-- Mohamad Ali Hisyam*
SASTRAWAN Toeti Heraty pernah mengutarakan premis bahwa karya sastra (terlebih cerpen dan novel) adalah serupa cermin. Artinya, pada dimensi substantif, sastra tak ubahnya seperti permukaan kaca yang memiliki kemampuan menggugah dan mengajak pembaca untuk menyelisik paras realitas dalam gambaran yang begitu dekat, jernih, dan nyata.
Dengan ketekunan berkaca, manusia akan lebih membuka kemungkinan untuk bersitatap dengan dunia makna, tempat ia merenungi semesta kehidupan diri dan lingkungan sosialnya. Pelbagai karya sastra yang menghambur ke hadapan publik tentu akan teronggok sia-sia manakala kesadaran kita tertutup keengganan untuk membuka dan mengeja maknanya.
Dalam konteks ini, kita mesti bersyukur karena khazanah sastra Indonesia, sepanjang sejarah,tak pernah sepi dari kehadiran karya sastra yang berlatar fenomena agama (religius). Bila diamati, genre sastra religius senantiasa hadir menawarkan warna pesan yang kental,terutama di saat manusia (beragama) membutuhkan interpretasi yang gamblang dan mendalam dari setiap ritus-ritus keagamaan,semisal sembahyang, puasa,dan ibadah haji.
Karya sastra yang berlatar peristiwa haji selalu menarik untuk dikaji. Ini disebabkanpertama,ritus haji adalah ibadah bermotif wisata keagamaan (rihlah) yang melampirkan keterlibatan seseorang (pelaku haji) untuk menyaksikan secara langsung napak tilas sejarah beserta situs-situs peradaban (tools) yang bernilai religi. Dari sini, sastra menjadi bingkai yang sanggup melukiskan rangkaian peristiwa haji beserta ihwal yang melingkupinya secara deskriptif dan memukau.
Kedua, secara simbolis pengaruh dari ibadah haji kerap diidentikkan secara paralel dengan prilaku spiritual seseorang, baik selama pelaksanaan maupun setelah ia pulang kampung. Media yang jujur dan tanpa pretensi untuk mengungkap hal ini antara lain adalah sastra. Ketiga, atribusi sosial (status dan kebanggaan) tak bisa dinafikan masih menjadi tarikan kuat serta nuansa dominan dari ritual haji.
Di tengah kultur masyarakat agraris dan patronal seperti di Indonesia, berhaji adalah fasilitas istimewa (privelege) dan kehormatan yang, ironisnya, justru banyak disalahartikan. Minimnya kadar pendidikan dan rendahnya kesadaran beragama acap kali menjadi tabir yang kian menjauhkan pelaku haji (hujjaj) dari substansi hakiki ibadah haji itu sendiri.
Novel UlarKeempatkarya Gus TfSakai yang diterbitkan 2005 dengan genial berhasil memotret panorama buram birokratisasi haji yang pernah memayungi pelaksanaan ibadah haji di era Orde Baru (Orba) dan ini menjadi bangunan cerita yang mengesankan. Seperti kebanyakan kisah tentang haji,novel sastrawan asal Payakumbuh ini berangkat dari kisah nyata yang terjadi di awal 1970.
Di satu sisi, lewat tokoh Si Janir (aku),Gus Tf amat mahir memainkan pergulatan batin seorang jamaah haji yang selalu diselimuti aneka pertanyaan autokritik: benarkah ia berhaji semata karena Allah dan bukan karena warisan tradisi dan kebanggaan ”gelar” sosial yang selama ini diidamkan banyak orang? Tokoh Janir terus bertarung dengan kesadaran hatinya sendiri bahwa setan paling berbahaya dalam hidup manusia adalah ”ular keempat”,yakni kepongahan diri di hadapan Ilahi.
Pada lapis alur yang lain,karya yang menjadi salah satu pemenang sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 ini juga merangkai fakta sejarah yang memilukan, yakni 700-an jamaah haji di bawah bendera Husami Travel (agen swasta) harus terkatung-katung di tengah laut di atas Kapal Gambela hanya karena Departemen Agama pada masa pemerintahan Soeharto menganggapnya sebagai tur yang ilegal.
Kendati akhirnya mereka berhasil menunaikan ibadah haji, fenomena dramatis ”keabsahan administrasi” itu tak pelak menjadi aib nasional yang tidak hanya memantik pro-kontra banyak kalangan, tetapi juga telah menguras banyak air mata duka. Kemampuan sastra dalam membalut beragam kisah kemanusiaan menjadi suguhan yang renyah dan tak menggurui disebabkan kelembutan serta kehalusan cita rasa bahasa, di samping kelenturan ruang imajinasi yang tersedia di dalamnya.
Sinisme, satire, ataupun pesan kritik apabila dibungkus melalui media sastra,akan terasa indah dan teduh tanpa kehilangan daya gugah yang menjadi spirit vital di dalamnya.Potensi kepekaan dalam sastra lebih sering tersaring bukan lewat saluran otak yang panas, melainkan melalui rongga nurani yang lapang.
Pada konteks ini, bukan sesuatu yang musykil bila kemudian timbul pertanyaan,kapan Ular Keempatsebenarnya ditulis dan mengapa karya Gus Tf ini tidak diorbitkan di kala era Orba berkuasa? Pengendapan yang cukup panjang ini kiranya dapat dimaklumi karena rezim Orba lebih kerap tampil sebagai institusi pemberangus yang bertangan besi, represif, dan kedap kritik. Namun, tema dan latar universal semisal ritus haji menjadikan karya serupa ini hingga kapan pun tak pernah kehilangan aktualitasnya.
Hal yang penting disadari, drama kolosal haji adalah serangkaian peristiwa dengan semesta makna. Rona-rona kemanusiaan dan denyar spiritualitas di dalamnya akan terlukiskan abadi apabila karya sastra dijadikan kapstok yang membingkai utuh tiap detailnya. Sejatinya,cakrawala kesusastraan kita telah cukup banyak dan lama memotret peristiwa haji sebagai latar ataupun urat inti sebuah cerita.
Melalui novelnya,Dari Lembah ke Coolibah, Titis Basino mengajak kita untuk tiada pernah jemu menengok kembali makna ritual haji. Bagi Titis, haji sesungguhnya (sekadar) kejadian kemanusiaan biasa. Tapi, justru dalam dimensi ke- ”biasa”-an itulah, manusia disadarkan akan keterbatasan dan ketelanjangannya di mata Tuhan. Karena itu,munculnya tragedi, konflik, atau bahkan petualangan cinta antarinsan di dalamnya merupakan ”bumbu” kehidupan yang manusiawi belaka.
Justru dari situlah manusia ditantang agar sanggup membunuh setan untuk kemudian menemukan ”kemesraan” dengan Tuhan. Danarto pun pernah mengajak kita untuk sejenak merenungi hikmah haji dari beragam sisi. Antologi esainya, Orang Jawa Naik Haji,menyajikan paparanbahwahaji juga bisa berwujud sederetan tragedi yang konyol,memukau, haru biru,kelabu,bahkan lucu.
Di mata pengarang cerita-cerita surealis ini, ibadah haji tak jarang tampak sebagai parodi untuk menertawakan bangsa ini sebagai sarang segala korupsi, juga sebagai satire bagi kepolosan diri yang selalu mengeluh menerima perintah Tuhan.(*)
* Mohamad Ali Hisyam, Dosen di Universitas Trunojoyo Madura.
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 16 November 2008
No comments:
Post a Comment