Monday, March 16, 2009

Diskusi Buku: Manusia Tidak Bisa Melawan Takdir

Solo, Kompas - Manusia pada dasarnya tidak bisa melawan takdir Tuhan. Ramalan jangka panjang tentang suatu akhir zaman atau hari kematian yang dituliskan oleh para pujangga pada masa lampau sebatas upaya manusia untuk memberi tanda atau metafora.

”Ramalan tentang hari Kiamat, misalnya, hanya untuk mengingatkan manusia bahwa kehidupan ini telah tua. Seperti Zaman Kaliyuga yang disebut akan berakhir, tetapi tidak jelas persisnya kapan. Juga di tengah menjelang pemilu sekarang ini kerap diembuskan isu munculnya Satria Piningit. Satria Piningit yang mana itu?” ujar Radjiman, pemerhati sejarah dari Universitas Sebelas Maret Solo, dalam acara Rembuk Buku berjudul ”Ranggawarsita Menjawab Takdir” di Balai Soedjatmoko, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (14/3).

Acara tersebut menghadirkan J Syahban Yasasusatra, penulis Ranggawarsita Menjawab Takdir. Rembuk buku ini mendapat animo besar dari kalangan pemerhati budaya Jawa di Solo dan sekitarnya. RNg Ranggawarsita (1802-1873), pujangga terakhir Keraton Kasunanan Surakarta, dikenal lewat karyanya, Serat Kalatidha, yang menggambarkan ”zaman edan”, yang dinilai visioner.

J Syahban menyatakan, lewat bukunya dia hendak menegaskan sikap Sang Pujangga yang siap menghadapi takdir yang ditentukan oleh Tuhan. ”Pada Serat Sabda Jati Ki Rangga dianggap ’meramal’ hari kematiannya yang bakal terjadi delapan hari kemudian, tetapi tidak berarti dia sudah tahu akan hari kematiannya. Sesakti-sakti orang, menurut saya, tidak akan tahu hari kematiannya sendiri,” ujarnya.

Menurut Radjiman, Serat Sabda Jati yang dianggap memuat ”ramalan” kematian Sang Pujangga sebenarnya merupakan puncak kekecewaannya menghadapi persoalan kehidupan yang disandang rakyat ketika itu. Oleh Pemerintah Belanda, ia dianggap memberontak dan menghasut rakyat lewat artikel di majalah Bromartani yang dipimpin Ranggawarsita. Sementara di keraton yang dia abdi, Ki Rangga semakin terpinggirkan bahkan dipermalukan raja, Paku Buwana IX.

”Pengalaman yang penuh kekecewaan itu dia tuangkan dalam Serat Kalatidha, Jaka Lodhang, dan Sabda Jati,” kata Radjiman. (ASA)

Sumber: Kompas, Senin, 16 Maret 2009

No comments: