-- Damhuri Muhammad*
LAKU filsafat lazimnya dimaknai sebagai ikhtiar ”memburu” kebenaran. Memburu hingga ke ujung yang paling hulu. Di sanalah kapal filsuf yang setia berlayar bakal berlabuh. Bila kebenaran hulu telah direngkuh, berakhir pulakah kelananya yang jauh?
Sepertinya tidak. Tidak seorang pun yang sebenarnya sungguh-sungguh dapat menggapai kebenaran hulu itu. Makin jauh mereka bergerak menuju hulu, biduk yang mereka kayuh justru makin terseret ke hilir. Sebagaimana amsal para penggali sumur yang berharap hendak menemukan mata air. Akan tetapi, makin digali, sumur malah terasa makin dangkal. Seolah-olah mata air kebenaran itu tak pernah ada.
Kebenaran seakan-akan mengelak setiap ada upaya menghampirinya. Inilah problem rasionalitas modern yang telah melahirkan ”anak kandung” bernama logosentrisme. Cara berpikir yang selalu bergerak menuju sebuah telos dan arkhe transendental. Sebuah metafisika yang mengandalkan Pikiran (cogito), Diri, Tuhan, Ada (being) sebagai hulu kebenaran, sebagai pusat yang stabil dan kokoh.
Tabiat berpikir macam ini mendedahkan sebuah asumsi yang dalam terminologi Jacques Derrida (1930-2004) disebut metaphysics of presence (Metafisika Kehadiran), yang meniscayakan logos (kebenaran transendental) di sebalik semesta fenomena. Dalam teks, utamanya teks sastra, kehadiran logos begitu nyata dan kentara lewat hadirnya pengarang (author). Subyek yang memiliki otoritas terhadap makna. Lebih jauh, Derrida menganggap ”kehadiran pengarang” sebagai logos itu sendiri.
Inilah yang hendak dirobohkan filsuf itu dengan palu godam: dekonstruksi. Agar makna (kebenaran) tak terpasung dalam ”kuasa tunggal” pengarang. Di tangan Derrida, laku filsafat sebagai perburuan mencari kebenaran bergeser menjadi ikhtiar penafsiran terhadap teks.
Teks, seumpama tenunan kain, terbentuk dari untaian-untaian benang yang jalin-menjalin tak terhingga banyaknya. Makna (kebenaran) ada dalam kompleksitas kerumitan tenunan itu. Dalam situasi itu, tidak ada lagi pusat dan hulu. Tak ada oposisi bineriknya: pinggiran. Semua dapat berposisi pusat dapat berposisi pinggiran.
Bukan makna, tapi prosesnya
Ketaklaziman cara berfilsafat Derrida yang hendak meruntuhkan tradisi logosentrisme itu antara lain dipetakan oleh Muhammad Al-Fayyadl dalam bukunya Derrida (2005). Lewat pembacaan intens, sabar, dan hati-hati terhadap karya-karya Derrida (Of Grammatology, Writing and Difference, Dissemination, Margin of Philosophy), Fayyadl berhasil menggambarkan betapa tradisi logosentrisme filsafat pencerahan telah runtuh dan sedang di ambang kehancuran.
Selain menghadirkan Derrida sebagai ”problema”, Fayyadl juga membangun pembelaan terhadap sosok kefilsafatan Derrida yang memang tak disambut ramah kalangan pendukung logosentrisme. Keberatan utama terhadap dekonstruksi adalah karena ”metode” (sekaligus anti-metode) itu cenderung relatif.
Banyak yang menuduh proyek prestisius Derrida itu tak lebih dari intellectual gimmick (tipu-muslihat intelektual) yang tak berisi apa-apa selain permainan kata-kata. Oleh karena itu, berkali-kali Fayyadl menegaskan bahwa dekonstruksi tak bermaksud menihilkan, apalagi menafikan makna (kebenaran). Makna tetap ada, tetapi ia tidak mungkin dicapai dengan sebuah rumusan mutlak. Cuma saja, penekanan dekonstruksi bukan pada makna, melainkan pada proses meraihnya.
Bila Derrida memaklumatkan afirmasi terhadap ”yang lain” (the Other) dengan menolak kehadiran pengarang (kuasa tafsir tunggal) dalam teks, bagaimana cara menemukan makna (kebenaran) pada sebuah peristiwa pembunuhan? Bukankah Derrida meniscayakan ”tak ada sesuatu di luar teks” (il n’y a pas de hors-texte)?
Ini berarti, seluruh semesta fenomena adalah teks, termasuk peristiwa pembunuhan di atas. Bagaimana cara menemukan pelaku (makna) bila si pembunuh (pengarang) telah disingkirkan? Pelaku harus hadir, bukan? Dilema ini tak sempat ditelaah Fayyadl. Ini akibat terlalu sibuk membela pembacaan dekonstruktif Derrida, hingga abai pada ”problema” dekonstruksi yang tak kunjung terselesaikan itu.
Derrida tetap berhala
Cara berpikir Fayyadl tampaknya sangat terpengaruh oleh ”pola permainan” Derrida. Padahal, istilah ”permainan” tanda-tanda dalam teks itu masih problematis. Bukankah dalam sebuah permainan masih ada logika kalah-menang?
Derrida belum terbebas dari perangkap oposisi biner yang hendak ditolaknya. Mungkinkah laku penafsiran teks ditempuh tanpa pretensi (tanpa tujuan, tanpa telos)? Tendensi penafsiran mutlak ada, yakni; makna (kebenaran). Meski, makna itu bukan sosok kebenaran tunggal. Bukan makna yang stabil dan tak sumbing.
Maka, laku pembacaan dekonstruktif Derrida ibarat permainan sepak bola paling ironis sepanjang sejarah. Semua pemain dari kedua kesebelasan dilarang keras menciptakan gol. Para pemain hanya boleh menggiring bola, men-dribling, mengoper dan memberi umpan-umpan silang. Misalkan Fayyadl salah satu pemain dalam pertandingan itu, tentu ia akan bermain secantik mungkin.
Sialnya, ia akan selalu terhalang untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Sebab, dalam logika dekonstruksi tak boleh ada gol (telos). Bila ceroboh dan tidak mampu ”menjinakkan” hasrat ingin menang, dikhawatirkan pemain akan melakukan gol bunuh diri, menendang bola ke gawang sendiri. Senjata makan tuan. Dekonstruksi (yang berperilaku meruntuhkan) akhirnya merobohkan tatanan analisis komprehensif yang bersusah-payah dibangun Fayyadl sejak mula. Sia-sia ia menghadirkan Derrida sebagai ”problema”. Ujung-ujungnya, Derrida malah tegak sebagai ”berhala”….
* Damhuri Muhammad, Cerpenis, Alumnus Program Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada, berkhidmat di Bale Sastra Kecapi, Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 November 2008
No comments:
Post a Comment