MEI 1998. Kerusuhan besar melanda Jakarta menjelang pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke B.J. Habibie. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa militer yang praktis menancapkan kekuasaan selama 32 tahun tiba-tiba tidak berdaya menghadapi para perusuh?
Kemudian muncul berbagai spekulasi, satu di antaranya kerusuhan itu justru dirancang para petinggi militer dengan tujuan akhir kekuasaan. Tetapi, hingga hari ini fakta di balik peristiwa itu masih gelap. Sejumlah mantan jenderal menuliskan memoarnya. Mereka membeberkan fakta seputar kerusuhan massal, penculikan para aktivis, dan isu kudeta.
Mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn.) Wiranto pada 2003 meluncurkan bukunya bertajuk Bersaksi di Tengah Badai. Dalam kurun 1997--1998, Wiranto menjabat Panglima Kostrad (1996--1997), KSAD (1997--1998), dan Panglima ABRI (1998--1999).
Setahun kemudian, pada 2004, Letjen (Purn.) Prabowo Subianto melalui teman karibnya Fadli Zon juga menerbitkan buku bertajuk Politik Huru-Hara Mei 1998. Dalam kurun 1997--1998, Prabowo menjabat Danjen Kopassus (1996--1998), Pangkostrad (1998), dan Komandan Sesko ABRI (1998).
Kedua orang itu sering disebut-sebut terlibat penculikan aktivis pada 1997--1998 dan kerusuhan Mei. Namun, semua itu hanya tuduhan dan belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Berikutnya, pada September 2006 giliran mantan Presiden B.J. Habibie menerbitkan biografinya berjudul Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Buku setebal 549 halaman ini ditulis Habibie berdasarkan catatan hariannya sebelum dan semasa menjabat presiden sejak 21 Mei 1998.
Dalam bukunya itu, Habibie menuliskan mengenai Prabowo yang sempat marah saat akan dicopot sebagai pangkostrad. Habibie memang tidak menyebutkan Prabowo hendak mengudeta. Hanya, Habibie merasakan ancaman kudeta, apalagi sesuai informasi Wiranto saat itu, Pangkostrad mengerahkan pasukannya ke kediamannya di Kuningan. Lalu, Wiranto mengevakuasi istri dan semua anak Habibie ke Wisma Negara.
Menjawab buku tersebut, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn.) Kivlan Zen balik menuding Habibie dan Wiranto bermain mata untuk menjatuhkan Soeharto. Indikasinya, pertama, Wiranto tak mau melaksanakan Keppres 17 Mei 1998 yang berisi perintah kepada Wiranto untuk mengambil langkah-langkah pengamanan, kedua, Wiranto melarang penambahan pasukan di Jakarta, dan ketiga adanya pergerakan pasukan liar di sekitar Istana dan kediaman Habibie. Mengenai hal ini, sampai sekarang belum juga ada kepastian kebenarannya.
Berikutnya, pekan lalu Letjen (Purn.) Sintong Panjaitan meluncurkan buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Dalam, bukunya itu Sintong menyatakan Prabowo pernah hendak "mengamankan" sejumlah perwira yang didengarnya hendak mengudeta. Saat itu, Sintong, the rising star yang meredup setelah insiden Santa Cruz, menjabat staf khusus Presiden Habibie.
Suatu saat sejarah akan menjelaskan siapa aktor di balik peristiwa Mei 2008. Apakah Habibie, Wiranto, Prabowo, atau mungkin ada kekuatan eksternal yang ikut terlibat. n D. WIDODO/U-3
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2009
No comments:
Post a Comment