Thursday, November 20, 2008

Mendesak, Pendaftaran Kekayaan Budaya

[JAKARTA] Kekayaan budaya Indonesia yang beraneka ragam adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Namun, hingga saat ini, belum ada sistem pendaftaran kekayaan budaya, di tingkat nasional ataupun di tingkat daerah, yang mampu menggambarkan, sebagai contoh, jumlah suku bangsa di Indonesia, jumlah candi, ataupun peninggalan lain.

Batik merupakan salah satu budaya peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia yang harus dilestarikan. (sp/ferry kodrat)

Bukan hanya untuk mengetahui jumlah dan jenis, sistem seperti itu juga diperlukan untuk mengetahui persebaran unsur kebudayaan yang sangat beragam dan besar jumlahnya di Nusantara. Di samping itu, UNESCO, badan dunia di bidang kebudayaan, telah mengingatkan negara-negara anggotanya untuk segera mendaftarkan karya budaya masing-masing, untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman atas pengakuan hak milik.

Kenyataan seperti itu mengemuka dalam diskusi kelompok terarah "Sistem Nasional Pendaftaran Kekayaan Budaya" di Jakarta, Rabu (19/11). Diskusi diselenggarakan Kedeputian Bidang Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Negara RI Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), menghadirkan pembicara Ir Arry Ardanta Sigit MSc dari Ditjen HAKI Dephumkam, Prof Dr Multamia RMT Lauder dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), dan penasihat ahli Pusat Dokumentasi Arsitektur Bambang Eryudhawan.

Memprihatinkan

Walau sistem pendaftaran kekayaan budaya belum berjalan baik, pemangku kepentingan di lingkungan pemerintah atau nonpemerintah bukannya tinggal diam. Pengumpulan dan pendataan kekayaan budaya telah dilakukan sejak lama. Multamia mencontohkan, pada 1995 Melalatoa melakukan pelacakan suku bangsa di Indonesia secara antropologis, dalam Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Prof Edi Sedyawati, ketika menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan, bersama tim pada 1993 - 1994, juga berupaya menjawab kebutuhan akan sistem informasi pendataan. Tim itu mendata item kebudayaan. Namun, seperti lazimnya terjadi di negeri ini, seperti dikatakan Ratna Suranti, anggota tim, ganti pejabat ganti pula kebijakan.

Banyak pekerjaan baik, meminjam istilah Dr Junus Satrio Atmodjo dari Puslitbang Kebudayaan Depbudpar, sudah dikerjakan. Bukan hanya oleh Edi Sedyawati dan timnya, melainkan juga oleh FIB UI yang merilis Peta Bahasa Daerah terhadap 442 bahasa daerah pada 28 Oktober lalu, Bakosurtanal, dan pemangku kepentingan lain.

Upaya itu belum terhubung satu sama lain. Kendala teknologi, sistem, dan iktikad untuk berbagi informasi, berakibat kurang menguntungkan bagi masyarakat.

Deputi Seswapres Bidang Kesra, Prof Azyumardi Azra, dalam pembukaan diskusi, menyatakan, sistem pendaftaran kekayaan budaya yang sangat penting itu masih memprihatinkan. [A-18]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 20 November 2008

No comments: