-- Indra Tranggono*
ANDA lahir Selasa Kliwon? Anda tidak cocok kerja di air. Tapi, lebih cocok jadi pedagang. Ingin mengubah nasib? Ketik reg...”
Begitu kira-kira bunyi salah satu iklan paranormal di televisi. Sang paranormal tampil cukup meyakinkan: seolah ia mampu menjamin perubahan nasib kliennya. Hanya dengan mengirim pesan pendek, (seolah) hidup menjadi mudah. Jika benar, tentu para petinggi negeri ini, para pengelola negara, bisa ramai-ramai mengirimkan pesan pendek kepada penjual jasa ramalan untuk mengatasi segala problem negeri ini. Mungkin negara ini menjadi salah urus karena para pengelolanya memiliki hari pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Pahing) yang tidak cocok dengan jenis pekerjaannya. Indonesia pun langsung beres.
Munculnya iklan jasa paranormal mendapat reaksi yang beragam. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), misalnya, menilai iklan semacam itu tidak mendidik masyarakat yang semestinya lebih membutuhkan dorongan untuk memiliki etos kerja. Namun, ada juga yang menganggap iklan ini tidak perlu disikapi serius, anggap saja sebagai tontonan yang menghibur seperti dagelan atau lawak. Toh masyarakat yang kritis tidak akan terpengaruh dengan iklan itu. Enjoy aja.
Sebagian masyarakat lain, memercayai ramalan itu sebagai keniscayaan. Mereka memandang, hidup ini membutuhkan berbagai upaya untuk mengubah nasib. Siapa tahu berhasil. Mereka punya pendapat, kalau mau jujur, semua bidang kehidupan di negeri ini berbau untung-untungan. Apakah anggota DPRD/DPR RI sudah pasti dijamin membela hak-hak rakyat? Belum tentu. Begitu juga dengan para penyelenggara negara lainnya. Hidup di negeri ini seperti membeli lotre. Bisa untung, bisa juga buntung.
Perniagaan simbol budaya
Jual-beli jasa melalui pesan pendek tidak hanya dilakukan para peramal nasib, tetapi juga banyak profesi lainnya. Ada artis yang ”menjual” tubuhnya yang seksi: klien bisa memahatkan namanya dalam tubuh itu, cukup dengan ”ketik reg”. Ada juga artis yang “menjual” romantisme percintaan. Tidak hanya itu. Para ahli agama pun ikut terjun. Mereka menawarkan jasa nasihat atau wisdom untuk meraih keimanan yang lebih substansial. Dengan wisdom itu, kata mereka, hidup lebih tercerahkan dan sukses. Dalam bisnis apa pun bisa dijual, baik yang profan (sekuler) maupun yang sakral. Yang penting, mendatangkan keuntungan (bagi sang pemodal).
Praktik bisnis pesan pendek bisa dipahami sebagai perniagaan simbol-simbol budaya (citra, pesan, hiburan) yang memanfaatkan keinginan publik akan berbagai sensasi, baik sensasi pencitraan, sensasi libidal (melibatkan libido seseorang), maupun sensasi tekstual (wacana, pesan, kiat hidup, wisdom). Kaum pemodal sadar bahwa berbagai sensasi itu tidak selalu menjadi kebutuhan publik, maka mereka memilih ranah ”keinginan” untuk bermain dan menangguk keuntungan.
Untuk memompa keinginan itu, publik digoda, diiming-imingi dengan iklan yang persuasif. Maka, host (tokoh atau artis yang dipilih sebagai ”tuan rumah” di jagat maya) harus tampil meyakinkan. Jika ia paranormal, maka citra yang dibangun adalah sang paranormal itu sangat profesional mengubah nasib orang. Jika ia artis, maka artis itu harus tampil dengan citra dan sosok yang menawan, menggoda, dan mampu memenuhi berbagai impian orang akan sensualitas. Jika ia adalah ahli agama, maka ia harus tampil sesoleh mungkin dan mencerminkan kekayaan ilmunya serta potensi-potensi lainnya sebagai ”ahli surga”. Host harus tampil sebagai patron yang profesional mampu memenuhi seluruh dahaga jiwa kliennya.
Kehilangan harapan
Kenapa bisnis pesan pendek ini subur? Yang pertama, tentu bisnis ini menguntungkan. Anda bisa menghitung sendiri, jika harga setiap pesan pendek Rp 3.000 dan pengirimnya bisa mencapai ratusan ribu, berapa limpahan keuntungan yang diraup pemodal?
Kedua, setting sosial. Masyarakat kita adalah sejenis masyarakat yang mengalami disorientasi nilai alias bingung. Mereka terapung-apung di atas gelombang ketidakpastian nilai kehidupan: mereka telah tercerabut dari akal tradisinya, sementara mereka gagap dan gugup memasuki wilayah nilai yang baru, modern atau post modern. Masyarakat yang cenderung mengalami niridentitas dan nirkarakter ini membutuhkan semacam panduan nilai atau apa saja yang memenuhi ”dahaga jiwa” secara praktis/pragmatis (cepat dan mudah).
Mereka membutuhkan nilai-nilai spiritual agama, misalnya, bukan dalam bentuk teks yang sophisticated (rumit, canggih dan memerlukan daya tafsir) melainkan teks-teks yang simpel, praktis, up to date dan ”berdaya guna” secara langsung, misalnya menjadikan hati lebih tenteram dan jiwa lebih tenang.
Mereka juga mengalami keterasingan sosial dan kesepian, sehingga membutuhkan ”teman dialog” atau tawaran-tawaran lainnya yang mengantarkan ke petualangan sensasional. Dan telepon genggam dengan jagat maya yang dikandungnya, merupakan wahana yang sangat fungsional dan sudah menjadi bagian dari nyawa mereka.
Ketiga, masyarakat kita adalah masyarakat yang kehilangan harapan. Negara tidak mampu secara maksimal memenuhi hak-hak masyarakat: hak budaya (pendidikan, ekspresi, penciptaan), hak sosial (lapangan pekerjaan, kesehatan), hak ekonomi (kesejahteraan hidup), dan lainnya. Negara banyak absen dalam berbagai kepentingan masyarakat karena lebih banyak sibuk menjadi ”panitia pasar bebas” global. Rakyat cenderung dibiarkan bertarung sendirian, tanpa modal dan proteksi melawan kapitalisme global yang sakti mandraguna itu. Rakyat ”luka parah” dihajar kebutuhan hidup biaya tinggi, sedangkan peluang untuk mencari penghasilan begitu sulit. Karena negara gagal memberikan jaminan ekonomi, hukum, sosial, masyarakat akhirnya hidup dalam budaya spekulasi, untung-untungan. Apa pun yang dipandang bisa mengubah nasib, akan ditempuh dan diambil. Kita pun menjadi paham jika mereka menyukai ramalan nasib, kuis yang menjanjikan uang jutaan atau rumah dan mobil, serta modus-modus instan lainnya.
Rakyat yang kehilangan harapan juga tidak bisa mengadu pada wakil-wakil rakyat dan partai politik/parpol yang mereka pilih dan mereka dukung. Wakil rakyat sibuk melakukan kapitalisasi peran sosial politiknya untuk meraup keuntungan material.
Bagi wakil rakyat dan parpol, jual-beli dukungan untuk meraih kekuasaan jauh lebih penting dibandingkan dengan memperjuangkan nasib juragan mereka: rakyat. Rakyat hanya wajib disapa menjelang pemilu, sesudah itu rakyat dipersilakan berjuang sendiri untuk bertahan hidup.
Dalam dosis keputusasaan yang sangat tinggi itu, masyarakat makin kehilangan artikulator dan fasilitator yang bersedia mengubah nasibnya yang lumayan buruk. Telinga negara terlalu kecil untuk mendengarkan keluhan mereka. Akhirnya rakyat lebih memilih untuk: Ketik Reg Nasib Kirim ke 000… Siapa tahu nasib pun berubah.
* Indra Tranggono, Penulis Cerita Pendek, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 9 November 2008
No comments:
Post a Comment