-- Grathia Pitaloka
TETAP menarik dieksplorasi, ketika setiap penyair bebas berbeda, mencipta dan memiliki harapan.
Indonesianis Ben Anderson pernah mengatakan bahwa rasa kebangsaan dapat diekspresikan melalui berbagai saluran. Tidak hanya lewat institusionalisasi sosial dan politik, tetapi juga melalui pengembangan kebudayaan.
Dalam ranah kebudayaan, sastra memiliki peluang "lebih" untuk berbicara mengenai kebangsaan. "Puisi merupakan bagian dari dimensi kebangsaan karena ia memiliki hubungan yang erat dengan bahasa," kata penyair Afrizal Malna kepada Jurnal Nasional, Rabu (5/11).
Pada masa sebelum kemerdekaan, rasa kebangsaan di kalangan para penyair tidak hanya diungkapkan melalui untaian kata melainkan melalui perjuangan melawan penjajah. Sederet nama turut serta mempersiapkan kemerdekaan seperti Muhammad Yamin, Asrul Sani, Amir Hamzah hingga Chairil Anwar.
Puisi-puisi Chairil yang dikomentari, segar namun tidak bergizi oleh Sutan Takdir Alisjabana ternyata ampuh mengobarkan kecintaan kaum muda terhadap bangsanya. Bahkan hingga kini "kesegaran" sajak Krawang-Bekasi, Diponogoro serta Persetujuan Dengan Bung Karno masih memiliki kekuatan untuk mengobarkan rasa kebangsaan.
Naskah Sumpah Pemuda yang selama ini hanya dilihat sebagai teks sosial-politik, dinilai Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bahri sebagai puisi yang paling sempurna mengam-barkan rasa kebangsaan. "Ketika Sumpah Pemuda tidak dianggap sebagai puisi, maka kreasi di kalangan penyair nyaris mati," kata Sutardji.
Lebih lanjut Sutardji menuturkan, "Naskah Sumpah Pemuda memuat mimpi dan imajinasi yang tersaji dengan bahasa yang ringkas, padat, dengan irama dan pengulangan kata-kata bagaikan mantera," ujar penyair yang belum lama ini meraih penghargaan Bakrie Award.
Wajah Indonesia
Seiring berjalannya waktu, wajah Indonesia dalam kotak puisi mulai mengalami perubahan. Buramnya konsep kebangsaan menyebabkan puisi menjadi kehilangan orientasi. "Sekarang kita tidak memiliki karakter, Indonesia seperti kalimat yang susunannya berantakan," kata Afrizal.
Buramya makna kebangsaan menciptakan ceruk yang kian lama semakin dalam dan siap memerangkap menusia Indonesia. Pemahaman kebangsaan yang abu-abu melahirkan keindonesian yang hanya sebatas retorika sehingga dalam sekejap menguap.
Afrizal melihat, kebhinekaan yang menjadi hakikat Indonesia perlahan menciut berganti konflik premodial yang tidak substansial, pertentangan antara lokalitas dengan globalisasi, krisis identitas, semuanya melebur menjadi kecemasan yang berkepanjangan. "Indonesia menjadi produk politik yang lahir dari kontruksi penjajahan kolonial dan tanpa sadar kita ikut memperpanjang penjajahan itu melalui nilai-nilai yang kita anut," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di STF Driyakara ini.
Penulis buku Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini mengatakan, carut marut wajah Indonesia diperparah oleh kondisi pendidikan yang tidak bisa menghayati individu. Di mana manusia dicetak untuk menghapal bukan berpikir. "Dari situ puisi jadi macet, ketika dunia pendidikan tidak mendukung puisi jadi gelap," kata Afrizal.
Puisi yang lahir pun tak lebih dari sekedar klise-klise verbal dan terkekang dalam penjara sumpek. Karena tidak ditunjang oleh infrastruktur yang memadai puisi menjadi produk yang terbelakang dalam pergaulan modern. "Padahal sastra merupakan agen utama modernisasi Indonesia karena dekat dengan bahasa," kata Afrizal.
Pendapat Afrizal tidak berlebihan karena ketika menengok ke belakang para sastrawan sangat yakin bahasa Indonesia mampu bergaul dalam kehidupan modern. "Sastra modern menuntut manusia untuk membentuk masa depan yang lebih besar daripada hanya sekadar mengelus kejayaan masa lalu," ujar dia.
Kondisi tersebut menggelitik Afrizal untuk melukiskannya lewat kata-kata. Maka terciptalah sajak berjudul Berdiam Dalam Mikrofon, yang menggambarkan kebangsaan yang hanya berteriak tetapi tidak memiliki implementasi. "Harus ada program utama yang disepakati bersama dan ditunjang oleh infrastruktur, bukan rasa kebangsaan yang hanya menciptakan konflik," kata penerima Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, (1984).
Namun demikian di tengah bermacam krisis yang menempa Indonesia, Afrizal melihat, keindonesiaan masih menarik untuk dieksplorasi menjadi sebuah karya. Tentu saja yang ia maksud adalah keindonesiaan yang memiliki makna luas, bukan yang hanya diartikan selemparan batu.
Afrizal mengatakan, tema keindonesian yang dieksplorasi hanya berputar sekitar bendera atau kepahlawanan sehingga lama kelamaan menimbulkan suatu kejenuhan. Padahal, lanjut dia, tema keindonesiaan juga dapat diceritakan lewat mata bening seorang anak. "Indonesia menarik untuk diekspolarasi ketika setiap orang diberi ruang untuk berbeda, mencipta serta memiliki harapan," ujar Afrizal.
Media Kritik
Senada dengan Afrizal, penyair Saut Situmorang mengatakan, sebagai negara dunia ketiga kebangsaan masih menjadi tema yang seksi untuk terus digali. "Aneh ketika penyair negeri pascakolonial membicarakan tentang keagungan secangkir kopi, padahal ketidakadilan masih merajalela dinegeranya," kata Saut.
Saut menempatkan sajaknya sebagai sarana untuk mengkritik kesewenangan penguasa serta berbagai kesemerawutan yang terjadi. "Puisi bagiku cukup untuk menumpahkan ekspresi terhadap ketidakadilan," ujar lelaki kelahiran Tebing Tinggi, 29 Juni 1966 ini.
Keindonesiaan dalam puisi Saut terjemahkan sebagai kritik terhadap tirani Orde Baru. Pada saat itu Saut melihat militer berdiri congkak laksana dewa, sementara rakyat tak hanya menjadi keset yang terus menerus diinjak. "Terjadi kekerasan tanpa dialog, tentara sengaja dicetak untuk membunuh," kata Saut.
Saut mencoba, memotret carut marut keadilan di negeri ini kemudian menuangkannya dalam puisi. Ia mengaku, tak mudah untuk menyatakan kritik lewat puisi karena puisi merupakan seni berbahasa. "Menulis sebuah sajak protes merupakan suatu hal yang sulit, bagaimana mengkritik tanpa mengorbankan estetika," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Victoria University of Wellington dan University of Auckland, Selandia Baru.
Ia mengatakan, pengalaman personal merupakan faktor penting untuk mencipta sebuah ekspresi dasyat. Oleh karena itu hanya segilintir penyair yang berhasil menyampaikan kritik melalui puisi, Wiji Tukul adalah satu di antaranya.
Peringatan (setelah direvisi)
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Solo, 1986
Kebhinekaan
Sementara itu, penyair berdarah Tionghoa, Tan Lioe Ie memilih untuk menggambarkan Indonesia sebagai sebuah lumbung kebudayaan yang kaya raya dalam puisinya. "Saya mengeksplorasi khasanah kultural nusantara serta ritual adat yang mulai terlupa," kata penyair yang akrab disapa Yokkie.
Latar belakang budaya Bali serta Tionghoa yang menjadi lekat turut mewarnai sajak-sajak Yokkie. Buku Puisi Malam Cahaya Lampion merupakan salah satu karyanya yang kental dengan nuansa Tiong Hoa.
Mitologi Tionghoa yang jarang dilirik penyair lain seperti kunang-kunang dan kuku orang mati juga diangkat kembali oleh Yokkie dalam puisinya. Tak pelak, perasaan inferior yang sempat tumbuh di relung hatinya berubah menjadi sebuah kebanggaan. "Perasaan tersisih berubah menjadi modal kuat untuk meyakini apa yang saya anggap benar," kata lelaki kelahiran Denpasar, 1 Juni 1958 ini.
Latar belakang budaya penyair tentu sangat mempengaruhi karya yang dicipta oleh seorang penyair. Seperti puisi mantra Sutardji yang kental dengan nuansa melayu atau sajak-sajak Oka Rusmini yang lekat dengan budaya Bali. "Kebhinekaan melahirkan varian yang berbeda dan menarik," ujar penulis antologi puisi, Kita Bersaudara (1991).
Puisi mantera yang diusung oleh Sutardji merupakan salah satu contoh keindonesian dalam bentuk kata. "Sastra bukan semata-mata konten tapi bagaimana mengungkapkan secara estetik," kata Yokkie.
Tragedi Winka & Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Nama WINKA & SIHKA dalam judul adalah kebalikan dari kata KAWIN & KASIH. Dengan teknik penulisan grafis seperti ini penyair tampaknya menyarankan bahwa dalam aliran waktu KAWIN & KASIH bisa mengalami tragedi menjadi WINKA & SIHKA. Cara penulisan dengan memecah dan menyatukan antara lain diperkenalkan oleh penyair sekaligus pelukis dan pemahat Jerman Kurt Schwitters (1887-1948), yang salah satu puisinya yang terkenal diterjemahkan oleh Sutardji.
Yokkie melihat kekayaan budaya yang terbentang dari Sabang hingga Marauke sebagai mata air yang tak pernah kering melahirkan inspirasi untuk berkarya. "Kecendrungan multikultural memberikan penawaran yang atraktif terhadap perkembangan sastra Indonesia sehingga tidak kalah ketika dibandingkan dengan sastra dunia," ujar Yokkie.
Menurut Yokkie hakikat dari sebuah rasa kebangsaan adalah menghargai kebhinekaan. Ia menuturkan bahwa kebhinekaan merupakan sebuah kontrak sosial yang masih relevan untuk dipatuhi. "Ketika kita melanggar kebhinekaan berarti kita melanggar kontrak sosial yang berlaku," kata Yokkie.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 9 November 2008
No comments:
Post a Comment