Sunday, March 01, 2009

Lakon Menjadi Indonesia Put On

-- JJ Rizal

PUT On bukan sekadar nama. Seperti arti namanya sebagai ”si gelisah”, ia adalah potret kegelisahan zamannya.

Kho Wan Gie sebagai komikus memang menciptakan Put On pada Sabtu, 2 Agustus 1930, suatu masa di mana masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia sedang mengalami kegelisahan oleh dilema dan pencarian identitas.

Akan tetapi, sebagai komik strip yang muncul selama lebih dari 30 tahun, Put On telah mengalami berbagai zaman. Mulai dari pergolakan nasionalisme, perang kemerdekaan, modernisme, dan konflik ideologi-ideologi besar. Put On adalah ”pohon sejarah” yang tumbuh dengan akar, dahan, ranting, dan daun yang kaya warna jejak sejarah.

Dari sana, gema suara pentahbisan Put On oleh Arswendo Atmowiloto sebagai komik pertama di Indonesia yang diciptakan oleh orang Indonesia kian menguat. Sebab, akhirnya Put On tak sekadar potret masyarakat peranakan Tionghoa di Jakarta. Put On adalah cermin dari pengalaman banyak anak bangsa di masa-masa itu yang numplek di Jakarta dan mengalami yang disebut Lance Castles sebagai proses ”Tuhan menciptakan orang Indonesia!”.

Berlatar belakang itu menarik kalau kini—setelah Put On lenyap bersama peristiwa G30S 1965 dan sang penciptanya Kho Wan Gie wafat pada 1984—komik stripnya dibukukan. Sebab dapat dilihat bagaimana Put On sebagai Tionghoa peranakan menganggap Indonesia tanah airnya dan dengan antusias berusaha menjadi Indonesia. Ketika belajar menjadi Indonesia itu, Put On sering berakhir konyol.

Contohnya cerita Put On halaman 51. Pada ulang tahun proklamasi ke-13, teman-teman Put On akan membuat perayaan. Ia diminta menjadi pembaca teks pidato pembukaan. Ia berlatih serius menghafal teksnya di depan kaca. Lantang ia berpidato bahwa, ”Perajaan hari nasional kali ini agak istimewa… sebab berkenaan dengan berhasilnya penumbangan pemberontak petualang-petualang hingga mulai kokoh lagi persatuan nasional negara kita… marilah kita berseru INDONESIA BERSATU!”.

Tak ketinggalan disinggung ihwal ”gagalnya kaum intervensi imperialis” seraya sekali lagi mengajak ”marilah kita berseru AMBRUKLAH UNTUK SELAMANJA INTERVENSIONIS IMPERIALIS!”

Latihan Put On itu menarik dua adiknya yang lantas melapor ke ibunya, Si Ne. Demi mendapat laporan Put On ”berdiri sendirian di kamar, mulutnja kaga brenti kemak-kemik… kadang-kadang dia bersuara keras dengan tangan memeta”, maka ibunya jadi waswas. Sambil menyebut, ”Ja! Allah…” diperintahkannya supaya ”bawa bara pendupaan” dengan menyan. Si Ne masuk kamar Put On dengan pendupaan berkebul-kebul bikin upacara pengusiran setan. Put On dianggap kesurupan.

Nasionalisme ala Put On

Zaman Soekarno siapa pun didorong membuktikan kenasionalisan dan kepatriotikan, terlebih para peranakan Tionghoa. Pada halaman 29 tersaji contohnya. Ketika Indonesia mengalami masalah produksi pangan, Put On ikut anjuran presiden untuk menanam singkong. Ia antusias mengikuti anjuran itu sebab berharap ketika mencangkul bisa menemukan harta karun. Saking giatnya, Si Lin yang juga ingin ikut ”menjonto nanam singkong” meminta Put On mencakuli halaman rumahnya. Put On setuju. Tapi sudah mandi keringat, belepotan tanah mencangkul sana-sini, harta karun tak jua ketemu. Lebih sial lagi, dia pun cuma dianggap ibu Si Lin sebagai kuli pacul.

Dalam berkebudayaan, Put On memperlihatkan bahwa ia berusaha mengamalkan seruan Manipol, yaitu ”berkepribadian dalam kebudayaan”. Put On pun bersama teman-temannya menari lenso sambil bernyanyi ”rasa sayang-sayang nge” (hal 34). Bahkan, di halaman 63 tergambar Put On meminjam alat musik tradisional gambang. Kedua adik juga ibunya menyambut gembira. ”Beladjar jang betul On… gua lebih suka denger gambang dari segala orkes, orkes, apa,” begitu pesan ibunya. Put On pun berusaha belajar, tetapi tak juga mahir. Hal ini dijadikan bahan ejekan oleh adik-adiknya. Terjadilah cekcok sehingga Si Ne keluar kamar dan nyap-nyap ke Put On.

Namun, Kho Wan Gie pun memperlihatkan kalau Put On sering tergoda menjauh dari ”berkepribadian dalam kebudayaan”. Ia ikut belajar dansa (hal 6). Ia memakai celana jengki yang saat itu dianggap kebarat-baratan sehingga dilarang, bahkan dirazia (hal 3).

Akan tetapi, bagaimanapun usaha keras Put On mengidentifikasi diri sebagai Indonesia lebih kuat. Kalau ia mengikuti tradisi-budaya peranakan Tionghoa, maka itu tradisi budaya yang disebut James Danandjaja sebagai ”folklore Betawi tempo doeloe”, berasal dari Tiongkok, tetapi sudah mengalami adaptasi sehingga sudah bukan asli lagi dan lebih merupakan identitas lokal yang khas.

Misalnya Perayaan Sin Tjia (tahun baru China) beserta Cap Gow Meh, Pek Chun, dan Cheng Beng.

Milik semua

Sebagai peranakan Tionghoa, Put On tak betah bergaul dengan China totok. Ia lebih akrab dan nyaman bergaul dengan etnis lain Indonesia, selain dengan peranakan Tionghoa kalangan bawah (baca: rakyat). Dan Put On memang rakyat sebab selain sering digambarkan bercelana kutung tak ubahnya orang kampung, ia juga terbelit kesulitan ekonomi.

Namun, dalam kesulitan itu, sebagai urban kota, ia tetap digambarkan setil (bergaya) dan kelimis (rapi dan bersih). Si Ne pakai kebaya encim dan sarung batik. Put On, Si Ne, dan adik-adiknya tidak berbahasa China (tidak bisa!). Mereka omong cara Melayu Tionghoa- Betawi. Ada memang campuran dialek Hokkian, tetapi juga bahasa Belanda Peco. Inilah bahasa khas yang tumbuh di Jakarta dan menjadi cikal bakal bahasa yang sohor disebut bahasa Melayu-Jakarta. Bahasa ini disebut Ben Anderson di zaman Orde Baru merajalela menjadi bahasa pergaulan rakyat Indonesia yang merasa tidak pas dengan bahasa Indonesia gaya EYD.

Sebab itu yang kepincut membaca Put On pada zamannya bukan saja para Tionghoa peranakan, tetapi juga anak bangsa yang lainnya. Para pembaca Put On yang masih ada umur—dari generasi voor de oorlog (sebelum perang), zaman bersiap dan zaman Bung Karno—tentunya akan dibangkitkan kenangan warna- warni zaman mereka. Adapun bagi generasi baru, Put On bukan saja suatu dokumen sosial yang kaya untuk mendapatkan gambaran Indonesia sejak 1930-1965, tetapi juga contoh pencarian identitas dan penyesuaian diri antara proses becoming Indonesia dan kecemasan sepanjang perubahan politik, sosial, dan budaya Indonesia.

Sampai di sini, maka bertemulah dengan tujuan buku ini. Wahyu Wibisana dan Harianto Sanusi sebagai penyunting menyatakan tujuannya adalah memperingati 100 tahun kelahiran Kho Wan Gie. Sekaligus mengaitkannya dengan momentum 100 tahun kebangkitan nasional. Begitulah dicari kesejajaran pengaryaan komik Put On dan hikmah sejarah tahun 1908 yang notabene adalah sama, yaitu ”menjadi Indonesia”. Adalah benar bahwa dua dasawarsa pertama abad ke-20 Indonesia adalah the decade of identities. Dan kaum peranakan Tionghoa di Indonesia pun tak kurang hebatnya mencari identitas.

Tidak utuh

Selain Chung Hwa Hui dan Partai Tionghoa Indonesia, kelompok Sin Po yang menjadi tempat kelahiran Put On adalah salah satu dari tiga aliran utama politik kaum Tionghoa peranakan di Hindia. Sin Po menghendaki agar orang Tionghoa di Hindia, baik peranakan maupun totok, harus menganggap diri sebagai orang China. China adalah tanah air orang Tionghoa Hindia. Dalam konteks itulah menarik mengamati Put On pada masa pertama penampilannya, yaitu Sin Po 1930-1942. Sayang, penyunting tidak memasukkan Put On dari periode itu.

Penyunting pun tidak memasukkan Put On dari periode setelah kemerdekaan. Saat itu Put On tampil kembali di Star Weekly yang terbit pada Januari 1946. Ini adalah kelompok yang bertolak belakang dengan Sin Po. Majalah ini muncul pada suatu masa yang bagi kelompok Tionghoa sangat menegangkan karena terjadinya penyerangan terhadap mereka oleh masyarakat pribumi.

Melalui penelitian yang bagus dari Myra Sidharta, dapat diketahui Put On masih berorientasi ke China pada masa Sin Po dan awal Star Weekly. Dalam Sin Po edisi tahun baru macan (25/1/38), Put On bersama teman-temannya angkat gelas seraya menabik Chung Hwa Min Kuo Wan Sui (Hidup Republik Rakyat China). Pada penampilan bertitimangsa 25/6/1947, Put On melibatkan diri dalam Pao An Tui yang memberikan impresi orang China mempersenjatai diri untuk melawan kemerdekaan RI.

Begitulah Put On yang ditampilkan Wahyu dan Harianto. Tampak banyak kekurangan dan pengabaian sehingga niat mengangkat lakon menjadi Indonesia Put On jadi tak utuh. Terkesan komik strip Put On dikumpulkan sekenanya. Tiada keterangan di mana dimuat dan kapan. Tiada anotasi untuk segambreng kata-kata Melayu Tionghoa-Betawi atau khas sezaman, seperti tjimpo, lojar, japon, shedjit, spud, konyan, ngendon, perdio, kopiok, dan tuter. Alhasil, kenikmatan untuk mengikuti lakon menjadi Indonesia Put On tinggal seperti menonton >small 2small 0
* JJ Rizal, Peneliti Sejarah di Komunitas Bambu

Sumber: Kompas, Minggu, 1 Maret 2009

No comments: