-- Yurnaldi*
DI tengah hutan lebat di Taman Nasional Bukit Duabelas di Makekal, wilayah Kabupaten Tebo, Jambi, sekelompok anak-anak tengah memegang buku dan pensil. Mereka siap sakola, belajar baca-tulis-hitung. Tidak ada yang memakai seragam, yang ada cuma anak-anak yang memakai celana pendek.
Bahkan, ada anak yang tidak berpakaian sama sekali. Tradisi keseharian mereka di hutan hanya pakai kain penutup kemaluan (cawot).
Tak jauh dari mereka berkumpul terdapat gubuk tempat belajar, genah pelajoron (rumah sekolah). Akan tetapi, siang itu mereka ingin belajar di alam terbuka, di bawah pohon. Inilah uniknya, sang guru/fasilitator mencari murid dan memberikan pelajaran baca-tulis-hitung (BTH) di mana murid suka.
Kelompok-kelompok orang rimba ini hidup tersebar di TNBD seluas sekitar 60.500 hektar.
Memberikan pendidikan alternatif kepada orang rimba, atau sering juga disebut Suku Anak Dalam atau orang Kubu, butuh perjuangan keras. Untuk mencapai lokasi dari Tebo, perlu waktu tiga jam perjalanan dengan kendaraan gardan ganda. Atau enam jam dari Kota Jambi. Setelah itu berjalan kaki 1-2 jam masuk hutan, kadang baru ditemui anak-anak rimba tersebut. Di mana bertemu dengan mereka, di situ belajar.
Terampil mendongeng
Sejak 10 tahun terakhir terlihat kemajuan luar biasa dari anak-anak rimba. Setelah diberikan pendidikan alternatif oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi sejak 1998, anak-anak rimba, yang sebelumnya tak kenal BTH, tak hanya sekadar bisa BTH, tetapi kini juga sudah terampil mendongeng.
Sebagian dari dongeng-dongeng yang mereka tulis dibukukan dengan judul Kisah-kisah Anak Rimba (pengantar oleh Kak Seto, penerbit KKI Warsi, 2007). Ada sembilan dongeng orisinal yang dibukukan, yang selama ini turun-temurun ada dalam cerita-cerita kelompok orang rimba. Mereka menyebut dongeng itu sebagai ande-ande. Tradisi lisan lain yang hidup dalam tradisi orang rimba adalah sloko adat, bedeki (pantun), dan teka-teki.
”Dari nenek moyang mereka tidak ada tradisi tulis. Segala sesuatu diturunkan secara lisan. Mereka buta aksara. Setelah KKI Warsi memberikan pendidikan alternatif, baru mereka bisa BTH,” kata Sukmareni, staf Komunikasi, Informasi, dan Pembelajaran KKI Warsi.
Secara bertahap, anak-anak rimba mengenali huruf, melafalkannya, dan merangkainya menjadi kata-kata dan kalimat. Demikian juga dengan angka, dari mengenalkan angka hingga menjadi hitung-hitungan.
Menurut Sukmareni, sebagai anak orang rimba, kemampuan mereka boleh diacungi jempol. Dari pengenalan huruf hingga bisa merangkainya menjadi kata hanya dalam tempo dua bulan.
”Waktu belajar disesuaikan dengan waktu anak-anak. Terkadang pelajaran baru dimulai sekembalinya mereka dari berburu atau selesai membantu orangtua. Kadang mereka belajar sampai malam dengan penerangan lilin atau lampu teplok. Jika lelah belajar, mereka istirahat dulu, bermain, atau menangkap kodok atau ikan untuk makan malam,” papar Sukmareni.
Sudah 350 anak rimba
Keberadaan orang rimba tidak banyak. Dari pendataan KKI Warsi tahun 2008, populasi mereka ada 3.009 jiwa, yang tersebar dalam hutan di sepanjang jalan lintas Sumatera, mulai dari Singkut (batas Sumsel-Jambi) hingga Sungai Rumbai (batas Jambi-Sumbar).
Jumlah mereka di sepanjang lintas Sumatera ini ada 1.375 jiwa. Kemudian di dalam kawasan TNBD ada 1.300 jiwa yang tersebar di kawasan seluas 65.000 hektar. Dan, di kawasan Bukit Tigapuluh ada 434 jiwa yang tersebar di areal seluas 131.000 hektar.
Program Manager KKI Warsi Rudi Syaf mengatakan, berdasarkan pengalaman Warsi, anak-anak orang rimba sulit mengikuti pendidikan formal karena belum bisanya komunitas luar menerima mereka. Anak-anak rimba sering menerima ejekan yang sangat memengaruhi psikologis mereka. Selain itu, sekolah di luar rimba juga akan menyulitkan karena jauh dari permukiman mereka.
”Pendidikan yang efektif adalah seperti yang dilakukan Warsi sekarang dengan mendatangi anak-anak rimba tersebut ke kelompok-kelompok mereka. Fasilitator Warsi masing-masing akan berada di dalam hutan bersama anak-anak rimba selama 21 hari dalam sebulan,” ujarnya.
Menurut Rudi, saat ini ada sekitar 350 anak rimba yang terbebas dari buta aksara. Dari mereka, Warsi juga mendidik kader-kader guru dari anak-anak rimba yang dianggap berkemampuan lebih untuk mengajari BTH kepada anak lainnya. Hal ini penting dilakukan, mengingat banyaknya orang rimba yang harus diberi pendidikan.
Tahun 2009, KKI Warsi memprogramkan pendidikan untuk anak-anak rimba di kawasan hutan sepanjang jalan lintas Sumatera.
”Kalau ada tenaga guru yang diangkat pemerintah, khusus mengajar anak-anak rimba, itu sangat membantu. Sebab, tenaga pengajar dari Warsi terbatas,” ujar Rudi.
Tenaga pengajar dari Warsi saat ini ada dua orang, yaitu Fery Apriadi (sejak 2005) dan Galih Sekar Tyas Sandra (sejak 2006).
Rudi menjelaskan, penggunaan bahasa, alam pikiran, dan kebudayaan orang rimba akan mempercepat penerimaan pelajaran. Dan, pendidikan harus memberikan wawasan sebagai bekal untuk melihat perkembangan di dunia luar.
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Maret 2009
No comments:
Post a Comment