-- Stanley Adi Prasetyo
ADAKAH hal seaneh seperti yang terjadi setiap Kamis Pahing malam Jumat Pon di Gunung Kemukus? Di kawasan bukit yang terletak di Sragen, Jawa Tengah, ini ada ratusan bahkan ribuan orang mencari keberuntungan dengan cara aneh, yaitu berhubungan seks dengan orang yang bukan pasangannya secara sukarela.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Suasana di kawasan ini pada saat-saat itu lebih mirip pasar malam. Kawasan yang pada hari-hari biasa umumnya temaram tiba-tiba menjadi benderang. Ada banyak warung jajanan, ada penjual pernik-pernik, penjual rokok dan kacang rebus hingga orang yang menyewakan bilik atau tikar secara jam-jaman untuk kepentingan short time.
Awalnya legenda
Apa hubungan antara keberuntungan dan syahwat? Awalnya adalah sebuah legenda tentang Oedipus Jawa pada zaman keruntuhan Majapahit akibat menguatnya kerajaan Islam di Jawa Tengah.
Ia seorang pemuda ganteng bernama Pangeran Samodro, putra Raja Brawijaya, penguasa Majapahit. Ia terlibat dalam cinta terlarang dengan ibu tirinya yang juga selir Brawijaya, Nyai Ontrowulan. Meski sudah agak tua, Nyai Ontrowulan masih terlihat sangat menawan.
Mereka berdua memutuskan untuk pergi ke Demak Bintoro guna menikah. Namun, sesampai di tempat tujuan ada banyak duda kaya dan prajurit Demak yang jatuh hati kepada Nyai Ontrowulan. Mereka berupaya menggagalkan pernikahan keduanya.
Pangeran Samodro dan ibu tiri beserta para pengawalnya lantas memutuskan untuk lari ke selatan. Saat berada di Gunung Kemukus, Pangeran Samodro dan Nyai Ontrowulan tak bisa lagi menahan hasrat seksual mereka. Di bawah pohon nagasari, mereka melakukan hubungan seks layaknya suami-istri.
Dasar sial, pasukan Demak Bintoro berhasil menyusul. Keduanya dibunuh pada saat sedang berhubungan seks belum sampai pada puncaknya. Si pangeran dan ibu tirinya lantas dikubur dalam satu lubang. Konon, dalam lubang tempat terbunuhnya mereka itulah muncul sebuah sumber air jernih yang kini disebut sebagai Sendang Ontrowulan. Air sendang ini dipercaya memiliki multikhasiat dan bisa bikin orang awet muda.
Dalam legenda juga dikisahkan munculnya asap, disusul suara di atas makam Samodro dan Ontrowulan yang baru dikuburkan, ”Wahai manusia, barang siapa mau datang ke tempat ini dan bisa menyelesaikan hubungan seks layaknya suami-istri kami yang belum selesai ini tujuh kali, maka segala permintaan kalian akan dikabulkan oleh Dewa Bathara yang Maha Agung.”
Novel ini mengambil Gunung Kemukus sebagai setting cerita. Ada banyak tokoh dalam cerita ini. Ada Meilan, seorang wartawan keturunan China yang menggerutu saat mendapat penugasan untuk meliput Gunung Kemukus. Ada Sarmin, si pedagang bakso yang kalah wibawa dengan istrinya yang bermimpi kehidupannya bisa kembali seperti zaman sebelum ia nikah dan jualan baksonya kembali laris manis. Ada Badrun, juragan tembakau; ada Romo Drajad, seorang hombreng yang punya pengaruh kuat dan berpendapat bahwa fenomena Kemukus adalah sebuah revolusi kultural.
Ada juga tokoh Wati, istri Sarmin, yang terobsesi bisa kawin dengan si pak guru, Mas Bagus. Ada perempuan kelas menengah paruh baya Sri Wahyuni alias Yuyun yang mengikuti dorongan suaminya untuk ngalap berkah ke Kemukus. Ada Parti, seorang perempuan pelacur yang siap memangsa siapa saja lelaki yang baru pertama kali mencoba datang ngalap berkah.
Ada beberapa karakter tokoh antagonis yang kuat dalam novel ini, tetapi karakter yang paling kuat ada pada diri Wati. Istri Sarmin ini digambarkan sebagai perempuan yang menilai suaminya sebagai lembek, goblok, tak pandai menipu dalam menjalankan dagangan baksonya.
Ia terpaksa menikah dengan Sarmin hanya lantaran niatnya untuk menjebak Mas Bagus dengan mengajaknya berhubungan seks dan kemudian mengaku hamil ketahuan oleh orangtuanya. Ia selalu ragu-ragu antara ingin bercerai dan rasa takut bercerai dalam keadaan miskin.
Cara bertutur dalam novel ini betul-betul lancar. Gaya bahasa juga mengalir. Pada beberapa bagian, di mana si tokoh menjadi orang pertama, seperti halnya saat tokoh Wati ngedumel pada dirinya sendiri (hal 51-60), kita sepertinya diingatkan pada gaya Linus G Suryadi dalam Pengakuan Pariyem. Bedanya, Pariyem adalah seorang perempuan yang pasrah, nrimo, dan menikmati sekaligus memuja Den Bagus-nya. Kalau Wati adalah perempuan yang terobsesi bisa menikah dengan Mas Bagus, tetapi tak pernah kesampaian.
Pengetahuan pengarang yang lengkap mengenai sejumlah permasalahan sosial ikut membungkus buku ini dengan berbagai informasi, antara lain mengenai kehidupan warok dan per-gemblak-annya di Ponorogo dan mengenai penyair Wiji Thukul dan Romo Mangunwijaya. Juga cerita tentang hiruk-pikuk pembangunan Waduk Kedung Ombo. Keberpihakan pengarang pada wong cilik tampak jelas dalam novel itu. Demikian pula dengan pemberontakan terhadap kemapanan, yang tampaknya ditampilkan pengarang melalui tokoh Romo Drajad (hal 124-129).
Gambaran irasionalitas bangsa
Apa kaitan ritual Kemukus dengan kehidupan sehari-hari kita? Barangkali setelah membaca novel ini, kita memang perlu mencari jawabannya. Apalagi, cerita tentang pasangan Samodro dan Ontrowulan di Gunung Kemukus itu terjadi pada abad XIV. Artinya, umur legenda kini mencapai lebih dari 600 tahun.
Namun, fenomena Gunung Kemukus kalau kita lihat bukannya kian menyurut. Bahkan, pada malam 1 Suro 2007 jumlah orang yang datang ke Gunung Kemukus dilaporkan mencapai angka 10.000 orang. Pada malam 1 Suro 28 Desember 2008, angka ini dilaporkan jauh membengkak.
Di Kemukus upaya pencarian berkah, tirakat, penyucian diri perselingkuhan, pembersihan diri, kepuasan seksual, dan prostitusi telah campur aduk dengan kepentingan bisnis. Mulai dari bisnis ritual, bisnis esek-esek, hingga bisnis wisata yang mendatangkan masukan bagi kas pemerintah daerah.
Sebagai gambaran, setiap pengunjung Gunung Kemukus dikenai biaya retribusi sebesar Rp 4.000. Itu belum termasuk tarif parkir untuk kendaraan. Artinya, pada saat malam 1 Suro, di mana dilakukan acara membuka kelambu makam Pangeran Samodro, Pemerintah Kabupaten Sragen minimal akan mengantongi pemasukan pendapatan asli daerah sebesar 10.000 x Rp 4.000 atau sebesar Rp 40 juta. Itu hanya semalam.
Di Indonesia, fenomena orang mencari peruntungan juga bukan monopoli masyarakat kecil yang miskin dan nyaris putus asa. Fenomena Kemukus adalah bagian dari irasionalitas bangsa Indonesia yang sebagian masih meyakini bahwa ”laku” dan ”teknik menjalani kehidupan” jauh lebih penting daripada ilmu pengetahuan, manajemen, dan membangun sistem sosial yang lebih adil.
Pada faktanya kita masih kerap menjumpai ada banyak pejabat yang melakukan tetirah ke makam, pergi konsultasi atau mencari jimat ke dukun untuk mendapatkan atau mempertahankan kedudukan.
Untuk kalangan masyarakat bawah, ritual semacam Kemukus merupakan sarana hiburan sekaligus gambaran dari sebuah budaya perlawanan. Melalui ritual inilah nilai kebebasan untuk menikmati seks juga bisa mereka kecap, bukan hanya hak kaum laki-laki bangsawan saja.
Di Kemukus ini pula sebetulnya kaum perempuan bisa menemukan aktualisasi nilai-nilai jender di mana perempuan punya hak yang sama dengan lelaki, terutama untuk mendapatkan ”pasangan tidur” yang diminati.
* Stanley Adi Prasetyo, Anggota Komisioner Komnas HAM, Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan dan Penikmat Sastra
Sumber: Kompas, Minggu, 15 Februari 2009
No comments:
Post a Comment