Sunday, February 08, 2009

Masriyah Amva, Pesantren, dan Sastra

Jakarta-“Sejak kecil orang pesantren sudah dekat sekali dengan puisi, nazam. Orang menghafal nama-nama nabi atau nama-nama Allah dengan nazam sehingga otomatis akan mudah dihafal. Di pesantren, orang belajar kitab, bahkan gramatikal bahasa Arab juga dengan rumus-rumus sastrawi. Mengapa? Karena pesantren (sejak-red) zaman dahulu tidak boleh mengabaikan keindahan,” ujar Masriyah Amva di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Rabu (4/2).

Kalimat itu menjadi pembuka yang menantang untuk diantarkan ke dalam sebuah diskusi tentang latar karya sastra dapat tumbuh subur di pesantren. Secara tidak langsung, Amva telah membicarakan dirinya sendiri atau mungkin rekan-rekannya, seperti KH Mustofa Bisri, Emha Ainun Najib, Zainal Arifin Toha, Ahmad Tohari, Abidah El-Khaeliqy, sampai yang terbaru adalah pengarang yang karyanya didiskusikan hari itu, Masriyah Amva.

Masriyah Amva, pemimpin pesantren tradisional bernama Kebon Jambu Cirebon, adalah “sesuatu” yang baru dalam dunia sastra pesantren (sastra yang dilahirkan di lingkungan pesantren). Ia seorang Nyai (sebutan untuk perempuan pimpinan pesantren tradisional) yang berani berkata cinta dalam puisi-puisinya. Sejak tahun 2007, perempuan kelahiran Cirebon, 13 Oktober 1961, ini telah menerbitkan tiga buku kumpulan puisi, Ketika Aku Gila Cinta (2007), Setumpuk Surat Cinta (2008), dan Ingin Dimabuk Asmara (2009), prosa Cara Mudah Menggapai Impian (2008), serta satu lagi yang akan diterbitkan Mizan berjudul Si Miskin Pergi ke Baitullah. “Itu yang membuat Masriyah perlu dikedepankan. Orang pesantren menulis puisi bertema cinta dan dia berasal dari keluarga sufi yang tidak berpolitik, agak aneh,” kata Ahmad Syubbanuddin Alwy, Ketua Dewan Kesenian Cirebon.

Karya-karyanya hanyalah ungkapan hati, bukan karya yang ia niatkan untuk diterbitkan. Ketika ia jatuh cinta kepada seseorang yang menurutnya sangat tidak mungkin untuk ia cintai, ia harus bersembunyi karena cinta bagi orang di lingkungan pesantren sama tabunya dengan seks. Jika ia bercerita pada seseorang, hanya cibiran yang didapatnya.

“Jangan mengotori kehormatanmu, jangan sampai nama baikmu rusak, jangan buat orang-orang tidak percaya lagi pada pesantren,” begitu Masriyah menirukan kata-kata orang yang mendengar ceritanya. Maka, isi hati itu pun hanya ia ceritakan pada helaian kertas yang kemudian ia remas, lalu ia lemparkan ke tong sampah.

Karya-karya Masriyah, sejauh pengamatan sastrawan Taufiq Ismail, memang tidak jauh dari kepolosan pengarangnya. “Penulisnya sangat polos, tidak macam-macam, tidak berfilsafat, dan tentu saja religius,” katanya.

Estetika Pesantren

Karya sastra pesantren memiliki estetikanya sendiri. Namun, ketika berbicara Tuhan, entah itu karya yang lahir di pesantren atau di luar pesantren, punya esensi yang sama. Apa beda “Doa” Chairil Anwar, seorang sastrawan angkatan ‘45 yang hidupnya dekat dengan dunia hitam Ibu Kota, “Tuhanku, dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu. Biar susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh...” dengan “Titik-titik Hujan” karya Gus Mus, seorang sastrawan yang begitu dekat dengan keislaman, “Tuhan, selimutilah aku, dengan rahmat-Mu...”?

Menurut Zawawi Imron, estika cinta terhadap Tuhan antara sastrawan yang besar di pesantren atau yang di luar pesantren pada akhirnya akan sama. “Kalau estetika pesantren itu mau ditampilkan, akan sulit dibedakan ketika masuk ke dalam ranah religius. Cinta mereka terhadap Tuhan sama saja. Pesantren itu hanya salah satu cabang pendidikan Islam,” katanya.

Jadi, bukan suatu hal yang perlu dipermasalahkan jika seorang Nyai, seperti Masriyah Amva, mengungkapkan cintanya pada puisi meskipun masih terlihat ia agak sedikit malu untuk berterus terang tentang cinta itu. Masriyah terlihat mengalihkan cinta terhadap laki-laki yang mengilhaminya itu kepada Tuhan, “Tuhan, aku sangat mencintainya, tapi bukan cintanya yang kudamba...” (“Cinta yang Ku Damba” dalam Ketika Aku Gila Cinta).

Masriyah Amva memang tidak seberani Ahmad Tohari, yang meskipun besar di lingkungan pesantren dan dikenal sebagai sastrawan pesantren, ketika novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya dipublikasikan. Ahmad Tohari lantang bercerita tentang nilai seorang perawan dan kehidupan seksual sebagai bagian dari potret suram kehidupan masyarakat di pedalaman Jawa Tengah.
Masriyah kemudian kembali ke dunia pesantrennya dalam Cara Mudah Menggapai Impian. Ia mulai meninggalkan cintanya terhadap manusia seperti yang lalu. “Ini tidak berfokus pada keindahan bahasa, tapi pada makna, tentang seseorang yang ingin mendapatkan cinta dari Tuhan. Dengan cinta dari Tuhan, kita akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki,” kata Masriyah. (mila novita)

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 7 Februari 2009

1 comment:

Bahtiar Baihaqi said...

Lam kenal Bos. Pada kopi-postingan ini, ada kesalahan dari wartawan SH tuh. Itu kutipan pembuka bukan omongan Amva, tapi D. Zawawi Imron. Kebetulan aku ikut hadir di acara itu. Aku jg bikin postingan soal Nyi Masriyah ini di wordpress-ku:
http://awamologi.wordpress.com/2009/02/09/kepasrahan-amva-berbuah-produktivitas-karya/