerika di Universitas Buenos Aires serta National Prize bidang sastra.
Kisah perpustakaan, buku, dan imajinasi Borges di atas seperti mendamprat sindiran penyair Balzac dalam Le cabinet des antiques yang mengatakan betapa mudah mengangan- angankan sebuah buku. Yang sulit adalah menjadikannya tercetak di atas helai-helai kertas. Bagi Borges, tak ada kerja yang lebih mengasyikkan selain membayangkan plot sebuah novel. Kalau kemudian orang menuliskannya, itu tak lain hanya usaha melebih-lebihkan saja.
Dan semua ”usaha melebih- lebihkan” itu dilakukan Borges di ruang Perpustakaan Nasional, baik saat menjabat sebagai kepala perpustakaan maupun setelah pensiun.
Membaca kisah Borges dalam perpustakaan itu adalah membaca bagaimana kerja didaktik seorang intelektual cum pustakawan asketik dalam sebuah ganisa yang dihuni ratusan ribu buku yang sepenuh-penuh dipercayakan masyarakat kepadanya untuk menjaganya.
* Muhidin M Dahlan, Kerani di Indonesia Buku, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Januari 2009
No comments:
Post a Comment