-- Nurul Fahmi
INVESYTASI buku dalam keluarga sama dengan investasi ilmu pengetahuan bagi anggota keluarga, khususnya anak-anak. Artinya sama dengan menyiapkan sumber daya alam yang bukan hanya cerdas, tapi kritis, kreatif sekaligus inovatif.
Hal ini menjadi penting guna meredam pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh tayangan televisi terhadap anak. Pesona audio visual–yang menyihir—tersebut perlu diimbangi dengan kebiasaan literer (baca-tulis). Membiasakan anak-anak untuk bergaul dan akrab dengan buku-buku semestinya menjadi keharusan bagi orangtua, sebab tak jarang individu—manusia dewasa—merasa asing dengan buku-buku—yang secara otomatis asing pula dengan ilmu dan pengetahuan—karena sejak dini dalam keluarga mereka tidak diperkenalkan dengan buku-buku.
Kebiasaan inilah—kebiasaan tidak mengakrabi buku-buku dan ilmu pengetahuan—yang kelak menjadikan anak-anak cenderung berpikir secara linear, dan bahkan miskin imajinasi. Mandulnya imajinasi merupakan sebab—kalau boleh digeneralisir—bangsa ini gagal meraih peluang dan kesempatan untuk berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju. Bukankah peradaban-peradaban besar dari bangsa-bangsa besar dimulai dari sebuah mimpi atau imajinasi?
Dan imanjinasi merupakan proses atau akumulasi peristiwa atau teks yang berkelindan dalam alam bawah sadar manusia. Alam bawah sadar manusia itu terbentuk sejak manusia pertama kali dipancarkan ke muka bumi dari rahim ibu sampai pada perkembangan selanjutnya. Dalam masa perkembangan awal manusia itulah pentingnya mentransfer nilai-nilai serta hal-hal lainnya yang positif. Salah satu hal positif tersebut adalah menumbuhkan minat baca—yang akan menstimulasi rasa ingin tahu anak—dengan menyediakan bahan bacaan dalam bentuk buku-buku dan lainnya.
Fenomena Ponari dan Keilmuan
Bangsa yang menghargai buku sama dengan bangsa yang menghargai ilmu pengetahuan. Fenomena Ponari—dukun cilik dari Jombang—bukan lagi merupakan preseden buruk bagi dunia kedokteran dan kesehatan, tapi lebih jauh merupakan cermin betapa bangsa ini tidak menghargai ilmu pengetahuan. Buku-buku—yang merupakan sumber ilmu pengetahuan—menjadi sesuatu yang elit dan hanya konsumsi kaum intelektualnya saja.
Pada tataran yang lebih nyata dalam produksi buku, penghargaan terhadap buku—serta para penulisnya—sangat rendah sekali. Sebagai bukti adalah kasus pembajakan buku (pelanggaran hak cipta). Ironisnya, pelanggaran hak cipta yang berkenaan dengan buku tidak saja dilakukan oleh oknum-oknum diluar mata rantai penerbitan, tapi justru dilakukan oleh penerbit itu sendiri. Saya membaca pengantar buku Asian Copyright Handbook (2006) oleh Ajib Rosidi, yang menyebutkan bahwa pelanggaran atas haknya sebagai pengarang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit besar dengan tidak memberikan royalti atas cetak ulang buku-bukunya, serta tidak adanya transparasi penjualan buku-bukunya.
Lantas bagaimana masyarakat dapat memaknai pentingnya sebuah buku, jika pihak-pihak yang terkait saja tidak peduli terhadap rantai-rantai yang mempertautkan sebuah penerbitan buku, seperti pengarang, misalnya. Represi pemerintah dalam bentuk pencekalan terhadap buku yang dianggap berbahaya juga merupakan pemicu bagi masyarakat untuk memaknai bahwa sebuah buku dapat sangat berbahaya, dan untuk itu mesti diwaspadai.
Minat baca masyarakat kita
Membaca masih dianggap sebagai kegiatan segelintir orang yang berkutat dalam dunia intelektual, seperti pelajar dan mahasiswa. Karenanya, membaca merupakan sesuatu yang terkesan elitis dan asing. Pemahaman seperti ini tumbuh lama dalam ruang sadar masyarakat. Indikatornya adalah sepinya pustaka-pustaka dan toko-toko buku dari pengunjung umum.
Namun, peryataan ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan betul, sebab kemungkinan lain dari kegiatan membaca secara “tradisional” (memegang dan melototi buku dalam bentuk cetak) telah mengalami pergeseran kepada cara membaca secara online melalui dunia maya. Hal ini menjadi mungkin sebab produksi buku-buku digital atau bacaan lain yang dapat diunduh secara gratis merupakan trend terkini dalam dunia informasi berteknologi tinggi seperti saat ini, yang jelas memiliki nilai ekonomis dan praktis.
Hari ini kita bisa saja tidak membaca buku atau koran secara tradisional, melainkan mendapatkannya dengan memelototi monitor komputer yang terhubung dengan dunia luar. Jadi butuh penelitian yang lebih serius untuk mengetahui minat baca terkini dari masyarakat kita mengingat telah terjadi pergeseran-pergeseran dalam cara membaca.n
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 01 Maret 2009
No comments:
Post a Comment