Sunday, February 01, 2009

PLev Nikolaevich Tolstoy

-- Khoirul Rosyadi

MOSKOW, akhir Desember 2008. Salju menyergap kota. Cuaca bergerak di angka -10 derajat; dingin, putih, indah, sekaligus romantis. Di jantung kota, Jalan Ilva Tostowo, di atas tanah seluas kurang lebih tiga hektare, berdiri rumah kayu yang kokoh berwarna cokelat; begitu tua, sarat sejarah, dan kenangan. Di sanalah Lev Nikolaevich Tolstoy, pemikir, penulis besar yang pernah dimiliki Rusia tinggal bersama istri dan ke-13 anaknya.

Memasuki rumah itu adalah memasuki museum kenangan yang mengagungkan; rapi, dialogis, dan penuh dengan mimpi orang tua tentang masa depan anak-anaknya. Rumah Tolstoy adalah rumah yang penuh dengan artistik ruang dengan segala peran; tempat berteduh, berbincang, berkarya sekaligus membesarkan dan mewujudkan harapan-harapan akan masa mendatang. Dari rumah itu pula ketiga karya fenomenalnya terlahir; Perang dan Dunia, Anna Karenina, dan Hari Minggu. Melangkahkan kaki ke rumah itu, serasa Tolstoy hadir di depan pintu dan menyapa; ‘’Selamat datang kawan, selamat datang di rumah kami, nikmati apa yang ada.’’

Aristokrat di Jalan Sunyi

Lahir di Kazan, daerah selatan Rusia, tahun 1828, Lev Nikolaevich Tolstoy hadir ke bumi saat rezim Tsar berkuasa Nikolai II. Terlahir dari orang tua kaya dan tuan tanah, Tolstoy akan menjalani hidup melanjutkan kemapanan orang tuanya; aristokrat, pemilik beribu tanah dan pekerja (baca: petani). Namun, di usianya yang masih terlalu kecil, kurang dari 10 tahun, ia sudah ditinggalkan ibunya untuk selamanya. Tolstoy tidak bisa memahami mengapa ibu yang dicintainya mati begitu cepat. Saat itu ia masih kecil untuk bisa mengerti mengapa orang yang melahirkannya terlalu dini pergi dan tidak pernah kembali.

Tapi, waktu terus berjalan, Tolstoy tidak bisa terus meratapi akan kepergian sang bunda. Ibunya boleh meninggalkan dia selamanya, tapi masa depan hidupnya terus berlanjut. Tolstoy tidak bisa terus bertanya, mengapa ibunya mati saat dirinya belum cukup mengerti akan arti hidup dan mati. Dan, Tolstoy memutuskan ia harus bisa berlanjut dengan hidupnya meski tanpa ibu.

Maka, saat ia menginjak remaja, Tolstoy menggantungkan masa depannya lewat pendidikan. Dengan kekayaan yang dimiliki orang tuanya, Tolstoy memutuskan kuliah di universitas tempat kota yang melahirkannya, Kazan. Di kampus, awalnya, Tolstoy memilih belajar di departemen dan fakultas filosofi. Setelah menyelesaikan studi filsafatnya, Tolstoy meneruskan ke fakultas yuridiceskom (fakultas hukum).

Sesudah menyelesaikan proses pendidikan formalnya, Tolstoy memutuskan tidak bekerja di St. Piterburg, kota harapan saat itu. Ia memilih menjadi tuan tanah, melanjutkan kearistokratan orang tuanya. Ia kembali dan tinggal di desa orang tuanya di mana beribu hektare serta 330 petani sudah menunggunya. Di desa orang tuanya, Yasnaya Poliyana, Tolstoy menggarap dan memperkejakan ratusan petani.

Namun, pada akhirnya, Tolstoy memilih meninggalkan dunia tuan tanah yang penuh gemerlap harta benda dan membubarkan para petaninya. Ia memilih jalan sunyi yang jauh dari hiruk-pikuk duniawi. Tolstoy memilih jalan kepenulisan, jalan yang jauh dari tepuk tangan dan sanjungan. Jalan yang jauh dari kemegahan dan kemapanan.

Maka, Tolstoy pun memutuskan pergi meninggalkan desanya menuju kota harapan baru, Rusia. Di sana, pada 1881, ia membeli tanah berukuran kurang lebih tiga hektare. Di atas tanah itu, Tolstoy mendirikan rumah dengan bangunan kayu bertingkat dua. Rumah dengan segala harapan; keluarga besar dengan segudang mimpi, dan tempat lahirnya karya-karya besarnya.

Rumah Penuh Inspirasi

‘’Aku akan bahagia, jika engkau bagus dalam pendidikanmu,” seru Tolstoy terdengar samar dalam rekaman yang selalu diputar setiap ada tamu yang berkunjung ke rumah tuanya. Suara dengan Bahasa Rusia itu merupakan petuah sekaligus harapan Tolstoy terhadap anak-anaknya. Harapan tentang peradaban yang dibangun di atas dunia pendidikan.

Bagi Tolstoy, pendidikan anak adalah segalanya. Karena Tolstoy percaya bahwa pendidikan mampu mengubah dunia; menciptakan kebudayaan, mengukir sejarah, merekayasa dunia menjadi lebih adil dan manusiawi. Karena memang pendidikan memiliki segala hal untuk melakukan perubahan; konsep, gagasan, sistematika, dan kekuatan.

Untuk menciptakan pendidikan yang baik bagi anak-anak, Tolstoy berkeyakinan harus diawali dari lingkungan keluarga. Keluarga adalah institusi terkecil di mana seorang anak bisa memulai membangun mimpi-mimpi dan imajinanasinya. Keluarga yang kering hanya akan menciptakan ketumpulan imajinasi anak; ia hanya melahirkan anak yang gampang panik dan generasi penakut.

Karena itu, bagi Tolstoy, keluarga harus mampu menciptakan pendidikan yang baik bagi anak-anak yang hidup di dalamnya; ada ruang dialog, ada ruang kreatif, ada waktu bermimpi, dan imajinasi konstruktif yang harus terus dipelihara sampai mereka mampu memilih akan peradabannya sendiri.

Itulah kenapa di rumah tua Tolstoy begitu banyak ruang untuk ke-13 anaknya. Semua anaknya oleh Tolstoy diberi ruang sendiri untuk beristirahat dan beraktivitas. Tolstoy yakin anak juga harus memiliki ruang privasinya di mana orang lain, termasuk orang tuanya, tidak bisa menyentuhnya.

Tapi di balik ruang privasi itu, anak harus memiliki ruang dialog dengan yang lain. Ruang apresiasi untuk ekspresi eksistensi sosialnya; dengan orang di luar dirinya. Dalam konteks itulah, rumah besar Tolstoy menyediakan ruang belajar untuk ke-13 anaknya. Ruang yang juga tempat bermain itu berada di lantai satu; begitu luas, satu meja belajar besar, dan seperangkat permainan masih tersimpan rapi di sana.

Di samping ruang belajar, ruang sosial di rumah Tolstoy adalah ruang tamu dan ruang stalovaya (ruang makan besar). Di ruang tamu terhampar meja besar dengan landasan karpet merah. Di ruang lantai dua itu Tolstoy biasa menerima tamu dan memperkenalkan ke-13 anaknya kepada setiap tamu yang datang. Perjumpaan anak dengan ‘’orang lain’’ adalah pertemuan sosial di mana anak diharapkan belajar dan memahami bahwa di luar diri dan keluarganya terdapat orang lain yang juga memiliki makna penting.

Sedangkan stalovoya bagi Tolstoy adalah tempat makan sekaligus dialog terbuka bagi dia dan semua anaknya. Tolstoy berkeyakinan bahwa makan bukan saja persoalan aktivitas pemenuhan terhadap kebutuhan lapar. Tapi makan juga bisa jadi sarana untuk berkomunikasi yang akrab untuk lebih saling mengenal kepribadian masing-masing anaknya.

Begitulah Tolstoy dalam memaknai rumah sebagai pendidikan awal bagi anak-anaknya. Rumah Tolstoy adalah rumah yang penuh inspirasi dalam berkarya dan membangun peradaban. Dari rumah tuanya Tolstoy telah dikenal dunia lewat ketiga karyanya. Dari rumah tuanya Tols\toy mengantarkan ke-13 anaknya mengukir dunia. Dari rumah tuanya Tolstoy telah menjadi inspirasi bagi peradaban dunia. Lantas, mampukah kita menjadikan rumah sebagai inspirasi bagi hidup dan mimpi anak-anak kita? (*)

* Khoirul Rosyadi, Mahasiswa S-3 RUDN Moskow, Rusia, dan dosen Sosiologi Universitas Negeri Trunojoyo Madura

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 25 Januari 2009

No comments: