-- Esha Tegar Putra
MENYIMAK tulisan Romi Zarman (RZ), dengan judul Catatan atas Forum Diskusi Sastra Sumbar (Padeks, Minggu, 15/2), membuat saya kembali bertanya-tanya tentang wajah kesenian dan lembaga kesenian Sumbar hari ini. Ya, bagaimanakah wajah kesenian dan lembaga kesenian Sumbar hari ini? Kiranya pada tulisan RZ tersebut, data yang dipaparkan merupakan data faktual dalam kesusastraan Sumbar hari ini, sastrawan dan penyebaran karyanya. Juga forum-forum yang dilaksanakan berdasarkan ide-ide dari para penggiat sastra yang merasa kurangnya apresiasi, “penghargaan”, apalagi perhatian lembaga semacam Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), yang seharusnya menjadi ruang dan mediasi bagi kelansungan dunia kesenian, termasuk perkembangan kesusastraan yang dibahas RZ.
Menengok lagi ke belakang, menelisik muasal forum-forum kesusastraan yang setahun belakangan hadir di Sumbar, khususnya Forum Diskusi Sastra Sumbar (FDSSB) yang sudah diadakan tiga kali, secara insiatif dan seadanya oleh fasilitator acara—dan cuma ini forum diskusi sastra paling diapresiasi selain forum-forum kecil yang diadakan komunitas-komunitas sastra independen.
Dalam pelepasan panitia Temu penyair 2008, di ruang seminar Fakultas Sastra Unand, bulan Mei 2008, disepakatilah untuk membentuk sebuah forum tempat membahas perkembangan sastra Sumbar sekaligus ajang silaturahmi. Menurut kesepakatan tersebut forum akan difasilitasi oleh Komunitas Seni Intro (Payakumbuh), Fakultas Sastra Unand, DKSB. Karena forum direncanakan sehali tiga bulan, baru inilah fasilitator, diambil atas kesepakatan dari wakil yang hadir.
Selepas acara FDSSB pertama di Komunitas Seni Intro, 28 Juni 2008, datang penawaran dari beberapa orang penggiat kesusastraan di UNP yang menjadi tamu pada acara tersebut, khususnya mahasiswa UNP (diantaranya yang bergiat di UK-Kes dan Komunitas Ruangsempit) untuk ikut memfasilitasi acara FDSSB ke depannya. Suatu apresiasi yang baik bagi kelanjutan FDSSB, akan tetapi kesepakatan sebelumnya sudah dibuat, tetap acara ke-2 dilanjutkan oleh Fakultas Sastra Unand, dan ke-3 adalah DKSB. Acara FDSSB ke-2 berlanjut pada 19 September 2008, meski banyak undangan dan wakil dari DKSB (yang akan membicarakan kelanjutan FDSSB) tidak datang.
Selaku salah satu penggagas FDSSB, saya dan beberapa orang kawan lainnya berinisiatif untuk mengalihkahkan forum ke UNP. Dan beberapa penggiat kesusastraan UNP (mahasiswa) bersedia melanjutkan tali silaturahmi ini. Hal ini dilakukan, memang, supaya mata rantai yang sudah dijalin tersebut tetap berpautan, tidak putus. Karena geliat kesusastraan di Sumbar belakangan ini kian bergairah. Lihat saja data yang diberikan oleh RZ pada tulisannya, juga sebelumnya saya pernah menulis data yang sama dalam kapasitas bahasan berbeda di koran yang sama.
Akhirnya acara FDSSB diadakan di UNP, pada tanggal 3 Januari 2009, meski acara ini diundur beberapa waktu, tapi fasilitator di UNP berusaha memaksimalkan acara, apresiasipun berdatangan dari beberapa penggiat kesusastraan dan seniman lainnya—khususnya anak-anak muda yang berkapasitas sebagai mahasiswa dan SMA yang datang dari Komunitas Intro. Sangat disayangkan sekali salah seorang wakil dari DKSB yang akan membicarakan kelanjutan FDSSB juga tidak ada.
Dilema Lembaga Kesenian
Pada tataran pokok, Sastra, adalah bagian dari tubuh (komite) kesenian di DKSB, selanjutnya komite-komite seni lainnya. DKSB sebagai salah satu fasilitator dalam dunia kesenian Sumbar seharusnya merangkul senimannya. Beberapa kegiatan di DKSB setahun belakangan tak terdengar gaungnya, tak ada kegiatan memajukan yang tampak. Kesannya, acara atau kegiatan yang diadan DKSB tidak termanej, seperti dadakan, tidak terencana dengan baik. Adakah acara-acara lain yang membahas kemajuan kesenian terkini di Sumbar dari DKSB?
Lihat saja paparan data RZ tentang penulis-penulis “muda” yang berusaha untuk tetap eksis untuk Sumbar, atau kegiatan yang bertajuk film, teater, seni rupa setahun belakangan. Toh, beberapa perupa muda Sumbar beberapa kali juga karyanya dipajang di beberapa galeri di Bali, Jakarta, dsb. Hal ini perlu diapresiasi oleh DKSB sebagai tubuh dari dunia kesenian sumbar itu sendiri. Atau mengenai berbagai polemik mengenai dunia kesenian Sumbar, tak pernah mendapat tanggapan sedikit pun dari DKSB, tak ada inisiatif memajukan, begitulah kesan dan kenyataannya.
DKSB kita “gendut” tak bisa mengurus dirinya sendiri, apalagi mengurus kesenian, seharusnya kita bantu, begitulah istilah Fadlillah dalam tulisannya beberapa bulan silam di halaman yang sama. Tapi istilah tersebut saya artikan dengan; seniman sekarang “kiper maju”, penjaga gawang yang jadi penyerang. Seniman berkarya, memanajemen karyanya sendiri, mencari dana sendiri, mempublikasikan sendiri, bahkan untuk tahap apresiasi harus “sendiri” ( sendiri dalam tanda kutip, meski secara kelompok tetap saja senimannya, bukan institusi yang seharusnya). DKSB yang seharusnya menjadi tempat mengadu bagi seniman. Tentunya tanpa DKSB pun seniman jalan sendiri, sastrawan tetap bisa menulis dan publikasi karya, perupa juga bisa berkarya dan memamerkan karyanya, bukan?
Tapi persoalannya bukan sebatas itu. Jika ini dibiarkan akan terus berlanjut dan lembaga kesenian Sumbar akan jalan ditempat. Meski Taman Budaya Sumbar yang berdampingan dengan DKSB mempunyai beragam ruang dan fasililitas dan aktifitas kesenian, tapi dalam porsi yang berbeda, lain lahan garapnnya. “Saya pikir, kita perlu evaluasi” begitulah ungkap RZ di akhir tulisannya tentang FDSSB yang sekarang tak lagi jelas kelanjutannya karena seharusnya diadakan oleh DKSB. Kiranya bukan hanya satu bagian yang perlu dievaluasi, tapi fungsi komite kesenian yang berada di bawah naungan DKSB harus jelas tujuan ke depannya. Apa misi dan visi DKSB sebenarnya untuk kesenian Sumbar? Bukankah itu yang kita inginkan? Kesenian bukan hanya untuk seniman tapi untuk masyarakat dan kesenian Sumbar. Gairah ini perlu diapresiasi, “dihargai!”
Evaluasi dan Wacana Baru
Kiranya DKSB perlu memikirkan ini ke depan. Seniman adalah organ tubuh DKSB perlu dirangkul lagi, bekerja sama. Data base seniman terkini harus ada (jika yang lama ada datanya) dan perlu evaluasi dengan seniman itu sendiri dalam berbagai soal, mungkin dalam kejelasan dana bagi DKSB dan even-even apa saja yang akan dilakukan demi kemanjuan kesenian Sumbar. Dan ini sudah setahun kepengurusan DKSB yang baru, selepas kepengurusan Ivan Adilla berpindah pada Harris Effendi Thahar dan jajaran. Perlu evaluasi setahun kepengurusan ini, dijelaskan pada seniman, apa yang akan kita lakukan ke depan, secara bersama-sama.
Kiranya banyak sekali kegiatan-kegiatan yang tidak terlaksana lagi, atau mungkin, ada agenda yang baru dari pengurus DKSB (?). Saya contohkan saja, di bidang kesusastraan tidak ada lagi kegiatan workshop kepenulisan, puisi, cerpen dan naskah drama. Tak ada lagi agenda yang pasti mengenai diskusi-diskusi sastra dan seni. Toh, acara yang disepakati oleh pihak DKSB seperi FDSSB Sumbar belum ada kelanjutannya dan ini harus dibicarakan lagi. Dan yang terpenting, selaku seniman, saya berharap DKSB menjadi fasilitator bagi bidang seni yang dinaunginya untuk menjadi perpanjangan tangan ke berbagai pihak sebagai mestinya, mungkin dalam hal finansial yang dibicarakan RZ , tapi dalam taraf yang jelas, dan tidak terkesan percuma.
Jika RZ mencontohkan dengan seniman-seniman Riau yang diperbantukan dana dan fasilitas yang melimpah, mungkin DKSB kita tidak perlu begitu. Hanya saja perhatian yang baik bagi karya seniman-seniman di Sumbar adalah sesuatu “penghargaan” dan itu sudah menjadikan motifasi bagi seniman untuk berkarya lebih baik.
Banyak sekali seniman-seniman Sumbar yang diundang karya-karyanya keluar, contohkan saja seni rupa. Atau karya-karya sastra, dan beragam undangan yang tak sempat dihadiri karena persoalan finansial seniman.
Tentunya ini hanya bagian kecil dari persoalan seniman, dan berharap untuk ke depan DKSB cepat tanggap, demi kemajuan kesenian Sumbar. Evaluasi, ini memang perlu, perlu ada penjelasan bagi seniman sebagai organ DKSB. Apa yang akan kita lakukan ke depan untuk kesenian Sumbar? Tak mesti diadakan biennale tiap tahun seperti yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta atau Dewan Kesenian Jogja. Tapi perlu ada wacana baru, ide-ide baru yang cemerlang dari DKSB untuk kemajuan kesenian kita ke depannya.
* Esha Tegar Putra. Penyair, “Pinangan Orang Ladang” adalah kumpulan puisi pertamanya yang segera terbit
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 01 Maret 2009
No comments:
Post a Comment