Jakarta - Sebagian orang percaya bahwa apa yang tertuang di karya fiksi sesungguhnya menggambarkan realitas dalam masyarakat. Ketika realitas terlalu tabu untuk diungkapkan secara nonfiksi, fiksi pun menjadi pilihan.
Begitulah Mery DT, seorang penulis yang baru pertama kali menerbitkan novelnya, ketika mengangkat isu lesbian. Judulnya terasa “sangat Inggris”, Love You Till The End. Novel terbitan FoU Media Publisher ini sekilas seperti menggambarkan percintaan biasa, antara laki-laki dan perempuan. Tokoh utamanya bernama Audrey yang berpasangan dengan tokoh Junet, nama yang bias gender, bisa laki-laki, bisa pula perempuan. Di awal novel, Mery menceritakan bagaimana ketidaketenangan Audrey dalam mengarungi hidupan dengan seorang suami di sampingnya. Memasuki bab berikutnya, barulah Mery berani mengungkapkan alasan ketidaktenangan Audrey itu.
Ya, Audrey pernah mengalami asmara yang masih tabu untuk dibicarakan di muka umum, ia seorang lesbian. Junet adalah pasangan lesbiannya. “Kehidupan wanita yang seperti ini jarang ditulis, tapi tidak bisa dimungkiri bahwa kehidupan seperti ini ada,” ujar Mery dalam peluncuran novel setebal 183 halaman itu di Kinokuniya Plaza Senayan, Jakarta, Jumat (27/3).
Mery menjadi satu di antara beberapa penulis yang mulai berani untuk mengisahkan hal yang bagi sebagain besar orang Indonesia masih tabu meskipun di Amerika Serikat, novel-novel seperti ini sudah banyak bermunculan. Sebelum dia, Alberthiene Endah juga pernah menulis kisah cinta sepasang lesbian dibalut dengan konflik dunia narkoba dalam Jangan Beri Aku Narkoba yang kemudian difilmkan menjadi Detik Terakhir. Novel itu mendapat penghargaan dari Ikatan Penerbit Indonesia sebagai buku remaja terbaik.
Ratih Kumala juga pernah mengangkat isu ini dalam novelnya berjudul Tabula Rasa. Novel itu menjadi juara ketiga dalam kompetisi yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003. Lalu, ada Ernest JK Wen yang membuat Sepasang Remaja Lesbian di Persimpangan Jalan. Clara Ng pernah muncul dengan novel Gerhana Kembar, juga Herlinatiens dengan Garis Tepi Seorang Lesbian.
Kurang Maksimal
Kamelia, seorang lesbian, mengatakan bahwa novel Mery DT ini sangat baik untuk pembelajaran masyarakat tentang para lesbian. Mery memang tidak terlalu banyak melakukan riset. Ia hanya mengamati perilaku para lesbian ditambah dengan bahan bacaan dari internet. Mery bukan satu di antara para lesbian itu.
Namun, bagi Kamelia, justru itu yang menjadi kelebihan Mery. “Dia adalah seorang heteroseksual yang terbuka pikirannya untuk bisa menerima adanya golongan lain,” kata Kamelia yang menghadiri peluncuran novel itu.
Sayangnya, novel ini kurang digarap maksimal. Masih banyak keslahan ketik yang bisa ditemukan. Belum lagi kesalahan ejaan bahasa yang semestinya menjadi tanggung jawab penerbit.
Mery ingin membuat novel ini menjadi bacaan ringan dengan kalimat-kalimat yang sangat pop, khas anak muda di zamannya. Ada kesan, Mery juga berada di persimpangan jalan ketika menentukan gaya bercerita. Di awal, ia menggunakan gaya diaan (menggunakan sudut pandang orang ketiga) serba tahu, lalu tiba-tiba berubah menjadi akuan (sudut pandang orang pertama). (mila novita)
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 28 Maret 2009
No comments:
Post a Comment