WAKTU seakan berhenti di Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Rumah-rumah kayu berderet panjang, berdiri di atas papan kayu dan tiang bambu. Bocah-bocah kecil awas melihat dari atas tebing, sosok-sosok asing yang datang ke kampung terujung yang berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia.
Masyarakat Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, harus menempuh riam Sungai Sekayam yang ganas untuk menembus isolasi, Rabu (14/1). Desa yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia, ini masih belum bisa diakses dengan jalan darat. (KOMPAS/AHMAD ARIF)
Hari sudah sore ketika kami tiba di dusun itu. Untuk mencapai Gun Jemak di Desa Suruh Tembawang, desa ini merupakan satu dari 40 desa di Kalbar yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, kita harus menggunakan perahu motor untuk menentang arus Sungai Sekayam sejauh 64 kilometer dari gerbang perbatasan Entikong selama 6-12 jam dengan ongkos sewa sebesar Rp 800.000-Rp 1 juta.
Di Gun Jemak, kami bertemu dengan guru Joni, satu-satunya guru di Sekolah Dasar Negeri 16 Gun Jemak. Dia merangkap mengajar anak-anak 98 siswa di sekolah itu dari kelas I sampai kelas VI. ”Kami sangat kekurangan guru. Kasihan anak-anak di sini,” kata Joni.
Hanya ada enam SD dan satu SMP negeri di Desa Suruh Tembawang. Bahkan, di Dusun Gun Tembawang yang letaknya paling jauh dari pusat desa dan berbatasan langsung dengan kampung Gun Sapit, Serawak, tidak ada SD. Di tambah lagi keterbatasan jumlah guru, praktis kualitas pendidikan warga di desa itu tergolong rendah.
Potret sekolah di pedalaman itu hanya satu gambaran muram tentang kondisi desa terdepan di negeri ini. Gambaran lainnyaadalah minimnya sarana kesehatan. Hanya ada satu pondok bersalin desa (polindes) di Dusun Suruh Tembawang yang ditangani satu bidan. Untuk menjangkau Dusun Suruh Tembawang, warga Dusun Gun Tembawang (dusun terjauh dari pusat desa) harus berjalan kaki selama lebih dari enam jam naik turun bukit dan menyusuri Sungai Sekayam dengan perahu motor selama satu jam.
Jangankan telekomunikasi, jaringan listrik negara juga tak ada di sana. Untuk menikmati arus listrik, warga harus membeli generator. Bahan bakarnya bensin yang harganya di dusun itu 5 ringgit Malaysia per liter atau sekitar Rp 12.000 per liter.
Warga Gun Jemak hampir tak mengenali uang rupiah sebagai nilai tukar. Mereka lebih kenal dengan uang ringgit. Maklum, transaksi warga di dusun ini lebih banyak menggunakan ringgit dibandingkan rupiah. Warga dusun ini biasa berjalan hingga enam jam untuk memikul hasil pertanian mereka, seperti sahang (lada) dan terung asam, ke Kampung Gun Sapit, Negara Bagian Serawak, Malaysia.
Bergantung pada Malaysia
Berbeda dengan Suruh Tembawang yang terisolasi, perkampungan Malaysia yang berbatasan dengan Indonesia sudah terjangkau akses jalan darat yang memadai. Gun Sapit, misalnya, bisa dicapai dua jam dari Kuching dengan mobil melalui jalan aspal yang mulus, ditambah 20 menit naik sepeda motor melalui jalan beton.
Akses jalan itulah yang menyebabkan ekonomi di Kampung Gun Sapit lebih maju dibandingkan desa-desa di wilayah Indonesia. Tak heran jika kemudian warga perbatasan di Indonesia memilih menjual hasil buminya ke Gun Sapit.
Temat (27), warga Dusun Badat Lama, Desa Suruh Tembawang, itu hampir tiap hari berjalan kaki menembus hutan guna menjual hasil pertaniannya, seperti jahe, cabai, dan sahang, ke Kampung Gun Sapit. Dari Gun Sapit, dia kemudian membeli barang kebutuhan pokok, seperti gula dan bahan makanan.
”Biasanya saya berangkat dari rumah pukul 02.00 sampai di Gun Sapit pukul 05.00. Hasil penjualan saya belanjakan untuk kebutuhan yang lain, sekitar pukul 07.00 saya berangkat pulang dari Gun Sapit, sampai di Badat Lama pukul 12.00,” kata Temat, yang ditemui di Gun Sapit.
Dengan harga jual cabai di Gun Sapit 8 ringgit per kilogram dan harga jual jahe 2,5 ringgit per kilogram, total pendapatan yang diperolehnya dalam sekali penjualan itu hanya 77,5 ringgit. Jika ditukar dalam rupiah, uang sejumlah itu setara dengan Rp 220.000.
”Kalau harus dijual ke Entikong justru rugi karena tidak sebanding dengan ongkos angkut yang menggunakan perahu motor,” katanya
Migrasi penduduk
Tingkat kemakmuran yang jomplang menyebabkan migrasi kependudukan dari desa-desa di perbatasan Indonesia, seperti Desa Suruh Tembawang, ke Malaysia.
Warga di wilayah perbatasan itu relatif mudah mendapatkan kartu identitas Malaysia karena sebagai bagian dari suku Dayak Bidayuh mereka memiliki bahasa yang sama dengan warga kampung tetangga di Serawak. Apalagi sebagian besar dari mereka memiliki kekerabatan dengan warga kampung tetangga karena nenek moyangnya masih satu rumpun.
Kepala Dusun Badat Lama Adeus Asip mengatakan, jumlah warganya terus berkurang karena banyak yang pindah menjadi warga negara Malaysia. ”Dalam setiap pertemuan warga sering terlontar keinginan untuk pindah kampung ke Malaysia karena selama ini program pembangunan pemerintah tidak sampai ke dusun,” kata Adeus.
Banyak warga perbatasan yang memberikan anak mereka kepada kerabatnya di Malaysia agar si anak mendapatkan pendidikan yang layak. Pertimbangannya, anak yang sudah diadopsi oleh kerabatnya yang merupakan warga negara Malaysia akan mendapatkan kemudahan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas.
Sawit (70), Kepala Adat Dusun Gun Tembawang, misalnya, memberikan dua dari tujuh anaknya untuk diadopsi kerabatnya di Malaysia. Dua anak Sawit, masing-masing Bambang dan Kikong, diasuh kerabatnya di Malaysia sejak berumur kurang dari tujuh tahun agar bisa bersekolah di sana.
”Di sini tidak ada sekolah. Lebih baik mereka (Bambang dan Kikong) tinggal di Malaysia dan bersekolah di sana,” katanya.
Anak-anaknya kini sudah menamatkan sekolah menengah Malaysia yang setara dengan SMA di Indonesia, bekerja dan memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Bambang yang kini berusia 37 tahun bekerja di perusahaan pembuat kapal. Adapun Kikong yang kini berusia 25 tahun, dalam tiga tahun terakhir bekerja sebagai Askar Wataniah. Meski sempat dilahirkan di Indonesia, baik Bambang maupun Kikong sudah murni menjadi warga Malaysia.
”Kalau disuruh memilih menjadi warga Indonesia atau Malaysia, saya lebih memilih menjadi warga Malaysia karena jalan sudah masuk kampung, kendaraan bisa masuk kampung, pendidikan mudah, mencari pekerjaan juga lebih mudah,” kata Bambang yang ditemui saat pulang ke rumah Sawit, orangtua kandungnya.
Kakok (49), warga Dusun Gun Jemak, juga memberikan anaknya yang bernama Bensen agar diadopsi dan disekolahkan oleh kerabatnya di Malaysia. Di sana Bensen bisa menamatkan sekolah menengah dan bekerja di Singapura. Bensen yang kini berusia 23 tahun itu sudah memiliki rumah dan mobil sendiri serta berpenghasilan 3.000 ringgit Malaysia atau setara dengan Rp 8,4 juta per bulan.
Kepala Desa Suruh Tembawang Imran Manuk mengatakan, ”Kami tak bisa melarang warga saya untuk pindah ke Malaysia, mereka mengejar pendidikan dan ekonomi yang lebih baik,” kata Imran. Perpindahan kewarganegaraan ini, menurut Imran, lebih didorong karena masalah ekonomi dan bukan alasan politis sebagaimana banyak diperdebatkan beberapa waktu lalu menyusul adanya warga Indonesia yang menjadi Askar Wataniyah di Malaysia.
Masalahnya memang bukan mencintai Tanah Air atau tidak, tetapi keterbatasan hidup warga perbatasan yang membuat sebagian dari mereka memilih pindah ke Malaysia.... (AIK/WHY)
Sumber: Kompas, Jumat, 13 Februari 2009
No comments:
Post a Comment