-- Bambang Sugiharto*
”HUMANISME” adalah isu yang kini telah menjadi purba, kedaluwarsa. Begitulah kesan umum dalam era pascamodern milenium ketiga ini. Namun, sebetulnya itu tidak sepenuhnya benar.
Sebagai aliran filsafat ataupun ideologi, mungkin hal itu memang sudah berlalu. Humanisme telah didekonstruksi, dari sisi teoretis maupun praktik. Namun sebagai wacana reflektif ihwal humanitas atau tentang apa artinya menjadi manusia, hal itu jauh dari kedaluwarsa. ”Humanisme” kini justru menuntut perenungan ulang.
Dalam arus perubahan yang demikian cepat dan mendasar, sistem-sistem keyakinan tradisional memang terasa tak lagi memadai untuk memahami kompleksitas dunia manusia. Meskipun demikian, dinamika perkembangan pemikiran ihwal manusia pada masa lalu akan mempertajam pengamatan kita atas apa yang sesungguhnya menjadi pokok persoalan manusia hari ini dan masa depan.
Persoalan humanisme
Pada intinya, humanisme adalah gerakan sosiokultural yang secara sistematik berusaha mengartikulasikan makna humanitas atau kodrat manusiawi: apa kira-kira tujuan kepenuhan hidupnya dan apa tolok ukur kemajuan peradaban moralnya. Dalam percaturan wacana ilmiah Barat wujud awalnya sudah tampak pada sistem pendidikan Paideia Yunani antik. Berkembang dalam kurikulum Artes Liberales di Abad Pertengahan.
Humanisme lalu menjadi narasi besar dan gerakan budaya pada masa Renaisans sekitar abad ke-15. Gerakan ini ditopang para sarjana (Umanisti) yang mempelajari kurikulum Studia Humanitatis (yang kini biasa disebut Humaniora alias ilmu-ilmu yang dianggap membuat manusia lebih manusiawi).
Bila ”humanisme” kita artikan secara luas sebagai bermacam upaya untuk merumuskan hakikat dan ideal humanitas, sejak humanisme Renaisans praktis dunia intelektual modern Barat merupakan rentetan pemikiran yang terus-menerus mengkaji ulang gerakan awal itu melalui berbagai versi ”humanisme” barunya. Meski demikian, tak selalu menggunakan label ”humanisme” secara eksplisit.
Pada abad ke-17, misalnya, ada humanisme Protestan; di sekitar Abad Pencerahan ada humanisme Rasionalistik. Abad ke-19 ada humanisme Romantik yang bertegangan dengan humanisme Positivistik. Ada pula humanisme Revolusioner yang dijinakkan kemudian oleh humanisme Liberal; belum lagi humanisme Nazi dan versi para korbannya.
Masih lebih banyak lagi. Pada pertengahan abad ke-20, kita menyaksikan humanisme versi eksistensialisme, pragmatisme ataupun marxisme. Di pengujung abad ke-20, muncul humanisme yang ”antihumanis” versi Heidegger, atau sebaliknya, antihumanisme yang justru ”humanis” versi Foucault.
Lantas ada pula humanisme baru Gereja Katolik ala Paus Yohannes Paulus II. Masing-masing memiliki sejarah dan pendasarannya sendiri, dengan terminologi dan wacana retoriknya sendiri, tetapi terutama dengan korban-korban ideologisnya masing-masing.
Ironi yang terakhir itulah masalahnya: berbagai ideal kemanusiaan dalam kenyataannya membawa kebrutalan-kebrutalan dan korban tertentu juga yang tidak manusiawi. Di balik ideal-ideal itu, unsur kepentingan dan aksen kelas, ras, jender, atau asumsi-asumsi metafisik tertentu sepertinya tak terhindarkan, yang lantas melahirkan diskriminasi berikut konsekuensinya. Humanisme Renaisans, misalnya, ditandai pula dengan tirani keluarga Borgias, Medici, dan Tudor.
Para pembebas macam orang-orang Yunani, Romawi, bahkan kolonial Amerika dalam kenyataannya juga memiliki budak-budak. Dalam berbagai zaman, ideal kemanusiaan nyatanya kerap tidak memperhitungkan kaum perempuan; menyingkirkan mereka yang tidak berbahasa Yunani, Latin, atau Inggris. Merendahkan yang tidak berkulit putih, menelantarkan anak-anak, dan seterusnya.
Menyiangi persoalan
Perspektif pascamodern telah dengan telak mengkritik dan membongkar berbagai bentuk ”humanisme” juga. Secara teoretis, misalnya, humanisme telah dianggap terlampau antroposentris dan merupakan agen utama pengusung universalisme.
Universalisme tak lain daripada imperialisme terselubung; bersifat individualistis, falosentris, kepanjangan dari ideologi kaum borjuis, dan sebagainya.
Dalam kenyataannya, manusia kini hanyalah produk mesin sejarah dan barang mainan gurita konglomerasi raksasa. Sementara itu, di dunia non-Barat humanisme kerap dianggap biang keladi individualisme, dan di bidang keagamaan dituding sebagai penyebab pemurtadan.
Meski demikian, kendati air bekas mandi bayi memang kotor, kita toh tak perlu membuangnya sekaligus dengan bayinya.
Bermacam bentuk humanisme adalah upaya-upaya dalam beragam konteks untuk senantiasa melihat manusia sebagai pusat gravitasi yang tak pernah bisa diabaikan. Sistem-sistem hukum modern yang penting, demokrasi, pemberdayaan masyarakat sipil, norma-norma kinerja birokrasi, adalah beberapa saja dari banyak prestasi yang telah lahir dari berbagai bentuk humanisme.
Di sisi lain, dalam dunia yang kian terancam fanatisme kelompok dengan tendensi penghukuman semena-mena terhadap segala pihak yang ”lain”, hanya bentuk-bentuk humanisme pulalah yang merupakan alternatif-alternatif paling menarik.
Humanisme kini
Masalahnya hanyalah bahwa kini humanisme lebih baik, tak lagi dilihat dari posisi subyek (manusia) sebagai pusat gravitasi. Mengambil inspirasi dari fenomenologi Levinasian dan poststrukturalisme Foucauldian, humanisme kini dapat berangkat dari ”yang Lain” atau ”Liyan” dan berbagai struktur luaran, yang memungkinkan aku menemukan diriku sebagai subyek.
Dalam kerangka macam ini, kemanusiaan lantas bukanlah esensi bukan pula tujuan, melainkan proses yang berkesinambungan. Humanisme adalah proses yang dinamis untuk memahami apa artinya menjadi manusia, melalui hubungan dan dinamika perbedaan.
Meski demikian, paradoksnya, humanisme sekaligus adalah juga proses mempertahankan sikap kritis terus-menerus di hadapan segala otoritas luaran yang memaksakan kehendaknya tanpa alasan yang jelas.
Sikap kritis-otonom macam itu pulalah sebenarnya yang sepanjang zaman telah melindungi martabat manusia dari segala bentuk manipulasi, penjajahan, dan kesewenangan oleh sistem-sistem kekuasaan.
Sikap kritis, dan terutama oto-kritik, ini pula yang akan mencegah ideal-ideal kemanusiaan menimbulkan banyak korban, dan membimbing spesies manusia pada kematangan evolusinya.
* Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat di Universitas Parahyangan, Bandung, dan Institut Teknologi Bandung (ITB), Editor Buku Humanisme dan Humaniora: Relevansinya bagi Pendidikan (Jalasutra, 2008)
Sumber: Kompas, Sabtu, 21 Maret 2009
No comments:
Post a Comment