BERAWAL dari pergulatan fiktif putri kiai salafiah Jawa Timur, pro-kontra itu datang. Lika-liku Anissa yang hidup dalam tradisi patriarki pesantren Jawa Timur membuka kembali diskursus lawas tentang subordinat perempuan di negeri ini. Film Perempuan Berkalung Sorban besutan Hanung Bramantyo pun jadi sorotan.
Film yang dibintangi Revalina S. Temat (Anissa), Oka Antara (Khudori), dan Joshua Pandelaky (Kiai Hanan)--diperkuat artis senior Widyawati dan Ida Leman--ini mengadopsi novel Perempuan Berkalung Sorban karya sastrawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, Abidah El Khalieqy.
Dalam tayangan berdurasi 120 menit itu, dikisahkan sosok Anissa sebagai putri kiai yang bergulat dengan perannya sebagai seorang ibu dan istri. Anissa hidup di lingkungan keluarga kiai di pesantren salafiah putri Al Huda, Jawa Timur. Bertahun-tahun ia hidup dalam alam pikir (world view) salafiah. Kosmologinya menyatakan kemodernan adalah menyimpang.
Tradisi yang diterimanya melarang seorang perempuan menunggangi kuda. Perempuan juga tidak boleh hidup sendirian, jauh dari orang tua dan keluarga. Maka itu, keinginan Anissa kuliah di Yogyakarta pun kandas karena larangan orang tuanya. Wanita dewasa yang hidup sendiri hanya akan memunculkan fitnah, begitu kata Kiai Hanan, orang tua Anissa.
Ketidakberdayaan perempuan terus digambarkan Hanung lewat perjodohannya dengan Samsudin (Reza Rahadian), yang sama-sama keturunan kiai besar. Anissa tak bisa menolak. Ketika kehidupan keluarganya bersama Samsudin juga berjalan panas, Anissa tak bisa apa-apa, begitu pun ketika terus-terusan ia diperlakukan kasar oleh suami.
Sampai akhirnya dipoligami, Anissa belajar "ikhlas" menyaksikan Samsudin menggandeng Kalsum (Francine Roosenda) sebagai istri muda.
Harapan bergantung pada Khudori, pamannya dari pihak ibu. Cinta yang tumbuh sejak di pesantren kembali memunculkan kepercayaan pada Anissa. Lalu, dari sini, putri sang kiai yang dulu hidup dalam subordinasi pun menyebarkan pembebasan pada santri-santri Al Huda, termasuk perlawanan terhadap suami yang membuat istri tak berdaya.
Pro-Kontra
Pergulatan Anissa terhadap tradisi pesantren memicu polemik. Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti disampaikan Ali Mustafa Yaqub, menilai film garapan Hanung Bramantyo itu menjelek-jelekan Islam dan pesantren. Islam dibayangkan sebagai agama yang menindas dan membatasi perempuan.
Bagi MUI, penggambaran ini harus diluruskan. Agar tidak memunculkan keresahan di masyarakat, MUI pun meminta penayangan film ini distop sampai ada perbaikan beberapa bagian.
Hanung bertahan. Bagi sineas muda kelahiran Yogyakarta ini, Perempuan Berkalung Sorban adalah film keluarga. Kisahnya seputar peran seorang bapak yang dominan dalam tradisi patriarki.
Perempuan Berkalung Sorban juga bukan menyorot pesantren salaf, pesantren modern maupun Alquran. Film ini mengangkat tentang orang yang memakai Alquran untuk melegalkan kepentingan-kepentingan patriarki kepada anaknya yang perempuannya, begitu argumen Hanung.
Hanung tidak sendiri. Staf Ahli Departemen Agama, Siti Musdah Mulia, mendukung Perempuan Berkalung Sorban. Ia tidak searah dengan MUI dan seruan memboikot film yang dinilainya mengungkap realitas penindasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan agama.
"Saya membenarkan film ini mengangkat realitas. Dalam prakteknya seperti itu. Sebagai umat Islam kita tidak suka agama kita membelenggu perempuan, ketinggalan zaman. Tapi pada kenyataannya memang masih banyak yang seperti itu," kata dosen UIN Syarief Hidayatullah itu, seperti dilansir detikcom, awal Februari.
Bukan Satu-Satunya
Perempuan Berkalung Sorban bukan satu-satunya film bernuansa Islam dan mengangkat kehidupan pesantren ke layar perak. Film-film yang berangkat dari novel maupun latar pesantren faktanya mendapat sambutan hangat.
Satu lagi, film-film bernapaskan Islam juga begitu cepat menuai kontroversi. Sebelumnya, Ayat-Ayat Cinta yang digarap Hanung dari novel fenomenal karya Habibburahman El Shirazy juga sukses sekaligus menuai pro-kontra.
Memang kasusnya berbeda dengan 3 Doa 3 Cinta. Film besutan Nurman Hakim ini juga mengangkat dunia pesantren. Jika Perempuan Berkalung Sorban berlatar pesantren Jawa Timur, film dengan pemeran utama Dian Satro dan Nicholas Saputra ini berangkat dari kultur pesantren Demak, Jawa Tengah.
3 Doa 3 Cinta memang tidak fokus pada dekonstruksi patriarki dalam pesantren seperti diceritakan Hanung dalam Perempuan Berkalung Sorban. Film ini berkisah tentang gambaran masa depan tiga santri: Huda (Nicholas Saputra), Rian (Yoga pratama), dan Syahid (Yoga Bagus).
Seperti tergambar pada Huda yang jatuh cinta pada penyanyi dangdut (Dian Sastro), bukan linearitas cita-cita santri yang dihadirkan Nurman Hakim dalam film ini. Konsepsi ini dikemas Nurman dalam scene sosial dengan permasalahan yang kompleks. Acting Dian sebagai penyanyi dangdut membuat kontras cerita berjalan menarik.
Kerja Nurman menghadirkan film berlatar pesantren dengan kontras sosialnya ini pun tak sia-sia. Film 3 Doa 3 Cinta mendapat Grand Prize of the International Jury pada ajang International Festival of Asian Cinema Vesoul, Prancis. Dalam pandangan Ketua Juri Festival, Fatemeh Motamed-Arya, 3 Doa 3 Cinta sukses mendeskripsikan hal-hal kompleks dengan bahasa sederhana.
International Festival of Asian Cinema Vesoul adalah ajang penghargaan yang dikhususkan untuk film-film dari Asia. Festival yang diadakan pada 10--17 Februari lalu merupakan salah satu festival film tertua di Prancis.
Sukses Ayat-Ayat Cinta dan 3 Doa 3 Cinta seperti mengukuhkan pergantian dominasi film-film cinta ber-setting urban dan film-film horor yang sempat booming di Tanah Air sejak lima tahun terakhir. Tentu saja, bukan lantaran film-film itu bernapas Islam maka diminati; setting pesantren yang dekat dengan sosiologis Indonesia juga yang menguatkannya.
Satu lagi, bahwa film-film itu diangkat dari novel karya penulis-penulis kuat, ini juga menjadi unsur penjamin kualitas yang menarik minat dan penasaran publik. n RAHMAT SUDIRMAN/WIWIK HASTUTI
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Maret 2009
No comments:
Post a Comment