Saturday, November 15, 2008

Sosok: Susan Blackburn dan Perubahan Indonesia

-- Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih

BANYAK akademisi meneliti mengenai politik Indonesia, tetapi tidak banyak yang melihat dari sisi peran perempuan. Dari yang sedikit itu adalah Susan Blackburn, PhD.

Susan banyak meneliti gerakan perempuan Indonesia, meskipun ketika menyusun disertasi doktor dalam ilmu politik di Monash University dia tidak mengambil topik tersebut.

”Sayang sebenarnya. Tetapi, waktu itu tidak ada yang memberi tahu. Juga pembimbing disertasi saya tidak mencetuskan ide ke arah sana,” kenang Susan. Disertasinya tentang gerakan nasionalisme di Indonesia tahun 1930-an, selesai pada 1972.

”Padahal, banyak perempuan Indonesia terlibat aktif dalam gerakan politik nasional pada tahun 1930-an,” tambah Susan dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Ia menjadi salah satu narasumber dalam Konferensi Kedua Kartini Asia Network, di Bali, 2-5 November. Dia merefleksikan peran organisasi nonpemerintah (ornop), dalam hal ini Oxfam Australia, di mana ia menjadi anggota dan penentu kebijakan dalam membantu pemulihan kondisi perempuan korban konflik bersenjata di Sri Lanka, Kamboja, dan Timor Leste.

Meskipun ornop berhasil memenuhi kebutuhan praktis, seperti air bersih dan layanan kesehatan, serta kebutuhan strategis, seperti membantu mengatasi trauma dan mengorganisasi perempuan yang kehilangan anggota keluarga, tetapi juga ada kelemahan. Di antaranya, tak menangani semua kelompok perempuan, seperti perempuan bekas prajurit, perempuan usia muda, dan perempuan masyarakat asli, serta peran perempuan dalam perdamaian.

”Dengan mengetahui keberhasilan dan kekurangan tersebut, orang lain bisa belajar,” kata Susan dalam panel diskusi konferensi internasional itu.

Isu perempuan

Perhatian Susan terhadap isu perempuan dan jender muncul awal tahun 1980-an, sejalan dengan semaraknya gerakan feminisme di berbagai belahan dunia. Suatu ketika, ada laki-laki calon doktor mempresentasikan hasil penelitiannya tentang kesadaran berpolitik di tiga desa di Jawa. Peneliti itu tidak dapat menjawab pertanyaan Susan tentang peran perempuan dalam politik.

”Dia bilang, dia tidak bertanya kepada perempuan. Saya kecewa sekali. Saat itu, banyak perempuan terlibat dalam politik karena gerakan PKI sangat kuat di daerah yang dia teliti,” cetus Susan.

Mulai tahun 1988 Susan serius meneliti gerakan perempuan di Indonesia, sejalan dengan kariernya sebagai pengajar. ”Buku pertama saya, History of Jakarta, tahun 1988, mengenai perempuan,” kata Susan, associate professor di Monash University.

Setelah itu dia melahirkan sejumlah buku dan banyak tulisan mengenai perempuan Indonesia, terutama yang berhubungan dengan gerakan dan politik. Beberapa di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Meskipun kini lensa penelitiannya mengarah ke Sri Lanka, Kamboja, dan Timor Leste, tetapi ia tetap mengikuti perkembangan politik Indonesia, termasuk pengesahan UU Pornografi oleh DPR, akhir Oktober lalu.

Isu pornografi, demikian Susan, dapat memecah gerakan perempuan yang, meskipun menguat setelah 1998, tetapi sebetulnya belum cukup kuat. ”Ada isu lebih penting untuk perempuan, seperti kesehatan, kemiskinan, dan pendidikan. Perempuan kembali digunakan, walau tak disengaja, oleh laki-laki dan parpol untuk memenangi simpati masyarakat, juga karena Pemilu 2009,” tambah mantan Presiden International Women's Development Agency itu.

Di Australia, demikian Susan, pornografi dan prostitusi adalah isu yang amat memecah gerakan perempuan selama lebih 100 tahun. Di satu sisi ada yang melihat pornografi dan prostitusi sebagai pemaksaan, isu moral, dan perempuan sebagai korban, di sisi lain ada yang menganggap dua hal itu pilihan dan tak melakukan penilaian atas dasar moral.

”Yang menarik dalam isu ini, seolah-olah yang terlibat hanya perempuan, sementara laki-laki sebagai pengguna, lolos dari perhatian. Ini karena perempuan selalu dilekatkan dengan isu moral. Ada standar ganda,” tambahnya.

Bekerja bersama

Dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, Susan mengatakan, perempuan harus bekerja bersama laki-laki.

Contohnya, dalam mengisi kuota 30 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat untuk perempuan. ”Saya menaruh harapan karena, di Indonesia, laki-laki feminis lebih kuat dukungannya daripada di negara lain,” kata Susan yang bersuamikan warga Amerika itu.

Australia, kata Susan, sudah memberi kursi kepada perempuan sejak 1901, tetapi baru pada 1928 ada perempuan pertama di parlemen federal. Peningkatan cukup tajam terhadap jumlah perempuan di parlemen baru terjadi tahun 1980-an, setelah partai politik memberlakukan kuota untuk perempuan dan melakukan pendidikan politik.

Sebagai peneliti dan akademisi dengan fokus politik Asia, politik pembangunan, dan perempuan dalam pembangunan dengan perhatian khusus pada Indonesia, Susan banyak membimbing mahasiswa asal Indonesia. Ia juga telah berkeliling Indonesia, kecuali Kalimantan dan Papua.

”Indonesia begitu besar. Setiap kali, saya menemukan hal baru, termasuk situasi perempuan,” kata Susan.

Otonomi daerah, misalnya, seharusnya meningkatkan kualitas demokrasi yang juga menguntungkan perempuan. ”Tetapi, lelaki masih dominan sehingga peraturan yang lahir mendiskriminasi perempuan. Di sini, aktivisme perempuan menjadi penting,” tambah dia.

Ia optimistis pada gerakan perempuan di Indonesia. Batalnya rancangan peraturan daerah Sumatera Barat, yang melarang perempuan keluar malam tanpa muhrim karena penolakan oleh gerakan perempuan dan perempuan anggota DPRD, adalah contohnya.

Dinamika politik Indonesia seperti itu amat menarik bagi peneliti seperti Susan. Dia mengaku beruntung dapat melihat perubahan politik Indonesia dari dekat.

”Saat pemerintahan Orde Baru (Orba), saya berpikir, kapan Orba akan berakhir, dan Indonesia akan jadi seperti apa? Masa depan akan berubah, nama-nama jalan (yang memakai nama pahlawan) akan berubah, dan orang-orang akan mengagumi orang-orang berbeda yang bukan militer.”

Tentang Dia

Nama: Susan Blackburn

Lahir: Adelaide, Australia, 26 Februari 1947

Pendidikan:

- BA (Honours) dari Adelaide University

- PhD dan Diploma of Education dari Monash University

Karier:

- Mengajar di Victoria University of Technology (Melbourne), Griffith University (Brisbane), dan sejak 1991 di Monash University

- Meneliti sejarah, politik, gerakan perempuan Indonesia, dan bantuan luar negeri

- Mengajar politik pembangunan, jender dalam politik Asia, politik Asia Tenggara, bantuan luar negeri, dan organisasi nonpemerintah untuk mahasiswa S-1, S-2

Buku di antaranya:

- ”Women and the State in Modern Indonesia” (Cambridge University Press, 2004)

- ”Practical Visionaries: A Study of Community Aid Abroad” (Melbourne University Press, 1993)

- Mengedit dan memberi pengantar buku ”Indonesian Islam in a New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities” (Clayton, Monash Asia Institute, 2007, bersama Bianca Smith dan Siti Syamsiyatun)

- ”The First Indonesian Women’s Congress of 1928” (Clayton, Monash Asia Institute, 2007)

- ”Love, Sex and Power” (Clayton, Monash Asia Institute, 2001)

Sumber: Kompas, Sabtu, 15 November 2008

No comments: