KEBERHASILAN pemikir budaya adalah kemampuannya merangsang imajinasi pembaca--mungkin juga masyarakat dalam skop luas--dan membuka berbagai perspektif yang selama ini tersumbat, seperti dilakukan Umberto Eco.
Eco lahir di Alessandria, sebelah timur Turin, Italia, 5 Januari 1932. Karya-karyanya meliputi wilayah yang luas: Novel, jurnalistik, filsafat, dan semiotika. Dengan sudut pandang semiotika post-modern, pembacaan budaya pop yang dalam, dan penelusuran cultural studies yang luas, Eco menulis karya fiksi maupun nonfiksi yang merangsang imajinasi.
Eco menulis novel antara lain The Name of the Rose, Foucault's Pendulum, dan The Island of the Day Before. Beberapa karya nonfiksinya The Open Work (1961), Apocalypse Postponed (1964), Semiotics and the Philosophy of Language (1984), The limits of interpretation (1990), dan Travels in Hyperreality (1983).
The Name of the Rose memaparkan masalah pelik Abad Pertengahan termasuk ketuhanan, bidah, dan pengetahuan. Dalam novel multifacet ini, Eco meramu unsur sejarah, agama, dan sastra menjadi tulisan fiksi yang merangsang pemikiran.
Di bidang keilmuan, Eco termasuk salah satu ilmuwan yang mengenalkan konsep hyperreality, seperti juga Jean Baudrillard dari Prancis. Dalam Travels in Hyperreality, Eco menggunakan istilah copy, replica, replication, imitation, likeness, dan reproduction untuk menjelaskan konsep hiperealitas. Eco menyatakan hiperealitas sebagai replikasi, salinan atau imitasi.
Hiperealitas juga simulacrum dari unsur-unsur masa lalu yang dihadirkan dalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Hiperrealitas meleburkan yang asli dan fotokopi, membuat salinan lebih asli dari rujukan.
Di bidang semiotika, Eco mengajak pembaca tidak percaya begitu saja pada tanda (sign). Bagi Eco, setiap tanda mengandung kepalsuan. Makna yang disampaikan juga perlu dicurigai. Maka itu, setiap signifikasi atau penandaan menjadi proses yang mesti diwaspadai, bukan semata arbiter. n DARI BERBAGAI SUMBER/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Februari 2009
No comments:
Post a Comment