Sunday, February 01, 2009

Memelihara Identitas Daerah

-- Theresia Purbandini

KETIKA Bahasa Indonesia dijunjung tinggi, bahasa daerah seakan terdesak oleh bayang-bayang Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Namun meski tak banyak, dengan bermunculannya sastrawan-sastrawan daerah yang masih berkarya hingga kini, menjadi bukti kekuatan kesusastraan etnik dari posisinya yang marjinal.

Di lihat dari peta sastra Indonesia, sastra Sunda diakui dosen dan kritikus sastra Maman S Mahayana, justru berkembang sebelum kelahiran Balai Pustaka. Bahkan novel pertama yang terbit melalui Balai Pustaka, merupakan novel karya sastrawan Sunda bernama DK Ardiwinata, berjudul Baruang Ka Nu Ngarora, yang menceritakan tentang konflik birokrat pemerintahan dengan ningrat pada 1914. Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang dianggap novel berbahasa Melayu pertama yang diterbitkan Balai Pustaka, baru terbit pada 1920.

Selama enam tahun (1911-1916), Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) yang didirikan pada 1908 menerima 598 naskah berbahasa Jawa, 204 berbahasa Sunda, dan 96 berbahasa Melayu. Gencarnya para pengarang mengirimkan naskah ke lembaga itu memaksa Pemerintah Belanda mengganti nama menjadi Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Balai Pustaka (1917).

Diceritakan lebih lanjut oleh Maman, meski telah berubah nama menjadi Balai Pustaka dan membakukan bahasa Melayu, penggiat sastrawan Sunda tak kehilangan semangat untuk tetap meluapkan ekspresinya melalui penerbit-penerbit kecil.

Terbitnya beberapa surat kabar dan majalah berbahasa Sunda, seperti mingguan Sora Pasoendan (1914-1918), bulanan Papaes Nonoman (1914-1919), surat kabar Sipatahoenan (1923-1971), mingguan Sora Soenda (1923), Parahiangan (1929-1942), Sora Ra’jat Merdeka (1931-1932) yang memuat karya sastra Sunda, termasuk cerita bersambung (feuilleton) menunjukkan bahwa sastra Sunda telah berkembang baik. Bahkan diimbuhkan Maman, mengingat pentingnya peranan mingguan Parahiangan dalam melahirkan sastrawan Sunda, MA Salmoen menyebutkan adanya Angkatan Parahiangan dalam kesusastraan Sunda.

Sastra Sunda dan Balai Pustaka

Maman juga membandingkan pada rentang waktu 1914 hingga 1942, Balai Pustaka hanya menerbitkan sekitar 50-an novel Melayu, sedangkan novel Sunda yang terbit dalam kurun waktu yang sama hingga mencapai 40-an buah. “Ini berarti secara kuantitas penerbitan novel berbahasa Sunda hampir mendekati penerbitan novel Balai Pustaka,” ungkap pengamat yang kini tercatat sebagai kandidat doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia itu.

Setelah merdeka sastra Sunda justru makin terdegradasi di bawah bayang-bayang bahasa Indonesia. Dinilai oleh Maman secara kualitatif, karya sastra anak Pasundan tidak kalah dengan kesusastraan yang ditulis dalam bentuk bahasa Indonesia, bahkan sastra etnik jauh lebih kuat nuansa maknanya. “Dalam bahasa Sunda banyak artikulasi yang tak bisa demikian sama maknanya bilamana diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti ‘brebet’ (yang mendekati arti ‘segera’) menjadi kurang mengena maknanya bila sudah di bahasa Indonesiakan,” ujar lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) tahun 1986 ini.

Kekuatan khas sastra Sunda juga dilihat oleh Wayan Sunarta, sastrawan asal Bali, terletak pada bahasa yang dengan leluasa diekspresikan tanpa memperhitungkan tata krama, sehingga rasanya lebih beragam dengan tidak hanya mengandalkan isinya. Hal ini disepakati Maman yang merasakan kekuatan rasa bahasa yang melekat lebih sempurna dengan pengecapan yang tak memiliki makna leksikal, namun tetap memberi bobot semantik.

Meski berjarak dalam keseharian, diibaratkan oleh Maman, ada kalanya kebudayaan etnik memiliki kelebihan ekspresif tertentu dibandingkan sastra berbahasa Indonesia. Kemunculan majalah Mangle yang hingga kini masih mempertahankan eksistensinya, dianggap Maman sebagai bentuk langsung sumbangan masyarakat Pasundan.

Maman juga mengatakan sastrawan Sunda tak hanya piawai mengangkat tema seputar dunia gaib. Novelis Achmad Bakri yang banyak menulis tentang kehidupan sosial juga disebut sebagai Bapak Realis Sunda, juga ada Tatang Sumarsono yang pernah mengedepankan tema reformasi yang terus mengikuti perkembangan zaman.

Rancage Memotivasi

Selain itu, penghargaan Rancage yang diprakarsai Ajip Rosidi memberikan motivasi bagi regenerasi sastrawan-sastrawan daerah yang dinilai Maman berpotensi seperti Tatang Sumarsono, Lilies Rosana, Joseph Iskandar, Ettie RS dalam membangun muatan ekpresinya secara etnik.

Yang masih jadi persoalan adalah: minimnya perhatian pemerintah terhadap dunia sastra umumnya, seakan makin menghimpit dunia sastra daerah yang memang terlanjur diposisikan sekunder. Apresiasi terhadap sastra etnik yang makin memprihatinkan dari generasi muda, mengancam punahnya salah satu identitas daerah tersebut.

Sastra Sunda sebagai salah satu sastra etnik dari sekian banyak sastra daerah warisan leluhur di Indonesia, seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam kaitan pembinaan dan pengembangan sastra sebagai badan pembentuk atau pemelihara nilai-nilai kebudayaan di masyarakat.

Hal ini juga diutarakan Wayan yang merasakan kurang maksimal perhatian pemerintah provinsi Bali dalam memfasilitasi sastrawan Bali yang kebanyakan menerbitkan buku melalui penerbit independen. “Pemerintah sebenarnya cukup membantu melalui proyek-proyek penerbitan seperti yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Bali. Namun kemasannya atau perwajahannya sangat jauh dari menarik, masih kaku dan kurang greget. Hal ini pula yang jadi sebab buku-buku tersebut kurang menarik perhatian khalayak luas.”

Menurut Maman, pemerintah layak memfasilitasi masyarakat agar tetap membaca karya sastra. “Sastra daerah khususnya, berisikan muatan lokal, yang justru bisa disosialisasikan lagi lewat penerapan kurikulum pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi. Sastra menjadi aplikatif dan apresiatif.”

Pada prakteknya, perjalanan khasanah kesusastraan Sunda khususnya kini mengalami pengikisan. Bahkan diungkapkan Maman, menjadi persoalan juga di mana pelajaran bahasa Sunda justru hanya pada penerapan linguistik yang tidak memberi pencerahan nilai kehidupan terhadap masyarakat lokalnya. Ini hanya dapat diberikan oleh sastra. Karena itu dibutuhkan peran pemerintah untuk mendistribusikan karya-karya sastra daerah kepada pelajar, mahasiswa, maupun penggiat dan peminat sastra daerah melalui penerbit-penerbit yang lebih besar.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 1 Februari 2009

No comments: