-- Esha Tegar Putra*
SETELAH Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) terbitan Akar Indonesia edisi 9 (sembilan) beberapa bulan yang lalu hadir dengan judul “Ratusan Mata di Mana-mana”, kini pada edisi 10 (sepuluh) JCI tampil dengan tema baru, “Regenerasi dan Panggung Muda Cerpen Indonesia”.
Joni Ariadinata, ketua umum JCI sekaligus redaktur mengakui dari ratusan undangan yang disebar ke penulis muda berbagai penjuru daerah, seperti lazimnya kompetisi, maka tak semua cerpen yang masuk ke meja redaksi bisa ditampilakan. Melalui proses seleksi yang ketat berdasarkan tingkat kreatifitas penulis, tawaran eksplorasi estetika, dan mengingat keterbatasan ruang pada JCI, akhirnya dari ratusan naskah yang diterima redaksi diputuskanlah 19 cerita pendek untuk ditampilkan.
Adapun penulis-penulis muda dengan cerpennya yang dianggap bisa mewakili suara terkini dari panggung mutakhir cerpen Indonesia dan dimuat dalam JCI edisi 10, diantaranya: Fina Sato (Sergei, catatan Negeri terakhir), Hasan Al Banna (Kurik), Nurul Hanafi (Permainan Angin dan Hujan), Wa Ode Wlan Ratna (Ara), Dalih Sembiring (Ujung), Azizah Hefni (Mata Ketiga), Kadek Sonia Piscayanti (Kosong), Mahwi Air Tawar (Mata Darah), Bramantio (Equilibrium), Dyah Merta (1920), Fasrudin Nasrulloh (Huru-hara Babarong), Yuni Kristianingsih (Pulang), Jusuf AN (Suara-suara yang Ditiupkan ke dalam Dada), Ragdi F. Daye (Rumah Menggigil), Hendra Kasmi (Lelaki di Kilometer 7), Sandi Firli (Kelak, dari Lumpur Itu Ada yang Bangkit), Ahmad Muchlis Amrin (Ronjhengan), Pandapotan MT Siallagan (kaset), Sunlie Thomas Alexander (Istri Muda Dewa Dapur).
Dalam esainya pada bagian terakhir JCI edisi 10, Nenden Lilis A., sastrawan sekaligus staf pengajar di jurusan Sastra Indonesia UPI Bandung ini menyatakan bahwa belum ada estetika menonjol yang bisa diklaim sebagai ciri khusus masa ini. Seperti halnya cerpen-cerpen yang mucul di tahun 1970-an, dimana secara global Indonesia menghadapi transisi budaya global dan secara politik terjadi perpindahan kekuasan dari Orde Lama ke Orde baru.
Cerpen-cerpen yang marak muncul pada tahun dekade tersebut mucul lewat reaksi perlawanan yang terjadi pada masa itu. Kritik terhadap krisis kebobrokan moral, krisis lingkungan dan politik, krisis keadilan dan HAM, merajalelanya materialistis, perkembangan teknologi, hal-hal tersebutlah yang memunculkan karya-karya sastra pada waktu tersebut memunculkan estetika yang tidak lazim dari konvensi biasa.
Sedangkan pada zaman Orba, Nenden menyatakan bahwa kecendrungan pemunculan cerpen-cerpen koran merupakan dominasi terhadap tema-tema sosial politik yang aktual, yang penyajiannya lebih mengedepankan gagasan hingga miskin bahasa dan penokohan. Selepas era reformasi, hal yang menonjol yakni tergalinya kembali sastra yang terpinggirkan. Nenden juga mengakui, cerpen-cerpen yang terdapat dalam JCI edisi10, yakni cerpen-cerpen yang berasal dari penulis-penulis dari berbagai daerah di Indonesia sudah mulai terlihat perhatian pada aspek pengungkapan cerpen dan hampir menjadi aspek yang dominan.
Di luar sastra koran (karya sastra yang dimuat di lembaran koran), JCI merupakan satu-satunya wadah pemuatan cerpen dalam bentuk jurnal dan himpunan banyak cerpen di Indonesia. Hal ini di luar lembaran-lembaran cerpen di majalah. Jurnal cerpen, dalam catatan redaksi, membuka ruang ekspresi sebebas-bebasnya pada kreatifitas, menampung kebebasan ide, gagasan orisinal, eksplorasi pada teknik, gaya, imajinasi, dan bahasa. Tidak ada pembatasan halaman atau pembatasan ideologi, dan penekanan-penekanan pada unsur yang menghambat keluasan penjelajahan kreatifitas bagi para penulis cerita pendek.
* Esha Tegar Putra, penulis dan penyuka buku tinggal di Padang
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 22 Maret 2009
No comments:
Post a Comment