-- Grathia Pitaloka
Nasib sastra daerah semakin kritis. Yayasan Rancage memulai pemeliharaannya melalui sastra Sunda.
BILA tidak membaca potongan cerita dari kertas pembungkus terasi, mungkin Holisoh tidak akan menjadi penulis seperti sekarang. Mungkin terdengar kurang romantis, tetapi kertas pembungkus terasi itulah yang menjadi titik mula perjalanan karier kepenulisan Holisoh.
Dalam kancah dunia sastra, nama Holisoh mungkin tidak setenar Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu. Tetapi dari tangan dinginnya telah lahir ratusan karya sastra berbahasa Sunda. Roman Kembang-kembang Petingan (Kembang-kembang Pilihan) merupakan salah satu karya Holisoh yang berhasil memenangkan Hadiah Sastra Lembaga Basa Jeung Sastera Sunda (LBSS) tahun 2000.
Kondisi sastra berbahasa Sunda atau bahasa daerah lainnya memang sedang berada dalam kondisi memprihatinkan. Pepatah "hidup segan mati tak mau" terasa tepat untuk menggambarkannya. "Sastra daerah saat ini berada dalam kondisi kritis," kata penyair Sapardi Djoko Damono kepada Jurnal Nasional, Selasa (28/1).
Membaca fenomena itu budayawan Ajip Rosidi merasa tergerak. Maka pada tahun 1989 lelaki yang lama menetap di Negeri Sakura ini pun memprakarsai berdirinya Yayasan Rancage. "Sastra daerah mempunyai hak hidup yang sama besar dengan sastra nasional," kata Ajip ketika dihubungi melalui telepon genggamnya.
Yayasan Rancage memberikan hadiah untuk para sastrawan yang menulis menggunakan bahasa ibu. Pada tahun-tahun pertama Yayasan Rancage hanya memberikan penghargaan untuk sastrawan yang menulis dengan bahasa Sunda, namun sejak tahun 1994 mereka mulai merangkul sastrawan yang menulis dengan bahasa Jawa.
Tiga tahun kemudian Yayasan Rancage semakin melebarkan sayapnya dengan memberikan hadiah pada sastrawan yang menulis dengan bahasa Bali. Pada tahun 2006 Yayasan Rancage juga menerima kiriman karya berbahasa Lampung.
Tetapi karena karya tersebut dibuat tahun 2002 sehingga tidak dapat dimasukkan dalam nominasi penerima hadiah Rancage. Faktor lain yang mendasari lebih pada masalah teknis yakni dana. "Namun ke depannya kami tetap berencana untuk memberikan hadiah kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Lampung," kata Ajip.
Selama dua puluh tahun berproses, Yayasan Rancage juga melakukan berapa perubahan terkait kriteria penerima hadiah. Jika pada tahun pertama hadiah diberikan kepada sasterawan yang menerbitkan buku unggulan, namun sejak tahun kedua hadiah juga diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap besar jasanya dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibu.
Maka tiap tahun ada enam enam hadiah yang diberikan Yayasan Rancage kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Bali, Jawa, dan Sunda. Beberapa kali yayasan ini juga memberikan hadiah "Samsudi" buat pengarang yang menerbitkan buku bacaan anak-anak unggulan dalam bahasa Sunda.
Selama dua dasawarsa berusaha mengobarkan suluh api sastra daerah tentu banyak kerikil-kerikil tajam yang harus dilalui oleh Yayasan Rancage. Sama seperti penggiat kesenian lainnya Yayasan Rancage juga tersandung oleh masalah klasik yaitu pendanaan.
Tetapi untungnya masih banyak orang-orang yang menaruh perhatian terhadap kelangsungan hidup sastra daerah. Dari merekalah terkumpul sedikit demi sedikit dana untuk mensponsori pemberian hadiah Rancage. "Sastra daerah merupakan warisan kekayaan budaya yang harus kita pertahankan keberadaannya," kata Ajip.
Pria yang pada usia 15 tahun sudah menjabat menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar ini berpendapat jika keberadaan sastra daerah mendukung bahkan menopang perkembangan sastra nasional.
Ia menuturkan bahwa hal tersebut bisa dilihat pada beberapa karya-karya beberapa sastrawan besar nasional seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan Umar Khayam. "Bagi mereka yang paham, dapat melihat jelas pengaruh sastra daerah pada karya mereka."
Pelestarian Budaya
Kritikus sastra Jakob Soemardjo melihat langkah yang dilakukan Yayasan Rancage merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan keberadaan sastra daerah yang hampir punah. "Banyak yang sudah tidak peduli dengan keberadaan sastra daerah," kata Jakob ketika dihubungi secara terpisah oleh Jurnal Nasional.
Memang saat ini sastra daerah sedang berada pada titik nadir. Bukan hanya karena sedang terbaring sekarat dalam kondisi memprihatinkan, tetapi satu per satu bahasa daerah harus menemui ajalnya karena tidak digunakan lagi.
Padahal pengajar Filsafat Seni di Fakultas Seni Rupa Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung ini menilai keberadaan sastra daerah telah memperkaya sastra nasional. Ia menuturkan, ada beberapa hal yang hanya bisa diungkapkan melalui sastra daerah.
Namun menurut Sapardi, penerima Anugerah Puisi Poetra Malaysia tahun 1996 ini, langkah yang dilakukan oleh Yayasan Rancage belum lengkap. "Mereka baru hanya memberikan hadiah. Menurut saya bentuk pelestarian sastra daerah yang lebih utuh lagi adalah dengan menerbitkan kembali majalah atau buku berbahasa daerah," kata lelaki yang masih terlihat segar di usianya 68 tahun ini.
Sapardi berpendapat, sastra daerah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sastra nasional dan sastra dunia. Hal itu disebabkan saat ini kita tidak bisa melihat sesuatu secara terpisah-pisah.
Namun demikian, penulis kumpulan sajak Hujan di Bulan Juni ini tidak sepakat jika keberadaan sastra daerah dikatakan mendukung perkembangan sastra nasional. "Tidak bisa memperkuat satu jenis satra untuk memperkuat sastra lain. Keduanya memang saling berkaitan tetapi tidak ada hubungan saling menguatkan," kata lulusan Basic Humanities Program, Universitas Hawaii, Amerika Serikat ini.
Keadaan sastra daerah yang berada pada kondisi terpuruk tak bisa dilepaskan dari kenyataan banyaknya bahasa daerah yang mati. Survei yang dilakukan oleh sejumlah pakar di perguruan tinggi menyebutkan, saat ini terdapat sepuluh bahasa daerah yang dinyatakan punah.
Dalam penelitian itu juga didapatkan fakta bahwa ada sekitar 700 bahasa daerah lain yang terancam punah. Potensi kepunahan juga dimiliki oleh bahasa Jawa, Lampung, dan Bali. Tiga bahasa yang tengah mendapat perhatian dari Yayasan Rancage.
Namun demikian, Sapardi melihat kematian bahasa daerah sebagai sesuatu yang wajar. Hal tersebut pernah dialami oleh bahasa Mesir kuno dan bahasa Latin. "Apalagi bahasa Indonesia memang lebih sering digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari," kata mantan dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini.
Lebih lanjut ia menuturkan jika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memengaruhi semakin menghilangkan tapal batas antarnegara sehingga bisa jadi mereka lebih akrab dengan kebudayaan lain di luar Indonesia. "Di satu sisi ini baik supaya mereka tidak menjadi katak dalam tempurung," kata Sapardi.
Langka tapi Perlu
Meski langka, tetapi masih ada satu dua penulis yang mau mengabdikan diri untuk sastra daerah. Mereka sadar wilayah ini tidak menjanjikan materi yang berlimpah atau popularitas yang mengilap.
Beberapa penulis memilih bermain di dua kaki (menulis dalam dahasa daerah dan bahasa Indonesia), beberapa lainnya berkecimpung total dengan hanya menulis dengan bahasa ibu. Mereka berusaha bertahan meski dengan napas terengah.
Ketika diselami lebih lanjut, ternyata menulis dalam bahasa daerah bukan perkara mudah. Yang dibutuhkan bukan hanya penguasaan tema, kosakata, dan struktur bahasa, penulis juga harus menguasai budaya tempat bahasa itu berkembang.
Kemampuan itu diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dalam penempatan kata. Setiap kata bukan cuma dipahami artinya, tapi juga maknanya. Ada beberapa kosakata yang mengalami pergeseran makna seiring dengan perkembangan zaman. Bila tidak berhati-hati ini bisa menjadi sandungan bagi para penulis.
Salah satu rumus jitu untuk menguasainya adalah dengan menggali dari cerita yang sudah ada. Selain memberikan inspirasi, karya-karya lawas dapat memperkaya kosakata karena banyak kata yang tak ditemukan dalam buku terbitan terkini.
Dari segi tema para penulis sastra daerah juga belum terlalu berani melakukan eksperimen dibanding para penulis lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Struktur cerita yang mereka hadirkan juga cenderung linier dengan terpaku pada satu tokoh utama. Selain itu mereka juga belum berani menjamah seting cerita yang jauh dari lingkungannya.
Selain perihal teknik penulisan, penulis sastra daerah juga harus menghadapi rendahnya penghargaan yang diberikan kepada mereka secara materi. Satu cerita pendek dalam bahasa Indonesia bisa dihargai ratusan ribu rupiah untuk sekali terbit di media sementara honor penulis cerita pendek berbahasa daerah hanya Rp45 ribu.
Kerikil lain yang menjadi hambatan adalah minimnya penerbitan. Masyarakat Sunda pernah punya majalah Hanjuang. Lalu ada mingguan Giwangkara, surat kabar Galura, dan majalah Mangle serta penerbit buku Kiblat Buku Utama dan Girimukti Pusaka.
Sementara pencinta sastra Jawa masih punya Penjebar Semangat. Pada 1960-an, Yogyakarta punya surat kabar Kembang Brayan sampai 1971. Setelah itu muncul majalah Djaka Lodang. Dari Solo, lahir mingguan Dharma Nyata dan Parikesit pada awal 1970-an. Di Surabaya, muncul Jaya Baya pada 1980-an, yang tetap bertahan hingga sekarang.
Minimnya sarana dan prasarana yang mau menampung ekspresi para penulis sastra daerah sedikit banyak mengebiri kreativitas mereka. Tetapi tentu keterbatasan itu harus dibaca sebagai tantangan bukan hambatan, sehingga sastra daerah bukan sekadar kertas pembungkus terasi.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 1 Februari 2009
No comments:
Post a Comment