Friday, February 20, 2009

Sosok: "Jolali" Dokumentasi Situs Majapahit

-- Ingki Rinaldi

PENINGGALAN Kerajaan Majapahit makin terancam. Sisa kerajaan besar di Nusantara itu kian rusak karena ulah masyarakat dan pemerintah. Di tengah pusaran itu, Akhmad Mukhsinun alias Paidi Jolali tak henti mendokumentasikan setiap jengkal situs kerajaan ini. Ia ingin ”menyelamatkan” warisan sejarah itu.

Ia tak lelah mendokumentasikan proses kerusakan situs Kerajaan Majapahit di wilayah Kabupaten Mojokerto dan Jombang, Jawa Timur. Empat tahun terakhir ini, Paidi—panggilannya—masuk keluar desa di sejumlah kecamatan untuk memfilmkan proses terjadinya kerusakan situs sejarah itu, terutama akibat tuntutan ekonomi masyarakat pembuat batu bata.

Dalam kurun itu, tak kurang 26 kaset video masing-masing berdurasi satu jam berisi keadaan situs Majapahit telah dibuatnya. Salah satu hasil rekaman Paidi berupa perusakan struktur batu bata kuno oleh warga di lokasi pembuatan batu bata pada pertengahan Januari 2009.

Nama Paidi nyaris luput dari sorotan kasus perusakan situs Majapahit akibat pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) oleh pemerintah meski dialah satu-satunya orang yang mendokumentasikan kerusakan situs Majapahit secara menyeluruh, tak hanya di kawasan PIM.

Dalam banyak karyanya empat tahun lalu, tampak sejumlah situs peninggalan Majapahit berupa struktur batu bata kuno atau gapura kuno yang relatif utuh. Namun, pada lokasi yang sama dengan pengambilan gambar tahun ini, terlihat jelas kerusakan situs itu.

Adalah Ketua Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta Anam Anis yang pertama kali menugasi Paidi untuk mendokumentasikan batas-batas visual Kerajaan Majapahit, Februari 2005. Ia langsung merekam dua yoni di Kecamatan Sumobito dan Mojowarno, Kabupaten Jombang, serta dua yoni lain di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, dan Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.

Saat itu Gotrah membutuhkan bukti visual penegasan batas wilayah bekas Kerajaan Majapahit agar klaim sebagai daerah cagar budaya bisa dilakukan. Meski tugas telah selesai, Paidi justru makin tertarik mendokumentasikan kerusakan situs Majapahit.

”Saya hanya ingin ada dokumentasi bekas Kerajaan Majapahit, khawatir juga jika nanti hilang. Kalau ada dokumentasinya, kita bisa tunjukkan di sini pernah ada bekas bangunan kerajaan, bukan hanya katanya,” ujar Paidi yang memakai nama belakang ”Jolali” untuk mengingatkan orang agar ”jangan lupa” (bahasa Jawa: ojo lali) pada sejarah.

Jangan didekati

Kata Paidi, kerusakan situs tak melulu karena ulah masyarakat pembuat batu bata. Sebagian besar temuan oleh masyarakat pasti dilaporkan lebih dulu kepada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim sekalipun mereka lalu kecewa karena laporan itu tak kunjung ditangani lebih lanjut.

Temuan berupa struktur batu bata kuno, pintu gerbang, candi kuno, sumur kuno, hingga batu-batu besar nyaris selalu dilaporkan kepada pemerintah. Lalu dilakukanlah pengukuran, pemotretan, pencatatan oleh pegawai pemerintah sambil mewanti-wanti warga agar wilayah temuan itu jangan didekati, digarap, apalagi digali.

Hanya pesan itu yang diterima warga. Temuan bersejarahnya ditinggalkan begitu saja. Tak ada tindakan konkret terhadap temuan, apalagi pada masyarakat sekitarnya. Kalaupun ada kompensasi bagi masyarakat, jumlahnya relatif kecil. Padahal, warga tetap butuh makan.

Akibatnya, upaya pembuatan batu bata, misalnya, terus mengancam situs ini karena tidak ada solusi yang diberikan pemerintah bagi mereka. Paidi menyebutkan, selama ini yang terjadi adalah upaya pembiaran perusakan situs oleh pemerintah karena nyaris tak ada usaha konservasi apa pun yang dilakukan terkait temuan situs sejarah oleh masyarakat.

Berkeliling sendirian

Bermodalkan satu unit kamera video digital merek Panasonic MD 10000, satu unit hard disk eksternal merek Maxtor berkapasitas 120 gigabyte, dan sepeda motor Suzuki RC 100, nyaris setiap hari Paidi berkeliling ke seluruh penjuru batas wilayah bekas Kerajaan Majapahit.

”Kamera itu baru saya dapatkan satu setengah bulan lalu dari Mas Ipung (Saifullah Barnawi, anggota Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta). (Sepeda) motor juga baru saya miliki tahun 2007 saat menggarap proyek desa percontohan Hess (perusahaan gas dan minyak Amerada Hess) di Ujungpangkah, Gresik,” cerita Paidi yang sempat dimusuhi warga pembuat batu bata.

Tahun-tahun sebelumnya Paidi mesti berjibaku di lapangan dengan sejumlah kamera video pinjaman. Untuk proses editing, ia menumpang kepada sejumlah kenalannya. Dana operasional dia ambil dari pendapatannya sebagai seorang juru kamera untuk acara pernikahan atau pesanan tak tentu sebagai penggarap dokumentasi audio visual.

Selama bertahun-tahun itu pula Paidi berkali-kali mengajak sejumlah kawannya menelusuri jejak peninggalan Majapahit. Namun, tidak ada seorang pun kawan yang tahan bersama dia berlama-lama di lapangan.

”Ada teman yang suka mengajak pulang, ada yang suka nongkrong di warung. Mereka bilang, protolan boto, kok, diurusi (pecahan batu bata, kok, diurusi),” kata Paidi menirukan sejumlah rekan yang sempat dia ajak berkeliling dari desa ke desa untuk merekam situs bersejarah.

Oleh karena itulah Paidi lalu memutuskan tetap berkeliling dari desa ke desa meski ia harus menjalaninya sendirian.

Bicara tentang kemampuannya mengambil gambar dan mengedit dengan sejumlah software penyunting video visual, Paidi memperolehnya secara otodidak.

”Saya pertama kali ikut usaha sablon punya Umar Muzaki di Mojokerto pada 1995. Dia saya anggap sebagai guru,” kata Paidi.

Sejak itulah pria yang tak menamatkan pendidikan menengah atasnya ini kemudian merambah dunia audio visual dan olah digital. Berbagai aplikasi pengolah gambar diam dan bergerak, seperti Adobe Photoshop, CorelDraw, dan Adobe Premiere, lantas dia pelajari dan perlahan berhasil dikuasainya.

Soal pendidikan formal yang hanya sampai tingkat SMP, Paidi mengaku tak menyesal. ”Sekolah hanya mengajarkan kepada kita bagaimana cara berpikir rasional dan mengenal dunia luar,” kata Paidi yang lebih banyak belajar soal kehidupan saat bergabung dengan kelompok pecinta alam Driwala Mojokerto yang berdiri sejak 1983.

Kecintaannya pada pendakian gunung itu pula yang membuat sekolah Paidi kemudian berakhir dengan putus di tengah jalan.

Selain mendaki gunung, hari-hari Paidi terus dilalui dengan usaha mendokumentasikan sebanyak mungkin peninggalan Majapahit yang terserak di wilayah Mojokerto dan Jombang.

Bagi Paidi, menyelamatkan situs sejarah adalah hal penting yang harus dilakukan. Dia tak lagi peduli apakah pemerintah memberi prioritas atau tidak kepada situs sejarah tersebut.

Sumber: Kompas, Jumat, 20 Februari 2009

No comments: