Friday, March 13, 2009

100 Tahun Sjahrir: Negeri yang Menjauhi Cita-cita

-- Maria Hartiningsih

DEMOKRASI Indonesia sedang terbengkalai. Instalasi demokrasi yang lengkap telah dimiliki, tetapi yang mengalir di dalamnya adalah politik yang dikendalikan sirkulasi uang, keyakinan religius yang cenderung absolut, dan praktik politik komunal yang ditopang alat-alat pemaksa kebenaran yang bernama kekerasan.

Itulah kondisi yang menandai 100 tahun Sutan Sjahrir, Bung Kecil yang besar, terutama karena gagasan-gagasan politiknya, yang pada dasarnya antifasisme, antikolonialisme, antifeodalisme, dan membela politics of value.

Demokrasi kita selama 10 tahun terakhir ini semakin jauh dari konstruksi politik Sjahrir karena instrumen yang ada justru dijadikan alat untuk melegitimasi segala tindakan atas nama adat, budaya, tradisi, yang bercampur baur dengan keyakinan dan agama untuk menegaskan perbedaan antara satu dengan yang lain.

Sinisme karena demokrasi (baca: reformasi) di Indonesia gagal membawa perbaikan ekonomi rakyat sangat mudah tersalur ke dalam pencarian jati diri moral yang menganggap demokrasi tak mampu memberi kepastian akan kemakmuran. Muncul pandangan, hanya sistem nilai tertentu, terutama yang berbasis agama, yang dianggap mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan.

Selama beberapa tahun terakhir kita juga menyaksikan fenomena politisasi identitas, toleransi bersyarat sehingga kosong maknanya di tingkat realitas dan transaksi kewarganegaraan yang terasa sangat formal. Perlindungan dan kemerdekaan individu menjadi taruhan karena tak ada pendalaman kesadaran akan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pergaulan masyarakat yang multibudaya.

Ketegangan dan kekerasan merebak, dipicu oleh disparitas ekonomi dan kehancuran sumber daya alam karena eksploitasi besar-besaran oleh korporasi transnasional maupun nasional, yang tidak seluruhnya tertampung dalam instalasi demokrasi.

Kita seperti bangsa limbung, diombang-ambingkan gelombang politik-ekonomi global. Di dalam negeri, kita menyaksikan politik tipu daya dan demokrasi yang dijalankan dengan ritual politik yang berharap pada ”keajaiban”.

Politik tanpa akal sehat

Cukupkah kecerdasan bangsa ini untuk menyelenggarakan demokrasi kalau komunalisme dan ketidakrasionalan sangat kuat mengarahkan alam pikiran demi kekuasaan yang dimaknai sebagai kesewenang-wenangan untuk menentukan?

Konstruksi politik Sjahrir mensyaratkan politik sebagai kegiatan kolektif, bukan komunal. Alat dari komunalitas adalah pemaksaan menerima semacam ikatan kekuasaan dan keyakinan yang cenderung absolut, dan ditopang kekerasan. Yang dibutuhkan adalah kepatuhan dari mereka yang terpenjara rasa takut.

Kolektivitas mengajar orang berpikir, bekerja dan berpolitik dengan akal sehat. Di dalamnya orang bekerja untuk membangun semacam argumentative society, yang hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang berjiwa merdeka. Itulah pentingnya politik pedagogi; suatu pendidikan yang membuat orang matang berpolitik agar mampu merawat demokrasi.

Demokrasi diyakini Sjahrir hanya bisa terwujud melalui sosialisme kerakyatan, yakni sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat setiap manusia.

Nilai-nilai yang mendasarinya adalah nilai-nilai fundamental, yakni keadilan, kemanusiaan, kerakyatan, kesetaraan, kesejahteraan, kebebasan, dan solidaritas kepada mereka yang ditindas dan diisap oleh penjajahan sistem kapitalisme. Paham sosialisme kerakyatan menentang segala bentuk kediktatoran kelas, baik borjuis maupun proletar, rezim otoriter kiri maupun kanan karena bertentangan dengan nilai-nilai fundamental sosialisme dan demokrasi.

Negara kesejahteraan

Situasi di Indonesia saat ini tampaknya semakin menjauh dari negara kesejahteraan yang dicita-citakan Sjahrir; yang pengertiannya secara politis adalah mengurangi kemiskinan, memajukan kesetaraan sosial, memajukan stabilitas sosial, memajukan inklusi sosial (menghindari eksklusi sosial), dan memajukan efisiensi ekonomi.

Secara ideologis, cita-cita Sjahrir merupakan bentuk peralihan antara kapitalisme laissez-faire menuju sosialisme sehingga konsekuensi yang paling mungkin adalah bentuk negara kesejahteraan, Universalist Welfare State, yaitu rezim kesejahteraan sosial demokrat dengan jaminan sosial universal dan kelompok target yang luas, serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif, seperti Swedia, Denmark, Norwegia, Finlandia, dan Belanda.

Negara kesejahteraan berdasarkan sosialisme yang menghidupi demokrasi Indonesia dalam rumusan seorang panelis berbasis tujuh nilai utama, yakni kemanusiaan, keadilan, kerakyatan, kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan, dan solidaritas, mendudukkan partisipasi setiap individu warga negara dengan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sebagai jantungnya.

Sutan Sjahrir telah berpulang 43 tahun lalu. Ia meninggalkan cita-cita demokrasi dan negara kesejahteraan serta contoh ketulusan perjuangan hati nurani. Ironisnya, semua itu tampaknya telah menguap dari ingatan kolektif para politisi di negeri yang ia cintai ini.

Sumber: Kompas, Jumat, 13 Maret 2009

No comments: