Saturday, November 01, 2008

Pertanyaan untuk "Laskar Pelangi"

-- Deni Rachman*

ADA perbedaan jauh ketika saya sandingkan buku Laskar Pelangi cetakan pertama dengan cetakan yang kedua puluh satu. Hanya sekarang mereka ada sama-sama di tangan, saya timang-timang, saya tilik-tilik. Apa gerangan yang membuat buku karya Andrea Hirata --orang yang pertama kali pada tahun 2005 mendatangi saya dalam sebuah acara pameran pascasarjana di sebuah hotel, dan memintaku menjadi promotor peluncuran bukunya di Bandung, namun saya tidak menyanggupinya-- ini begitu laris?

Pada desain cetakan kedua puluh satu itu tak ada yang berubah. Perubahan terletak pada penambahan "Indonesia`s Most Powerful Book" dan penggantian endorsment (pengesahan para penilai buku) oleh Andy F. Noya, sebagai orang yang paling berpengaruh secara tidak langsung memopulerkan buku ini lewat Kick Andy-nya. Sebelumnya, nama Garin Nugroho tercantum di sana, sekarang sudah berpindah di sampul belakang dalam urutan terbawah. Keterangan Andrea di halaman belakang sama sekali sudah tak ada, berpindah ke jaket buku bagian belakang.

Di bagian halaman awal pun ada banyak perubahan. Pada buku terbaru edisi 2008, begitu banyak kata pujian dari berbagai individu dan media massa dibandingkan buku sebelumnya.

Untuk kedua kalinya, saya berkesempatan bertemu dengannya di Common Room dalam diskusi buku pertama Laskar Pelangi yang diselenggarakan oleh Tobucil. Pada sesi tanya jawab, Andrea tak tuntas menjawab pertanyaan saya, "Mengapa buku ini begitu banyak uraian yang tidak logis?"

Pertemuan saya dengan Andrea hampir terputus ketika saya menyaksikan Andrea dengan motor Renjana Organizer begitu "getolnya" memperkenalkan karyanya ke ranah-ranah kampus di Kota Bandung, lalu meluas ke beberapa daerah di luar Jawa Barat dan akhirnya bersambutlah gaungnya setelah Andrea Hirata dan karyanya tampil di depan publik nasional lewat acara Kick Andy. Sempat sekali juga bertemu dengannya di Gedung Sabuga pada saat dicanangkan kemungkinan lebih lanjut menggarap novel ini dalam bentuk film oleh Riri Riza. Saat itu, acara dengan memakai sistem undangan dihadiri hampir sebagian besar oleh kaum guru.

Diskusi kian bergulir yang digalakkan oleh Renjana Organizer, termasuk ketika menghadirkan Riri Riza yang bersedia menggarap novelnya ke dalam film, suatu waktu dalam acara di mal Paris van Java. Kehebatan publikasi yang luas dan militansi sang organizer mengelola acara dalam berbagai kesempatan hampir melupakan kegusaran saya selama ini. Pertanyaan saya masih saja belum terjawab oleh Andrea Hirata, "Mengapa Anda tak memperhatikan sisi logis atau tidak suatu cerita dalam karya Anda?" Barangkali pertanyaan ini tidak terlalu penting, begitu gumam saya berkali-kali.

Saya bertahan membaca buku Laskar Pelangi "yang mencerahkan" itu hanya sampai halaman 154. Ada semacam keletihan luar biasa hingga pada detik membaca pada halaman terakhir itu, saya menemukan begitu banyak obral diksi ilmiah. Diksi-diksi yang meluncur pada setiap bab yang pendek-pendek menekankan kepada pembaca bahwa karya ini tak lebih dari ensiklopedi yang dijadikan memoar.

Keindahan Andrea dalam membungkus kata demi kata seakan pupus oleh demikian bertaburnya bahasa Latin dan paparan ilmiah yang sebetulnya menurut hemat saya tidak terlalu penting. Gaya bahasa dan beberapa bait yang menurut saya menakjubkan untuk ukuran pengarang pemula seperti Andrea, sebenarnya sudah cukup membuat saya yakin tentang kualitas buku ini. Tapi makin berjejak ke halaman berikutnya, kenyamanan itu terusik.

Pada halaman 38 yang terkesan ensiklopedik misalnya, di bab The Tower of Babel, "Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang dirubung beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material ikutan, yakni harta karun tak ternilai yang melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit, hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa dan topas...".

Belum lagi diksi-diksi lain termasuk gaya bahasa perumpamaan yang sangat menggangu dan begitu sering diungkap-ungkapkan secara berbeda-beda. Ada semacam "keangkuhan" yang saya tangkap pada mula buku ini. Keangkuhan itu menjadi semacam kepintaran yang ingin dipamerkan sang penulis. Padahal, bab 1 hingga bab 4 terasa lekat khas bahasa Melayu, yang cukup membuat saya nyaman, termasuk ide apa yang akan dibangun oleh Andrea kelak. Namun, di bab berikutnya Gedong, Zoom Out, dan Penyakit Gila No. 5, saya menemukan serakan diksi yang dicetak miring yang entah maksudnya apa.

Hal lain yang menjadi sumber kejengahan saya berpuncak pada ketidaklogisan kedua tokoh dari Laskar Pelangi itu sendiri, Lintang dan Mahar. Karakter Ikal sebagai tokoh "aku" sah-sah saja bermain-main dalam berbagai setting kini-dulu sebagai representasi penulis. Penulis bisa merentang karakter secara bebas dalam diri Ikal, tetapi tidak demikian dalam Lintang dan Mahar.

Di Bab Bodenga dan Langit Ketujuh, tokoh Lintang terasa teramat jenius. Ia disinyalir mendapat keajaiban mistik pada saat Lintang sedang masyuk membaca buku stensilan ilmu astronomi dan ilmu ukur:

"Dan tepat ketika itu, dalam kesepian malam yang mencekam, lamunannya sirna karena ia terkejut menyaksikan keanehan di atas lembar-lembar buram yang dibacanya. Ia terheran-heran menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran itu seakan bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma menjadi kunang-kunang yang ramai berterbangan memasuki pori-pori kepalanya, ia tak sadar bahwa saat itu arwah para pendiri geometri sedang tersenyum kepadanya dan Copernicus serta Lucretius sedang duduk di sisi kiri dan kanannya".

Dalam paragraf ini penulis mencampuradukkan antara kenyataan dunia ilmu pengetahuan yang sangat empiris dengan ilusi-mistis yang satu sama lain bertolak belakang. Fakta adanya gagasan atau ide berupa "wahyu" seperti yang juga mengilhami Archimedes dengan "Eureka!" misalnya. Aku pikir itu lantas ditindaklanjuti dengan tindakan praktis empiris melalui percobaan-percobaan, bukan dengan cerita-cerita ilusi mistik yang dijejalkan oleh kebrilianan sang penulis pada tokoh yang masih duduk di bangku SD itu.

Ketidaklogisan karakter juga ditemukan pada tokoh Mahar, si anak jenius yang andal mengandalkan otak kanannya ketimbang Lintang. Mahar menjadi sosok yang cerdas menerjemahkan sisi emosional kawan-kawannya, memahami harmonisasi musik, sampai hafal betul musik-musik Barat yang tidak dijelaskan dari mana sumber semua kecerdasan dan hafalan-hafalan itu (bab 12 Mahar, halaman 134-138). Lalu hingga di bab selanjutnya, Jam Tangan Plastik Murahan yang masih berkisah tentang keajaiban Mahar, saya tak sanggup lagi meneruskan membaca buku ini.

Saya tidak dapat menyimpulkan buku ini bagus atau tidak karena setidaknya dari ketidaknyamanan saya meneruskan membaca ke halaman berikutnya sudah dapat menjadi kesimpulan kualitas buku ini sendiri. Ide awal yang tertangkap oleh benak saya tak lain niat yang tulus untuk membangun dan menggugah kesadaran kita tentang jejak pendidikan masa kecil kita yang setelah kita mencapai mimpi pun, pendidikan itu hanya beranjak seperti siput.

Tanpa mengurangi maksud mulia penulis dalam mengangkat harkat pendidikan di negeri ini sehingga kemudian bergulir dengan apresiasi film yang luas dari semua kalangan --presiden, pejabat, tokoh pendidikan, masyarakat umum--, karya ini menjadi sepi kritik. Ataukah memang kritik itu sendiri sudah ditentukan oleh kekuatan "pasar" yang lebih berhak menentukan buku ini bagus atau tidak? Lantas jika buku ini sudah berhasil menapaki tangga buku laris manis dan dicetak ulang kemudian difilmkan dengan rating 2.455.000 penonton Bioskop 21 hanya dalam waktu satu bulan, akan melesapkan kritik terhadap ketidaklogisannya begitu saja?

Ah, semoga ini hanya gumaman dan pertanyaan yang sebenarnya dari pengalaman membaca saya yang sampai saat ini belum terjawab oleh Andrea. Saat itu, Andrea menjawab dengan paparan singkat yang cenderung mengalihkan inti pertanyaan.

Sejauh pengamatan saya, baru Jakob Soemardjo dalam artikel bertajuk Biografi atau Novel, Fakta atau Fiksi (dimuat 25 Juni 2007 di lembar Pustakaloka suatu harian nasional) yang mengkritik buku Andrea:

"Keberatan utama saya dalam menilai buku Andrea adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Logika cerita menjadi kesulitan saya yang utama dalam memahami nilai-nilai pengalamannya."

Jakob sendiri merasa heran bagaimana tokoh-tokoh sastra besar bisa mengomentari buku Andrea ini dalam pujian yang begitu tinggi dan menjanjikan sebagai lahirnya penulis besar masa kini.

"Apakah mereka telah membaca serius buku-buku (trilogi yang sudah terbit) ini? Seluruh buku telah dibacanya? Memang, bahan cerita Andrea amat memikat untuk diceritakan, tetapi cara dia menceritakan itu telah ikut mengaburkan makna penting bahannya sendiri.... Ketergesaan dalam menumpahkan kisah kesuksesan dengan antusiasme dan optimisme yang begitu percaya diri melihat dalam waktu dekat dia telah menulis serial tetraloginya begitu Laskar Pelangi meledak di pasaran."

Meledaknya buku Andrea ini di lain pihak, tentunya sudah menjadi kabar gembira tersendiri bagi dunia penerbitan. Menjadi potret yang langka ketika harga kertas semakin membubung dan daya beli terhadap kebutuhan domestik buku semakin turun, buku-buku semacam Andrea ini dapat menghidupkan kembali angka best-seller yang kadang kembang-kempis. Namun, kemudian kualitas buku ditentukan dari sisi industri menjadi sedemikian masif.

Saya kagum kepada Dipie yang menjadi penggerak Renjana Organizer, setidaknya sebagai salah satu penentu melejitnya buku ini. Menurut saya, kekuatan marketing-lah yang dominan menyulap buku ini menjadi "buku bagus" dan best-seller. Bagi yang bertahan membaca buku ini hingga tamat, bahkan tuntas hingga buku keempatnya kelak, saya mengucapkan selamat menikmati untuk buku yang mencerahkan ini.***

* Deni Rachman, peminat buku dan tinggal di Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 1 November 2008

No comments: